Tuesday, September 11, 2007

Training Investigasi

Temans,

Baru selesai training pelatihan investigasi, nih. Banyak belajar dari training ini. Ada masukan banyak dari cetak dan radio. Yang media cetak trainernya Wendy Bacon - Kepala jurusan komunikasi dari UTS (kampus lama gua - kalo kayak gini KKN gak yah? Hehehe). Tips yang bagus dari dia: "Pastikan kita punya cukup energi untuk menulis atau membuat laporan investigasi yang bagus" - karena ini yang biasanya diabaikan. Trainer satu lagi untuk televisi adalah David O'shea dari stasiun SBS (dari Australia lagi nih hehehe) - dia lebih kasih masukan soal presentasi yang baik (seperti yang pernah saya bahas sebelumnya). Dari radio Kelly McEveres. Hehehe. Nah ucapannya yang menarik adalah prinsip jurnalisme yang selalu dia pegang: "Comfort the Afflicted and Afflict the Comfortable" (yang artinya...: "Menenangkan yang terganggu dan mengganggu yang merasa tenang").
Karyanya McEveres bisa dilihat di:
http://audiojournal.com/
tentang kasus penyerangan teroris di Beslan, Rusia.
Dia juga pernah liputan di Indonesia. Laporannya soal Sufi di Indonesia bisa di-download dari:
http://hearingvoices.com/
search aja Kelly McEvers.
Kenapa radio dibahas? Karena broadcast khan gak beda-beda jauh. Gak percaya? Dengerin laporannya Kelly soal Sufi dan rasakan betapa visual-nya laporan dia. (lho kok visual? Hehehe. Tapi bener deh.)
Dua hal yang penting dalam jurnalistik investigasi adalah DAMPAK dan INDEPENDENSI. Ini bukan dua kata yang sakral. Kenapa? Karena independensi artinya secara praktis adalah 'bukan pesanan'. Jadi selama laporan kita menyangkut hajat orang banyak dan dilakukan tanpa ikatan pada siapa-pun - masuk kategori investigasi. Sedangkan 'dampak' ini menjadi penting dan sentral dalam investigasi. Jika tidak berdampak langsung (seperti misalnya perubahan sosial dan perubahan kebijakan baik undang-undang maupun politik) maka laporannya tidak bisa masuk dalam kategori investigasi.
Karena itu, yuk mari bikin laporan yang berdampak pada perubahan sosial atau kebijakan pemerintah. Karena inilah inti investigasi.

Piss.

Friday, August 17, 2007

Tayangan Perdana Sixty Minutes


Temans,

Buku menarik: Close Encounters: Mike Wallaces Own Story

Mike Wallace adalah penggagas sekaligus anchor dari tayangan Sixty Minutes di stasiun televisi CBS. Pada awalnya, ia hanya menargetkan Sixty Minutes bertahan di FTA selama setidaknya 2 musim pada tahun 1968. Tapi ternyata hingga saat ini pun program itu masih bertahan. Ada sejumlah catatan menarik tentang pemikiran Mike Wallace dan behind the scene dari produksi program itu. Tapi kutipan paling menarik adalah saat Sixty Minutes tayang pertama kali, 24 September 1968.

“Naturally we led with our exclusive, for our cameraman was the only one allowed in the hotel rooms of Nixon and Humphrey on the nights they were nominated. There was a certain fascination in observing the two nominees watching the hubbub on the convention floors as their delegate counts mounted. Nixon conducted a kind of on-camera political seminar for his family in his hotel suite as the balloting unfolded; and Humphrey jumped up and kissed the TV screen when he saw his wife, Muriel, in the convention hall.”

“Selayaknya kami mulai dengan liputan eksklusif kami, karena hanya juru kamera kami yang diijinkan masuk ke kamar hotel Nixon dan Humphrey pada malam mereka dinominasikan (sebagai Presiden). Ada semacam kekaguman tersendiri menyaksikan kedua kandidat calon Presiden menonton kekisruhan di lantai konvensi saat penghitungan suara dilakukan. Nixon menggelar seminar politik di depan kamera terhadap keluarganya saat penghitungan suara berlangsung; dan Humphrey melompat dan mencium layar televisi saat dia melihat istrinya di aula konvensi.”

Investigatif atau bukan, tayangan ini membuka mata pemirsa akan apa yang terjadi di kubu masing-masing kandidat. Merupakan suatu keistimewaan bagi jurnalis yang bisa berada di lokasi saat peristiwa bersejarah sedang berlangsung. Baik itu sejarah perseorangan (saat-saat yang sifatnya pribadi bagi seseorang – seperti menangis, tertawa, mengalami cobaan hidup, penderitaan, maupun kebahagiaan) atau sejarah bangsa. Inilah yang berusaha di-share oleh teman-teman jurnalisme sastrawi kepada pembacanya… dan gambaran ini pula yang seringkali berusaha ditangkap kamera tim liputan untuk disaksikan pemirsanya.

Walaupun teknisnya mungkin sedikit sulit, karena kamera harus standby setiap saat hanya untuk menangkap momen-momen personal/ pribadi dari tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam liputan panjang. Seperti yang berusaha dilakukan juru kamera Reality Show misalnya. Produser ‘Survivor’ pun mengakui, ada beberapa bagian yang terpaksa di-shoot ulang karena mereka kehilangan momen penting. Akibatnya Survivor sempat di-cap sebagai sinetron yang dibungkus seakan-akan seperti Reality Show.

Tidak mudah memang. Namun, sesuatu yang menarik untuk dicoba bukan? Piss.

Bhayu Sugarda.

Friday, May 11, 2007

Mimpi buruk set up sequence (1)

Bagaimana memotret masalah buruh di Indonesia? Muncul usulan untuk melakukan itu dengan menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili setiap permasalahan buruh di Indonesia. Misalnya dengan mengambil tokoh seorang tki yang baru dipulangkan dari Malaysia untuk membeberkan masalah buruh migran. Atau seorang buruh yang baru di-phk tanpa pesangon dari pabrik sepatu untuk bicara soal phk tanpa pesangon.

Saya memulai dengan me-list permasalahan buruh yang terjadi baru-baru ini dari riset internet. Yang muncul dari riset ini adalah pabrik Dong Joe dan Spotec yang ditutup karena pemiliknya kabur. Tapi pabrik ini ditutup sejak Oktober tahun lalu. Aktualkah? Kasusnya sendiri telah diputuskan pengadilan April tahun ini. Bahwa karyawan Dong Joe dan Spotec resmi dipecat sehingga berhak atas pesangon. Pihak manajemen kedua pabrik itu pun sepakat untuk memenuhi sepenuhnya hak karyawan. Meskipun jauh dari berakhir, namun, harus bercerita dari mana?

Permasalahan kontrak juga muncul sebagai wacana dari riset ini. Tuntutan unjuk rasa organisasi serikat buruh menolak status kontrak terjadi saat pembicaraan revisi undang-undang ketenagakerjaan beberapa waktu lalu. Waktu itu undang-undang tersebut batal di-revisi.

TKI sebagai buruh migran adalah satu lagi masalah besar perburuhan Indonesia. Dari riset internet, kasus penganiayaan atas TKI terakhir terjadi tahun lalu. Setelah itu tidak ada pemberitaan terkait masalah ini di media. Apalagi telah dibuat nota kesepahaman antara Malaysia dan Indonesia september tahun lalu.

Belum lagi PHK buruh yang berkedok pensiun dini. Ini terjadi terhadap perusahaan nasional seperti PT Telkom dan PT Bank Permata tahun ini. Sedangkan PHK massal telah terjadi jauh sebelumnya, seperti Bank Danamon dan Bank Permata.

Pertanyaan: Bagaimana merangkum ini semua menjadi sesuatu yang enak ditonton?

Terbayang mimpi buruk set up sequence dari setiap tokoh yang kalo diambil satu tokoh dari setiap permasalahan yang terdaftar sejauh ini, ada empat. Mimpi buruk apa? Yaitu set up sequence yang itu-itu saja. Keluar rumah pergi ke pasar, pulang ke rumah mengurus anak, pergi berangkat bekerja dan lain-lain.

Selain itu, bagaimana membuat tayangan ini menjadi aktual? Semua peristiwa telah terjadi. Satu yang paling bisa diandalkan adalah unjuk rasa besar-besaran 1 Mei.

Saya sangat percaya dengan peran Tangan-Tangan Tuhan dalam peliputan yang menyangkut nasib orang banyak. Saya pun memulai dengan apa yang saya punya. Nomer telepon organisasi buruh yang kemungkinan akan berunjuk rasa saya coba satu per satu. Ternyata tidak ada yang bisa dihubungi. Bahkan serikat pekerja PTDI pun tidak dapat dihubungi. Dari sebuah blog milik seorang aktivis buruh bernama Irwansyah, saya mendapatkan nomer telepon miliknya. Saya hubungi, ternyata saat dihubungi, ia sedang menjalani rapat persiapan aksi buruh 1 Mei. Organisasi yang dipimpinnya ternyata berafiliasi ke Aliansi Buruh Menggugat - organisasi buruh yang akan menggelar aksi besar-besaran 1 Mei melibatkan berbagai unsur serikat buruh, mulai dari serikat pekerja transportasi hingga buruh pabrik. Otto hari Jum'at saya minta untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya soal aksi besar-besaran itu dari Aliansi Buruh Menggugat. Otto pulang dengan peta lokasi berikut nomer telepon perwakilan buruh dari Jabodetabek. (serius... nama berikut nomer telepon dari Jakarta Barat, Timur, Pusat, Selatan sampai Tangerang dan Bekasi).

Perlahan-lahan jalan mulai terbuka. Kini giliran buruh migran. Saya menghubungi Wahyu Susilo dari Migrant Care. Dia pun mengatakan, ada rencana kepulangan jenazah tki dalam waktu dekat. Cukup menjanjikan. Terbayang rangkaian gambar kepulangan jenzah dimulai dengan gambar pesawat yang tiba di landasan pacu - kalo bisa...hehehe. (Selain aktual tayangan tidak se-monoton perkiraan sebelumnya.)

Tapi harus mulai dari mana? Kasus Dong Joe sebagai salah satu kasus terbesar PHK buruh dengan jumlah 6833 karyawan? Terbayang betapa boring-nya gambar di awal segmen 1 dengan rangkaian gambar pabrik yang tutup. Saya cek ke SPSI dan SPSI Tangerang, ternyata mereka menolak ikut unjuk rasa. Menarik pergulatan antara buruh yang berunjuk rasa dan tidak. Saya simpan kemungkinan mengangkat soal ini sampai diperlukan. Tapi masalah gambar belum terpecahkan.

Hari Sabtu saya minta Oki untuk meliput persiapan perwakilan buruh Tangerang di bawah Aliansi Buruh Menggugat menjelang 1 Mei. Sampainya di sana, ternyata sejumlah karyawan pabrik Koryo ada di sekretariat mereka untuk meminta bimbingan soal dirumahkannya karyawan. Oki meliput kegiatan ini. Bisa dibayangkan gambarnya adalah pertemuan dengan orang-orang duduk di lantai. Keesokan harinya saya minta Oki kembali meliput pertemuan antar karyawan PT Koryo, dan meliput kegiatan ketua karyawan PT Koryo di rumahnya. Set up sequence-nya adalah kegiatan tokoh yang kita pilih di rumahnya. Tapi ada secercah harapan, Senin mereka berniat berunjuk rasa di depan pabrik... sehari sebelum 1 Mei.

Sementara TKI yang akan dipulangkan tidak ada kepastian. Sejumlah berita yang muncul minggu itu adalah TKI yang kabur dari penampungan. Kekhawatiran yang muncul akan terlalu fokus kepada satu kasus yang angle-nya mungkin akan melebar dari permasalahan buruh migran - seperti ijin penampungan tki atau pjtki. Memang itu menjadi bagian dari permasalahan - tapi bukankah masalah terbesar dari tki adalah perlindungan mereka di luar negeri?

Tanpa sengaja saya diberitahu oleh korlap Aliansi Buruh Menggugat... tepatnya dikecam karena hanya menghubungi Migrant Care yang merupakan LSM buruh migran dan bukan Serikat Buruh Migran. Saya pun diberi telepon orang serikat buruh migran. Saya hubungi ternyata masalah tki tanpa dokumen masih terjadi pasca nota kesepahaman Malaysia dan Indonesia. Rencana kepulangan berikutnya masih menunggu kepastian hari selasa - tanggal 1 Mei. Waduh...kalo kepulangannya hari Sabtu tamatlah riwayat.

Kepada Migrant Care saya tanya kasus tki yang meninggal di luar negeri terakhir kapan? Jawabannya April. Mereka pun berencana menggelar unjuk rasa hari Minggu. Keluarga korban akan turut hadir. Kalaupun saya tidak mendapatkan gambar kepulangan jenazah, saya bisa menggunakan liputan unjuk rasa itu untuk bercerita tentang permasalahannya. (to be continued)

Mimpi buruk set up sequence (2)

Unjuk rasa-unjuk rasa dan unjuk rasa... tayangan apa ini?

Saya coba cari jalan lain. Kasus PHK besar yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya menimpa PTDI. Lalu saya pun menghubungi pihak serikat pekerja PTDI. Pak Sidharta sangat antusias membantu. Bahkan dia mengusulkan untuk meliput sarjana nuklir jualan es krim. Wah ini boleh juga nih buat segmen 3. Tidak lama saya terima sms dari Edwin, "Lihat Kompas, ada data lengkap soal buruh.". Saya lihat dan di dalam rubrik teropong terpampang artikel "Sarjana Nuklir Jualan Es Krim.". Hahaha, keduluan dah.

Selain itu saya juga mengunjungi mailing list eks karyawan PTDI. Saya posting permintaan footage kegiatan eks karyawan PTDI yang saat ini bekerja di luar negeri. Berikut posting saya:

Kepada Yth,
Eks Karyawan PTDI

Saya Bhayu Sugarda, Produser Astro Awani, saluran berita Indonesia
di televisi satelit berlanggananan Astro. Kami sedang membuat
laporan tentang permasalahan buruh di Indonesia, menjelang hari
buruh 1 Mei mendatang.

Salah satu peristiwa pemutusan hubungan kerja yang mengakibatkan
ribuan orang kehilangan pekerjaan di Indonesia adalah kasus PTDI -
IPTN. Kami berniat membuat laporan mengenai nasib eks karyawan PTDI
saat ini. Sebagian besar kini bekerja di luar negeri sesuai dengan
kompetensi masing-masing. Sementara lainnya berusaha untuk tetap
hidup dengan membuka usaha atau lainnya.

Kami mengharapkan kesediaan anggota milis ini, untuk berbagi cerita
dan pengalaman mereka sampai akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan di
luar negeri. Kami juga berharap bisa mendapatkan video footage, bagi
yang memiliki handycam digital, tentang kehidupan mereka di luar
negeri sekaligus menjawab pertanyaan yang kami kirimkan melalui
email.

Untuk keterangan lebih lanjut, bisa menghubungi saya di email:
bhayu_sugarda@... atau hp: 0815 138 41162. Jika ada
pertanyaan yang bersifat lebih umum, akan saya jawab melalui mailing
list ini.

Atas perhatiannya, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Bhayu Sugarda
Produser Astro Awani

Jawaban konkrit baru muncul tanggal 8 mei 2007 dari anggota milis ini. Berikut jawabannya:

Pasca GEBYAR PHK!!!

Saya merasa bersyukur ternyata masih ada perhatian
dari kalangan umum ttg nasib Eks-PTDI.
Kalau boleh usul justru yg sangat perlu dipublikasikan
adalah kawan2 kita yang sampe sekarang belum dapat
kerjaan tetap, mungkin masih ribuan yang nasibnya
terkatung2 karena "GEBYAR PHK" di PT Dirgantara
Indonesia. Karena apapun alasannya tanpa perencanaan
dan pertimbangan yang sangat matang PHK selalu
merugikan karyawan yang notabene sedikit sekali dari
kalangan kita yang punya jiwa enterpreneur.Saya jadi
ingat ketika kita dikumpulin di GPM lt 6. disitu
dipresentasikan kalo setelah "GEBYAR PHK" kita akan
disalurkan di perusahaan2
(minyak,PLN,Semen,tekstil,Airliner2... maaf saya lupa
mungkin sangking banyaknya yg disebutwaktu itu).
INTINYA dari tulisan saya ini sekarang yang Eks-PTDI
yang kebetulan sekarang bekerja di luar negeri kita
anggap sebagai nasib/keberuntungan yang telah memihak.
saya pribadi khawatir kalo yg kerja diluar negeri itu
dianggap kesuksesan lalu diekspose mungkin bisa jadi
akan dijadikan "CONTOH YANG KURANG BAIK" bagi
perusahaan2 di Indonesia untuk mengadakan "GEBYAR PHK"
di tempatnya masing2.dengan alasan toh orang PTDI
setelah PHK banyak yg sukses???
saya kira mungkin tidak lebih dari 5% yang sekarang
kerja di LN,Please 95% itulah yang harus di
publikasikan.

Terimakasih.

Suismadi
Yang lagi ngadu nasib di BOEING.

Ouch...Yuk mari kita telaah lagi...hehehehe. Kesimpul;annya semua perlu kesabaran dan ketekunan untuk mendapatkan apa yang kita harapkan. Tapi Amrul dapet wawancara dengan keluarga eks karyawan PTDI yang lagi tugas ke luar negeri PLUS petani jamur - beda dengan sarjana nuklir dan lebih berbobot kalo menurutku sih, hehehe.

Tapi kemudian Pak Iwan (Editor) mengusulkan liputan soal seorang peneliti yang diabaikan pemerintah kesejahteraannya. Saya terima ide ini untuk segmen 3 murni karena alasan keragaman gambar dan setting. Saya minta tim liputan mengambil gambar saat dia melakukan penelitian di laboratorium. Tapi kemudian saya membaca artikel tentang bagaimana manusia Indonesia diperlakukan seperti alat produksi dan bukan aset. Ini saya jadikan benang merah di segmen 3.

Sementara masalah status kontrak yang sangat merugikan buruh diwakili cerita karyawan PT Koryo. PHK tanpa pesangon diwakili dengan cerita buruh pabrik Dong Joe dan Spotec. Benang merah di segmen 1 adalah kondisi perburuhan Indonesia yang masih memiliki banyak masalah (menempatkan permasalahan pada situasi saat ini).

Sedangkan Segmen 2, saya menggunakan benang merah, kesadaran buruh. Ini saya sampaikan melalui cerita mantan karyawan Bank Pemerintah yang di-PHK, supir angkot yang bukan buruh tapi merasa buruh juga karena merasa tertindas juga DAN buruh migran berikut permasalahannya.

Semua berjalan sesuai rencana saat hari-H (1 Mei) hanya sedikit miskomunikasi dengan Otto. Belakangan baru kita mendapatkan footage kedatangan jenazah tki dari migrant care berikut foto-fotonya. Gambar bagus saat kedatangan tki sangat membantu menghidupkan tayangan.

Solusi: Mimpi buruk kumpulan set up sequence monoton bisa dihindari berkat keragaman "setting". Artinya tidak hanya di rumah. Keragaman setting ini meliputi tempat penampungan tki - pabrik yang ditinggalkan - laboratorium bioteknologi - pembibitan jamur - terminal angkot (persiapan rombongan supit angkot ikut unjuk rasa).

Thursday, May 10, 2007

Mulyani Hasan - jurnalis tv yang jadi penulis

Saya bertemu dengan seorang jurnalis di Bandung. Namanya Mulyani Hasan. Sejumlah karya jurnalistiknya menghiasi majalah Pantau dan Playboy. Dia mengaku sangat menyukai menulis, padahal sebelumnya ia pernah bekerja sebagai korlip dan terakhir redaktur pelaksana di Bandung TV.

Ia mengaku 'banting setir' (pinjam istilah amrul yang abis liputan petani jamur eks karyawan ptdi menulis di skripnya 'eks karyawan ptdi banting setir'...hehehe) dari jurnalis televisi menjadi penulis lepas untuk media cetak karena ada seninya sendiri menulis... khususnya menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi. Dan dia mengaku sangat menikmati itu. Selain itu, apa yang ia cari tidak didapatnya di Bandung TV.

"Saya tidak tahu teknis pengambilan gambar, tapi saya tahu gambar yang enak ditonton dan yang tidak.", katanya.

Belakangan dia mengungkapkan, kebanyakan pekerja televisi di TV lokal Bandung yang cukup banyak (sedikitnya ada lima: Bandung TV, STV, City View, dll.) adalah fresh graduate. Mulai dari korlip sampai kamera person. Katanya yang lagi lumayan booming adalah STV karena di redaksinya ada bekas karyawan SCTV.

Yang membuatnya unggul adalah kemasan tayangannya (menurut ibu Mulyani ini), tontonan ala Bali TV (Bandung Tv berafiliasi dengan Bali TV) yang mengutamakan seni tradisional sulit dinikmati masyarakat Bandung yang merupakan masyarakat Urban. STV dianggap berhasil karena mengemas tayangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bandung yang lebih 'sophisticated' dibanding pemirsa Bali TV (dalam padanan TV lokal yah).

Jadilah akhirnya ia menjadi kontributor majalah Pantau dan majalah Playboy. Saya tanya alasan ketertarikannya akan jurnalisme sastrawi. Dia bilang ada alurnya dan gaya bertutur yang naratif sangat dinikmatinya. Saya uji pandangan saya tentang jurnalisme sastrawi kepada dirinya, 'bukankah jurnalisme sastrawi sangat visual?". Ia pun dengan antusias mengiyakan dan mengatakan sebelum menulis pun ia mengaku perlu menonton film terlebih dahulu.

Mulyani lalu menyebut nama Linda Kristanti yang kabarnya mendapatkan ulasan atas karyanya di majalah sastra Internasional 'Cornell Magazine'. Padahal selain Linda yang pernah mendapat ulasan di majalah ini hanya Pramoedya Ananta Toer. Mulyani menganggap karya Linda sangat enak dinikmati. Saya pun lanjut bertanya kepada dia topik apa yang telah ia kerjakan semala ini. Salah satunya tentang ruu pemerintahan Aceh. Saya pun mengatakan sulit juga kalo televisi mengangkat topik itu secara mendalam karena sifatnya 'wacana'. Tapi kemudian dia pun mengernyitkan dahi, "wacana bagaimana? Asal berdasarkan fakta saya pikir tetap bisa dibahas.". Waduh beda pengertian istilah wacana sepertinya kami berdua.

Perbincangan pun berlanjut ke hal-hal lain, tapi soal wacana ini masih menggantung di kepala.

Kalau menurut Bapak yang terhormat Prof Dr JS Badudu, "wacana" adalah:

1. ucapan, perkataan, tutur;

2. keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan;

3. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.

Jadi sebenarnya pemahaman kata 'wacana' antara saya dan Mulyani tidak jauh berbeda, hanya saja dari pandangan broadcast 'wacana' sulit di-visualkan karena berdasarkan ucapan atau perkataan orang. Tapi kemudian saya mengintip karya si Ibu Mulyani Hasan ini di Pantau Online.

Terlihat gaya jurnalisme sastrawi yang dianutnya itu - dan memang sangat visual... padahal yang ia bahas adalah Sentimen Anti Komunis yang masih kental di Indonesia. Berikut sedikit bagian karyanya sebagai gambaran gaya penulisannya yang saya anggap sangat visual.

Memburu Marxis di Ladang Buku
Oleh Mulyani Hasan

(Excerpt dari bagian awal)

....HUJAN deras. Jalanan di muka toko buku Ultimus di Lengkong Besar, Bandung , yang biasanya sepi di malam hari, kini ramai. Sekelompok orang berseragam hitam-hitam lalu-lalang di muka toko. Ada yang berdiri bergerombol, ada juga yang jongkok di pinggir jalan.

Diskusi telah dibuka. Sadikin moderator. Seorang pembicara bernama Marhaen Soepratman duduk di sebelahnya.

Marhaen. Nama yang aneh, pikir saya. Nama Marhaen pernah populer di masa presiden Soekarno berkuasa. Ia kagum pada seorang petani yang bekerja keras, bersemangat, cerdas, dan pemberani, bernama Marhaen yang dijumpainya di sebuah desa di Jawa Barat. Sejak itu Soekarno menamakan ajaran atau ideologinya yang memihak rakyat kecil atau wong cilik itu sebagai marhaenisme.

Tetapi Marhaen Soepratman bukan orang Sunda. Ia keturunan Tionghoa. Ia juga bukan petani, melainkan mahasiswa di sebuah universitas di Kanada. Nama aslinya adalah Hariyanto Darmawan. Di Kanada, ia aktivis serikat buruh. Ia sengaja datang ke Bandung, setelah mengunjungi keluarganya di Jakarta.

Peserta diskusi malam itu tak lebih dari seratus orang. Rata-rata peserta antusias dengan materi yang disampaikan pembicara. Tetapi belum setengah jam acara berlangsung, seorang lelaki paruh baya merampas mikrofon dari genggaman Marhaen. Kasar. Tanpa sopan-santun.

"Ajaran komunis sudah tidak relevan lagi dibicarakan! Orang tua saya dibunuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia)! Jadi saudara-saudara, acara semacam ini harus dihentikan!" teriak lelaki itu. Sorot matanya liar memandang sekeliling.

Ia adalah Adang Supriadi, ketua Persatuan Masyarakat Antikomunis atau disingkat Permak.

Suasana jadi ricuh ketika anggota Permak mulai menendang-nendang bangku dan mengancam peserta diskusi. Semua orang buru-buru keluar ruangan. Tumpah ruah ke jalan.

Anggota Permak kemudian memburu pembicara dan ketua panitia yang berusaha menyelamatkan diri ke arah kampus Universitas Pasundan, tepat di depan toko buku itu.

Tak berapa lama Sadikin dan Marhaen ditangkap orang-orang Permak, yang memaksa mereka masuk ke mobil untuk dibawa ke markas Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung....

(Excerpt di bagain tengah)

....Langkah-langkah sepatu terdengar mengitari seluruh ruang, lalu berakhir di pintu utama. Pintu ditutup dan disegel dengan pita kuning atau garis polisi yang disilangkan di tengahnya.

(Excerpt di bagian akhir)

....Pada 16 Desember 2006, saya menemui Bilven Rivaldo Gultom di sebuah kafe. Lelaki berkulit kuning langsat ini belum genap 30 tahun. Ia berusaha gembira, meski hatinya gelisah.

"Saya belum merasa bebas. Berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat saya, ada banyak orang tak dikenal mencari-cari saya," katanya. Sebentar-sebentar ia melihat layar telepon selulernya. Bunyi pesan yang masuk menyaingi suara hujan.

"Saya tidak mengerti tuduhan mereka. Mungkin saya dituduh komunis karena saya miskin," katanya, lagi.

Secangkir kopi panas pesanannya tiba.

"Saya dan kawan- kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Karena ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan," ujar Bilven.

"Selama ini, ajaran Marx banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan. Itu yang tidak saya sepakat. Karena itu akhirnya ajaran Marx juga ikut diberangus." Ia terus bicara.

"Revolusi itu akan terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya, tidak ada lagi pemberangusan, tidak ada korupsi dan orang-orang akan menggunakan akal pikirannya berdasarkan logika bukan lagi menggunakan hal-hal yang abstrak," lanjutnya.

Bilven lolos saat Permak melancarkan penangkapan. Sejak saat itu ia tinggal berpindah-pindah."

Adegan terakhir ini mengingatkan saya akan adegan dari film dokumenter tentang Al-Jazeera 'Control Room'. Ada diskusi hangat yang terjadi di sebuah cofee shop di Irak (saya lupa-lupa ingat lokasinya) antara warga dan seorang reporter Al-Jazeera. Adegan ini di-syuting seperti layaknya adegan dalam karya Mulyani. Saat pelayan datang gambar itu tertangkap di kamera.

Pembicaraan menjadi hangat, tek-tok close up antara peserta diskusi kecil ini tertangkap jelas. Mereka hanyalah warga biasa yang mengutarakan unek-unek mereka selama ini tentang kebijakan pemerintah AS di timur tengah. Yang menarik dari adegan ini bagi saya adalah bagaimana mereka begitu terbuka menyatakan pendapat mereka dan begitu natural. Editingnya pun mengalir - enak ditonton.

Solusi: Kreatifitas, kesabaran dan penguasaan masalah bisa jadi gerbang masuk ke ranah wacana, where no broadcast journalist (well maybe a few manage to do so...) has ever gone before.

Bhayu Sugarda

Wednesday, April 25, 2007

Idea of interview


Ini sebenarnya lebih ke curhat dibanding analisa, berdasarkan sejumlah artikel, perbincangan maupun masukan dari negeri paman sam yang pernah aku dengar dari berbagai sumber.

Ada semacam keengganan untuk meng-ilmu-kan 'broadcast journalism' dengan alasan khusus untuk binatang satu ini, 'skill' dianggap lebih penting dibanding teori. Pengajar di PJTV - Pendidikan Juralistik Televisi, Horea Salajan, saat saya tanya apakah ada buku yang bisa dia recommend untuk mempelajari bagaimana memproduksi program berita - dari konsep,
show maupun penyusunan rundown - Horea hanya mengatakan seperti ini: "Ibaratnya kamu sudah bisa bermain sebuah instrumen musik. Apa pun itu, gitar misalnya. Untuk menulis lagu, kamu hanya perlu menggunakan kreatifitas kamu. Tidak ada buku yang bisa mengajarkan kamu membuat lagu, kan?."

Bahkan dia mengusulkan untuk membaca buku-buku novel klasik dari abad 18. Karena menurut Horea, dengan membaca novel-novel klasik itu, kita akan bisa lebih mendalami interaksi antar manusia dan nilai-nilai yang penting bagi manusia.

Selain itu, sejumlah universitas di jakarta, menawarkan program d-3 - untuk broadcast journalism. Sedangkan S-1 Jurnalistik, mata kuliahnya lebih menekankan pada jurnalisme cetak.

Tapi kemudian, setelah memperhatikan komponen yang ada di produksi pemberitaan televisi, keengganan itu mungkin ada benarnya. Karena 'broadcast journalism' adalah semacam hybrid sejumlah ilmu yang sudah ada. Dari sinematografi, jurnalistik, teknik hingga manajemen.
Gabungan antara seni dan teknik.

Berdasarkan pemikiran ini, muncul semacam pandangan yang menarik dalam diri saya - soal live interview, atau biasa disebut dialog.

Ada unsur drama yang berusaha ditawarkan program dialog. Namun, tidak hanya itu. Dialog informatif - memberikan penjelasan kepada sesuatu yang dianggap rumit DAN dialog yang sifatnya 'revealing' atau mengungkap sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

Coba perhatikan panggung dialog dari layar televisi. Panggung ini terdiri dari dua pemain minimal. Seorang pembawa acara atau mediator, dalam hal ini 'anchor' dan si nara sumber. Ada suatu permasalahan atau 'konflik' yang ditawarkan dalam panggung dialog ini, sehingga patut dan diangap penting untuk dibicarakan. Konflik inilah yang kemudian menjadi pusat perhatian kedua 'tokoh' atau karakter di atas panggung ini. Seperti layaknya pertunjukan teater, pertunjukan - atau show - dari dialog ini menimbulkan reaksi emosional pemirsa. Apakah membuat pemirsa
tertawa, geli, tegang, sedih, terharu, berfikir atau mendapatkan pencerahan.

Dalam artikel tentang 'live interview' kiriman mailist PJTV juga yang dikutip dari sebuah publikasi di negeri paman Sam, disebutkan bahwa live interview kini semakin sulit, karena nara sumber kini lebih 'media savvy' dengan kuasa hukum nara sumber memastikan konten dialog tidak
akan merugikan kliennya. Selain tentunya, keterbatasan durasi, yang tidak memungkinkan 'anchor' untuk memperdalam materi permasalahan dan efektif dalam menimbulkan reaksi pemirsa. Dalam artikel itu juga disebutkan karena inilah, show seperti oprah winfrey atau jay leno lebih efektif dan diminati pemirsa. Dimana perbincangan lebih fokus pada siapa dibalik nara sumber ini. Cerita seperti masa kecilnya dulu, perjuangannya sebelum menjadi seorang figur publik, atau cerita dibalik karya terbaru si nara sumber.

Bagi saya sendiri, dialog dalam acara seperti oprah winfrey, jay leno, david letterman, parkinson atau larry king - merupakan kesempatan untuk melihat sisi lain dari tokoh atau bintang yang saya kagumi, sekaligus memberikan inspirasi atau harapan dalam hidup saya. Apakah untuk menjadi sukses, atau untuk menjadi seorang yang lebih baik.

Namun, di panggung dialog ini, nara sumber bukanlah satu-satunya tokoh yang bisa menonjol. 'Anchor' adalah satu lagi tokoh yang berbagi panggung dialog dengan nara sumber.

Komentar menarik dari seorang korlip di kantor saya, saat itu ia menyaksikan dialog larry king dan shania twain. Ia pribadi tidak merasa 'dekat' dengan shania twain. Saya tahu dia bukan salah satu
penggemar shania twain. Tapi dialog itu tetap menarik buat dirinya karena ia memperhatikan larry king. Sempat terucap dari mulutnya, betapa enaknya menyaksikan larry king mewawancarai nara sumbernya.

Intinya, saya melihat adanya benang merah antara 'show dialog' dengan 'panggung teater'. Ada konflik, ada dua tokoh sentral, ada plot cerita - dalam hal ini 'alur dialog'.

Kekuatan dialog bisa berasal dari karakter kedua tokoh sentral ini. Perhatikan dialog Putra Nababan dengan Hendropriyono di Seputar Indonesia. Hendropriyono dengan arogan dan gamblang menantang TPF. Jack Nicholson dalam 'Few Good Men'? (Genre Thriller) Atau dialog Rosiana Silalahi dengan pemulung yang harus membawa mayat anaknya sendiri ke bogor untuk dimakamkan karena tidak punya uang untuk menyewa mobil jenazah. Saat Rosi bertanya: "Apa yang Bapak katakan kepada polisi setelah berada di kantor polisi selama empat jam?" - si
pemulung pun tak kuasa menahan tangis. (Genre Drama)

Permasalahannya kini adalah pertanyaan seperti apa yang bisa menimbulkan 'reaksi' - sekali lagi 'reaksi' - dari nara sumber seperti yang kita inginkan. Kemampuan memanipulasi emosi nara sumber menjadi penting. Dalam peliputan pun kita seringkali melakukan hal yang sama, karena seperti yang diajarkan PJTV - ekspresi-lah yang dicari dalam wawancara.

Namun, fokus dialog bisa beralih ke si 'anchor'. Bayangkan melihat si anchor menanyakan pertanyaan gamblang yang ada di kepala kebanyakan orang atau pemirsa di rumah. Atau gayanya? Kepercayaan dirinya? Atau empatinya? Bayangkan melihat dialog dimana si anchor menepuk pelan tangan nara sumber yang baru saja menitikkan air mata saat menceritakan
penderitaannya. Bukankah mendengar cerita nara sumber, kebanyakan orang akan tergelitik menepuk pelan tangannya atau menepuk bahunya?

Dialog antara SBY dan Salim Said misalnya. Pertanyaan yang diajukan Salim Said begitu gamblang dan berada di kepala kebanyakan orang. Akibatnya, jawaban SBY pun menjadi gamblang. Ada bagian dimana SBY tersenyum geli sendiri saat Salim Said menanyakan insiden dimana protokol Amerika Serikat menyebut dirinya Susilo Bambang Yoko-ono. Bagi saya, sangat menarik melihat Salim Said dalam dialog itu.

Contoh lainnya mungkin adalah program 'Hard Talk' di BBC. Dalam hal ini saya melihat adanya upaya anchor untuk mewakili pemirsa yang selama ini sinis terhadap sejumlah permasalahan yang ada. Si anchor berusaha keras membuang 'akses lemak' atau 'tai kucing' yang biasanya 'menggemuk' saat dialog berlangsung - apakah itu untuk menjaga perasaan nara sumber atau
karena permasalahannya dianggap sensitif. Saya pun asik melihat si anchor menanyakan pertanyaan sinis yang ada di kepala saya.


Saya melihat ini adalah inti dari panggung dialog. Sisanya adalah 'gimmick'. Misalnya paket berita di awal dialog. Mudah2-an curhat saya ini berguna buat kita semua.

Bhayu Sugarda

Dari Dateline ke surat Produser

Saya Senin pagi tadinya mau riset soal Dateline yang katanya mendapat tekanan dari pemerintah Australia soal liputannya ke Timor Leste. Saya mau protes ke Dateline lewat email soal ini. Karena tidak ada sama sekali pemberitaan soal tekanan Pemerintah ke Dateline. Bahkan Dateline sendiri tidak memberitahu pemirsanya soal ini lewat websitenya. Tapi kan saya perlu riset dulu. Lalu tanpa sengaja saya menemukan sesuatu yang menarik.

Saat saya membuat telaah ‘Tawuran’, saya sempat menanyakan ke Mas Rizal, soal kemungkinan membuat iklan di media massa (koran/majalah) memberitahu bahwa Astro Awani sedang berupaya membuat laporan tentang tawuran dan sedang mencari keluarga korban meninggal akibat tawuran yang kebetulan punya footage (video) saat masih hidup, seperti ulang tahun, lulusan, dll. Ide ini muncul karena ‘impact’ ke pemirsa akan lebih besar kalau bisa mendapatkan footage video semasa hidup – dibanding hanya foto. Saya jujur cukup terkejut, karena kalau berdasarkan riset internet, kebanyakan korban tewas akibat tawuran adalah siswa STM atau SMK. Selain itu data korban tewas akibat tawuran dari sekolah elit misalnya tidak ada. Ada satu yang tinggalnya di Kemang Timur, ternyata orang tuanya tukang mie ayam. Bahkan muncul kecurigaan di diri saya, jangan-jangan ada sesuatu yang lebih besar di balik ini…bahwa anak-anak STM ini hanya menjadi sasaran hobi tawuran anak-anak sekolah elite yang lebih mampu beli senjata (pistol/tajam). Tapi yang jelas, tidak ada satu pun korban tewas dari kalangan berada.

Anyway, kembali ke soal iklan pemberitahuan liputan tertentu di media massa. Saat saya tanya Mas Rizal etis tidak, beliau menjawab, “kalau soal etis atau tidak…etis-etis saja. Tapi yang jelas tidak biasa.”. Setelah itu, saya sedikit ragu sehingga saya meninggalkan ide itu. Selain pertiimbangan waktu, karena tentunya untuk mendapatkan jawaban dari pembaca koran atau majalah perlu waktu. Belum masalah menyortir-nya.

Nah, saya browsing di internet, ketahuan ternyata ide ini sudah dilakukan orang lain. Berikut surat yang di-post di sebuah website kesehatan
http://www.medscape.com.

Letter
From Karen Heywood, Producer, Dateline NBC
October 11, 1999

from
Medscape General Medicine [TM]

National newsmagazine DATELINE NBC is looking for participants for a possible report about Internet medical health information. We hope Medscape.com users might be able to help.
DATELINE is looking for stories from people who have used the Internet to find such information or order products. Were you satisfied? Do you feel you were led astray?
Those interested may e-mail Karen Heywood (
karen.heywood@nbc.com) or call 202-885-4484 for more information or to tell us their stories. All information will be kept confidential unless the participant agrees that NBC may use it.
Thank you.


Karen HeywoodProducerDateline NBCWashington, DC
karen.heywood@nbc.com

Setelah saya baca ini, saya ingat cerita Dio tentang pengakuan Dady (penulis ‘Menelusuri Lorong Gelap’ – buku jurnalitik investigasi) yang cerita sulitnya dia mencari korban perkosaan akibat kerusuhan 98. Seakan-akan tidak ada gadis keturunan yang menjadi korban perkosaan. Akhirnya apa yang dia lakukan adalah mem-post email di sebuah mailing list dan mengatakan bahwa dia tidak percaya ada gadis keturunan yang menjadi korban perkosaan. Ternyata ini memancing amarah sejumlah anggota milis. Mereka mengatakan bahwa kejadian itu benar terjadi. Dady pun menjawan mana buktinya? Dari situlah akhirnya dia mendapatkan informasi lengkap soal korban perkosaan tahun 98.


Solusi: Kalau mencari nara sumber, bergabung dengan mailist/ mem-post email ke website tertentu/ atau memasang iklan di media massa…bisa jadi cara efektif mencari sesuatu yang tersembunyi selama ini… yang mungkin bisa memberi inspirasi atau menggerakkan emosi pemirsa. Cara paling sederhana (dan ada di bukunya Bill Kovach…hehehe) adalah nongkrong di warung, tempat nongkrong atau kafe dan…. ‘listen’.

Cheers,

Bhayu Sugarda

Curious Community untuk memicu virus informasi...huh?

Satu lagi nih, hasil ngemeng2 sama teman.

Suatu hari seorang kawan menonton Telaah episode IPDN. Komentarnya melalui sms adalah “tayangan seperti ini bisa menimbulkan ‘curious community’ dan memicu timbulnya virus informasi.”. Waduh apa artinya ini. Besoknya saya ketemu dengan kawan ini. Dia menjelaskan, yang namanya ‘curious community’ itu adalah orang-orang yang kemudian mengikuti perkembangan kasus dan menjadi ‘addict’ terhadap program. Forum diskusi pun muncul sehingga muncul fakta, opini atau data-data baru – perlahan-lahan informasi yang ada berkembang biak – seperti halnya…virus! Saya balik tanya, “tapi informasi yang berkembang itu bisa jadi ‘noise’ gak belakangan?”. Yah itu tergantung noise di mana (alias komunitas mana). Tapi intinya, akan muncul orang-orang yang mendiskusikan tayangan telaah dan ingin pembahasan lanjutan soal kasus tertentu. Jadi kasus IPDN misalnya, karena muncul diskusi setelah tayangan telaah tentunya ada keinginan untuk mengetahui lebih jauh perkembangan kasus itu. Sementara yang sering terjadi di FTA, hanya sekali tayang dan sesudah itu selesai sehingga perlahan diskusi itu pun mati. Kalo di-budi dayakan (kan terminology-nya virus yah), hasilnya adalah ‘loyal followers’ dari program. Sehingga saat merujuk ke kasus tertentu, pemirsa setia hanya merujuk ke tayangan telaah misalnya dan mengabaikan tayangan lainnya. Belum lagi pemirsa Astro yang karakteristik-nya kritis (kalo berdasarkan riset ‘Responsible Father” dan ‘Happy Fun Loving’).

Selain itu, kantor pemberitaan bisa menggunakan ‘feedback’ dari pemirsa untuk ide story lanjutannya atau bahkan data baru. Seperti misalnya, saya punya saudara yang anaknya sekolah di IPDN dan ternyata…bla-bla-bla.

Bagaimana mem’budi-daya’kan virus ini? Menurut dia:

- harus ada episode follow up dari kasus tertentu, seperti ipdn misalnya, atau Lumpur lapindo.
- Perlu ada komunitas pemirsa telaah, misalnya mailing list atau email fan club program. Contoh yang bagus mungkin WEB GAUL FORUM (punya indosiar) yang bicara soal penyiar berita kesayangan, share info terbaru mereka, dll.

Tapi terus kata kawan Edwin (yang ternyata diajak ketemuan juga…hehehe) yang sulit mungkin maintain mail list atau email dari pemirsa. Tentunya saat pemirsa mengirim email ada keinginan untuk dibalas khan. Email redaksi di RCTI tidak berjalan karena jarang ada yang rajin menjawab komentar/kritik/komentar pemirsa.

Kurang lebih begitulah hasil perbincangan kami di Krispy Kreme (yummmm) di Setia Budi Building.

Bhayu Sugarda

PS: Kawan ini mengusulkan kita baca ‘Mediating the Message” karya Pamela J. Shoemaker & Stephen D. Reese soal analisa konten berita. Ada yang punya?

Diskusi Investigative Reporting - IJTI

Berikut hasil ngemeng-ngemeng dengan jurnalis tv David O’shea dari stasiun FTA SBS di Australia. Program in-depth-nya di SBS adalah ‘Dateline’. Selain ‘Dateline’ di Australia juga ada 60 minutes (versi Australia) dan Current Affair. Dateline berbeda dengan dua program lainnya karena ‘story’ disampaikan melalui sudut pandang seorang reporter. Topik yang dibahas antara lain konflik di Gaza, Timor Leste, Aceh dan Terorisme di Indonesia. Reporter tidak selalu muncul dalam segmentasi program ini, namun, pembawa acara memberitahu pemirsa bahwa laporan yang akan ditayangkan adalah laporan si reporter. Contoh, “Berikut ini laporan David O’shea dari Timor Leste”.

Diskusi dibuka dengan ‘curhat’-nya dia bahwa pemerintah Australia mulai membredel satu per satu jajaran produksi ‘Dateline’, mulai dari executive producer sampai supervising producer. Alasannya karena Dateline dianggap menyudutkan pemerintah Australia dengan laporan keterlibatan Australia dalam politik negara-negara Asia Pasifik seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon dan Timor Leste. Keterlibatan itu sendiri demi kepentingan Australia, seperti minyak di Timor Leste,dll. Selain keinginan untuk menjadi deputi sherrif AS di Asia Pasifik. Hehehe. Satu per satu mulau dipecat.

Kemudian diskusi menjadi hangat karena mulai menjurus ke teknik junalisme investigasi. Tapi pada akhirnya, komentar David hanya seperti ini, “tapi bisa gak kayak begitu di Indonesia?” (Dia lancar bahasa Indonesia).

Lalu kita ditunjukkan laporan satu jam yang dia buat tentang terorisme di Indonesia. Bukan hanya bom bali tapi juga di poso. Dengan laporan ini, ia menggambarkan keterlibatan intelijen Indonesia dalam aksi terror di Indonesia sendiri. Persenjataan kelompok provokator di poso ternyata milik tni – ada visualnya diperlihatkan amunisi dengan tulisan sebagai bukti bahwa itu milik tni ad. Selain itu, visualisasi da’I bachtiar lagi ngobrol dengan anggota dpr lagi cerita dia baru pulang dari pentagon lalu mendapatkan bantuan dana dari amerika untuk melawan terorisme. Da’i cerita bagaimana dia diperlakukan istimewa di pentagon dan sebagainya sembari tertawa dengan anggota dpr. Gambaran bahwa polri punya kepentingan dengan banyaknya aksi terror di Indonesia terlihat jelas tanpa bicara banyak. Sequence berikutnya adalah da’I bachtiar turun escalator di gedung baru dpr di-iringi musik ‘upbeat’ layaknya soundtrack film saat sang jagoan jalan. (tanpa bicara benar tidaknya tuduhan keterlibatan tni polri dalam aksi terror di Indonesia, namun, ini adalah cara menarik untuk menyampaikan ‘thesis’ atau pandangan si jurnalis.).

Hal yang sama juga dilakukannya saat pertemuan antara da’i bachtiar dengan ketua BIN baru Syamsir siregar. Usai pertemuan, wartawan seperti biasa wawancara da’i bachtiar. Sebelum masuk ke soundbyte-nya Da’I, narasi menyebutkan “after the meeting he only gave us a bland comment about the latest situation.”. Narasi lalu berlanjut dengan menceritakan siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu. Timbul Silaen, mantan kapolda tim-tim. Narasi menyebutkan, “what was the late chief of police in the former East Timor doing in this meeting?”. Berikutnya vox pop ibu-ibu di poso yang ditanya kenapa tidak ada saksi dalam beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi di sana, hanya bilang “ada gerakan tutup mulut, karena takut. Apa? Karena Takut. Ya Takut!” (sepertinya asisten David O’shae sama budegnya kayak ulung. Hehehe)

Berkali-kali ia mengatakan ‘this is funny’ kalo ada visual menarik dari liputannya. Salah satunya demonstrasi yang dilakukan pasukan jihandak, tapi kemudian salah satu petugas lupa memasukkan film ke alat x-ray yang mereka miliki. Kepanikan mereka saat tahu tidak ada film di dalam mesin x-ray di-roll begitu saja, dengan audio nat.sound yang lengkap. (Ternyata kata dio, David waktu di poso pake mic panjang di atas kameranya sehingga bisa tajam menangkap audio.). Belakangan dia bilang begini, “remember, tv itu kan hiburan jadi apa pun..yah harus menarik supaya pemirsa saya tidak pindah channel.”.

Dia mengatakan itu setelah ditanya soal pendekatan kemanusiaan dibanding penyelidikan kasus dalam liputan investigasi. Pertanyaannya adalah liputan “investigasi” (atau diakui sebagai investigasi walaupun hanya in-depth reporting) di Indonesia (paling tidak selama ini di FTA) fokus kepada pengungkapan sesuatu yang baru terkait kasus tertentu. Cara bertuturnya pun lebih pada data-data baru dan bukan ‘pelaku’-nya, langsung atau tidak langsung. Seperti contoh Da’i Bachtiar tadi. David hanya bilang, “orang kan nonton tv untuk lihat orang…”.

Lalu Dhandy, korlip RCTI, tanya sama dia, dari sekian banyak liputan yang dia buat, mana yang bisa diklasifikasi sebagai investigasi. Ia hanya menyebutkan liputan soal terror di Indonesia ‘bisa’ dikategorikan sebagai investigasi, tapi ia menekankan yang dilakukannya mungkin ‘baru’ bagi pemirsa Australia tapi mungkin tidak baru lagi bagi pemirsa Indonesia. Sedangkan liputannya di Timor Leste (lengkap dengan tembak2an usai wawancara dengan Alfredo Reinado) dikatakannya sebagai situation report. Liputan Timor Leste dikatakannya sebagai contoh bagus untuk liputan investigasi yang gagal. Tujuan liputannya sebenarnya adalah membuktikan keterlibatan Australia dalam krisis politik di Timor Leste. Tapi gagal. Sementara liputannya tentang kasus Munir, dia mengatakan, “investigasi saya adalah baca majalah tempo!”, sambil tertawa.

Amrul kamerawan Astro (cie-cie Amrul) lalu komentar, “liputannya dia konsentrasi ke reporting yah…jadi menunggu momen yang dicari.” (David soalnya VJ – kebanyakan visual dia ambil sendiri).

Terakhir, soal label investigasi. David bilang, definisi investigasi bagi dia adalah ‘revealing something’. Tapi kemudian dia mengatakan setiap hari jurnalis di program harian kan selalu mengungkap sesuatu yang baru juga. Jadi sulit mendefinisikan suatu liputan itu investigasi atau bukan. Sementara di kampusnya dulu (UTS – University of Technology Sydney) tidak dibahas tentang investigative journalism karena masih diperdebatkan. Dia pun setuju kebanyakan yang dilakukan adalah in-depth reporting.

Solusi: Banyak2 nonton program ‘in depth’ dari negara-negara lain supaya dapet ide baru cara bertutur kali yeh…

Interesting facts & comments:

- Michael Moore’s ‘Fahrenheit 911’ investigasi gak? David: “Bukan. Itu Dokumenter.”
- Biaya produksi rata2 AUS$ 10,000,- kalo termasuk post pro AUS$ 15,000,-an. Massa produksi 6 minggu rata-rata.
- Rekonstruksi sesaat sebelum almarhum Munir meninggal, dibuat dengan menggunakan ‘mata kamera’ sebagai ‘mata Munir’.
- David:”Liputan investigasi paling 3 kali dalam setahun”. Untuk program setiap minggu, Dateline juga menampilkan profile dan human interest. Jadi tidak setiap minggu in-depth.

Segitu dulu kali yeh…

Bhayu Sugarda

Kasus thalidomide dan pasca banjir

Seno Gumira Ajidarma menulis artikel di ‘Djakarta – the magazine’ soal pasca banjir. Ia mengecam intitusi media yang tidak memberiktakan kondisi korban banjir pasca banjir. Padahal menurut dia, kondisi pasca banjir justru yang paling meresahkan masyarakat. Orang yang tidak bisa minta bantuan orang bayaran untuk membersihkan rumah mereka dan harus hidup dengan bau menyengat khas banjir di rumahnya selama beberapa minggu. Belum lagi yang ada di pengungsian. Di akhir tulisannya ia pun mem-vonis bahwa media memang begitu… “aku ada, karena aku menggemparkan.”…tidak lebih dan tidak kurang.

Lalu apa hubungannya dengan kasus thalidomide?

Thalidomide adalah kasus obat yang digunakan ibu hamil di Inggris pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an, untuk mengurangi dampak muntah-muntah saat hamil atau ‘morning sickness’. Antara tahun 1956 hingga tahun 1962, sekitar 10 ribu anak lahir cacat. Kasus paling parah adalah seorang anak lahir tanpa tangan dan kaki. Dalam periode tersebut, pemberitaan mengenai hal ini begitu gencar. Kasus tuntutan keluarga korban kepada perusahaan farmasi asal Jerman, Grunenthal, berlangsung bertahun-tahun. Pada akhirnya, keluarga korban rata-rata mendapatkan ganti rugi sebesar 15 ribu sampai 20 ribu pounds atau sekitar 40 ribu dolar amerika. Padahal biaya untuk kebutuhan khusus yang diperlukan korban akibat cacat seumur hidup - kurang lebih 100 ribu pounds. Ini berarti hanya seperempat dari apa yang berhak mereka terima.

Sepuluh tahun kemudian, koran the Sunday Times, memutuskan untuk membongkar ‘kelalaian’ yang dilakukan perusahaan farmasi Grunenthal. Investigasi yang mereka lakukan menunjukkan perusahaan farmasi itu tidak melakukan penelitian dampak thalidomide pada konsumen utama obat itu – yaitu ibu hamil. Padahal penelitian pengaruh obat pada ibu hamil dengan menggunakan binatang telah dilakukan perusahaan farmasi dunia sejak tahun 1950-an. Namun, mereka menghadapi kendala undang-undang yang melarang pemberitaan terkait kasus hukum yang sedang berlangsung. Pertarungan demi memperjuangkan laporan soal kelalaian Grunenthal pun terjadi. Laporan berseri di koran The Sunday Times pun dirancang. Dengan bantuan penasehat hukum, redaktur koran itu mempelajari setiap artikel sebelum masuk percetakan. Saat laporan pertama muncul…media lainnya tiarap – baik itu koran, televisi maupun radio. Radio BBC sempat mewawancara redaktur koran itu masalah kasus Thalidomide di studio. Namun, setelah itu tidak ada lagi.

Redaktur itu adalah Harold Evans. Ia belakangan menulis soal ini dalam bukunya ‘Good Times, Bad Times’. Berikut bagian dari apa yang dia rasakan saat itu.

“The erratic nature of the interest in the Thalidomide children was also a reflection of the way newspapers and television news programmes work. ‘News’ is defined too episodically and too topically. It was the same in 1959 – 62, when Thalidomide was found to have affected 8,000 children round the world. There was an outcry, but then concern was allowed to evaporate. Nothing ‘new’ happened, nobody made speeches or marched down Whitehall, so there was no ‘news’ and the Thalidomide victims were gradually forgotten. The unconscious assumption was that our institutions functioned the way they are supposed to function: the law was seeing that justice was done. But it wasn’t; and journalism had not learned how to write about processes, rather than about events. The process of legal disaster and the gradual disintegration of the families was ignored.”

Terjemahan: (biasa bikin translation nih soalnya, hehehe)

“Naik turunnya ketertarikan soal anak-anak Thalidomide juga merupakan cermin dari bagaimana koran dan program berita televisi bekerja. Yang dikatakan sebagai ‘Berita’ ditentukan secara episodik dan terlalu berdasarkan topik. Sama dengan yang terjadi antara 1959 – 62, ketika Thalidomide diketahui mempengaruhi 8 ribu anak di dunia. Muncul kecaman saat itu, tapi kemudian keprihatian soal itu dibiarkan menghilang. Tidak ada yang baru terjadi, tidak satu pun berorasi atau berunjuk rasa ke Whitehall (ie Parlemen), jadi tidak ada ‘berita’ dan korban Thalidomide perlahan dilupakan. Asumsi bawah sadar adalah bahwa institusi kita (ie media) berfungsi seperti seharusnya: hukum berjalan seperti apa adanya untuk mencari keadilan. Padahal tidak begitu; dan jurnalisme tidak belajar untuk menulis tentang proses, dibanding peristiwa. Proses dari carut marutnya persidangan dan kehancuran perlahan keluarga korban diabaikan.”.

Saya pernah tanya sama Mas Imam soal ‘Berapa umur berita?’ dan beliau menjawab pada saat tensi berita itu turun bisa diberikan ‘renewal’ – katanya istilah marketing, yang artinya aspek kebaruan. Baik itu angle atau apa pun yang sifatnya membuat berita itu menjadi kontekstual. Bagaimana? Ada yang punya ide lain?

Bhayu Sugarda

PS: Ada kutipan menarik dari kasus ini di buku-nya Harold Evans. Seorang pengacara, James Evans, ditugaskan memantau penulisan laporan ini agar tidak dianggap melanggar hukum. Semua artikel soal Thalidomide dia baca dengan kaca mata hukum, sebelum diputuskan bisa masuk cetak atau tidak. Saat si redaktur meminta nasihatnya tentang rencana laporan berseri tentang Thalidomide, James Evans hanya bilang, “I have the picture perfectly. Alpine tourist asks guide to take him to the top of the Eiger by the safe route…Let me think about it, mm?”. (Terjemahan: “Saya punya gambarannya. Seorang turis gunung Alpine minta arahan caranya menuju puncak Eiger melalui rute aman…Saya pikirkan dulu?”.).

Young Acehnese


Saturday, April 23, 2005

*Note: Ever since the Emergency Military Operation in Aceh at 2003, news coverage has dangerous consequences.There are reports of news sources have been taken hours after being interviewed. The writer takes the liberty to give initials for Acehnese news source.

'A', a 20 something Acehnese, shook his head and sneered. "These GAM are crazy if you think about it. They're crazy enough to fight the army!", said 'A' slightly amused, while both of his hands on the steering wheel and eyes fixed on the road.We were on our way to the Banda Aceh city hall to interview PLN's (government owned electricity company) General Manager of NAD Province, regarding the 2 hour black out along the north coast of Aceh, on the 15th February, between 8 to 10 pm, following rumours that GAM was responsible for the black out. This was the second time, during my stay in Aceh, that 'A' took me to where I needed to go.

His subtle awe to GAM, made me turned my head and analysed the expression on his face. I muttered a weak yes, nodded and smiled reluctantly. Since the disastrous quake and tsunami, last December, he has been working as a rental car driver. The sudden surge of media interest, both local and international, has made several profitable businesses including car rentals. He was one of the few native Banda Aceh that didn't get hit by the tsunami.

At that moment, I realised the importance of peace talks between RI and GAM, in the midst of the Indonesian Government's and International efforts to rebuild Aceh. Now is the time to do what needs to be done almost 3 decades ago, when GAM first founded.It was never easy to fight geurilla movement such as this. The second informal peace talks started on the 21st February, at Helsinsky, Finland, ended last Thursday. It was reported that GAM agreed to have cease fire and willing to consider special autonomy under the Indonesian Government. Despite all this, conflict in the region is far from over.People of Aceh are still divided on this matter. Note that the writer has no incling on how divided the people on this issue.

The conflict had resulted in resentment towards Javanese dissendents. This resentment comes from the fact that Indonesian military personnel assigned to this region mostly comes from Java. However, it still lies dormant and hasn't erupted into a full blown racism. As with the young Acehnese, especially in Banda Aceh, they would go about their own business, doing what most twenty something male Indonesians are interested in, such as techno music and pirated dvd's. Trying to make a decent income for them to be able to get their hands on the 'western' goods, in the midst of the horrifying outcome of the conflict endured by their distant relatives in remote areas of the Aceh province.

'H' is another native Aceh driver, from Lhokseumawe, that I met during my time in the province covering the relief efforts. He has no reservation in driving me to areas considered to be 'black' areas, where engagements between military or law enforcements with GAM are frequent and unsafe for journalists. Whenever conversations regarding GAM come up, he shows disapproval for the suffering that the movement has caused the people of Aceh. But then, when the rumours that GAM was responsible for the black out, he offered a journalist friend of mine to meet with a GAM official living in the city of Banda Aceh. The meeting never took place because the military relief effort command centre, denies the allegation that sabotage was what caused the black out.

GAM is real to them. Government within the government, fueling patriotism amongst the Acehnese, against the Javanese colonisation. Unethical conducts by military personnel who are frustated because of overstay in Aceh, lack of decent income for themselves and their families back home (soldier's salary: Rp. 700,000 per month) only further the repression felt by them and longing for a government, by the people - for the people of Aceh.

As for 'H', the dual government and confussion of loyalty, is no longer an issue. Indonesia is a system inwhich they are able to provide for their family, and Nanggroe Aceh(Negeri Aceh ie Aceh Nation) is where their heart lies. The freedom to speak out on what they believe in, is exercised subtly among Acehnese and hidden underneath the Aceh native language. The devastation caused by the tsunami late last year, has given the opportunity for both stakeholders, Indonesia and GAM, to start over. For the Government, a chance to build trust and simpathy of the Acehnese by running a humanitarian campain. For GAM, to take part in rebuilding Aceh as a nation.

Bhayu Sugarda

An Aspiring Reporter


Monday, April 25, 2005

“As an aspiring reporter”, that was what I wrote on my cover letter to Channel News Asia, Monday Afternoon, around 4.30 pm. And then, suddenly the news broke. Ersa Siregar, died with a bullet on his neck. Several reporters on duty, tried to confirm this news, and succeded.

It was confirmed, the fatherly figure that we know as Bang Ersa died during a crossfire, between GAM and the army. His body had already been evacuated to the Korem Hospital in Lhokseumawe that afternoon, according to a source.

Soon after, one of the Division Head, Atmaji sumarkijo, entered the newsroom and broke the news to everybody in the room.“After the crossfire, two bodies were found. One was a GAM soldier, and the other was a civilian. The army had confirmed that the civilian was identified as Ersa Siregar.”

The clatter of keyboards, the chatter of Editors, Producers and Reporters, trying to make the news for the Afternoon Program died out.But, as it quickly went silent, several reporters got working immediately. Jos ran to the library to get some visuals of Ersa, for the Afternoon News.

Vida, the Weekend News Producer, searched her files endlessly for the last package Ersa had done, before his captive. Edwin arrived, just after five, to help the producers with ersa story because he was one of the few that knew Ersa, during his last days covering the conflict in Aceh.

It was Headline news on Metro TV that went on air first with the news. The phone started ringing, from other medias asking for confirmation.SCTV followed, and then RCTI.Aman Wicaksono tried to hold back tears, during the newscast. So did Devi Triana.The recorded visuals and voice of Bang Ersa was heard over the air. It was his “ON CAM” during a cross fire, in his first week of his last assignment in Aceh, on July 2003.

Yulia, an off-duty Producer, arrived in the office, around 7.30 pm, shortly after cancelling her date, to help out with the plan to make a special program on Ersa, to be aired on the same night.An ‘aspiring reporter’, felt completely helpless, because the one person that aspire him to become a journalist, had past away.