Wednesday, April 25, 2007

Idea of interview


Ini sebenarnya lebih ke curhat dibanding analisa, berdasarkan sejumlah artikel, perbincangan maupun masukan dari negeri paman sam yang pernah aku dengar dari berbagai sumber.

Ada semacam keengganan untuk meng-ilmu-kan 'broadcast journalism' dengan alasan khusus untuk binatang satu ini, 'skill' dianggap lebih penting dibanding teori. Pengajar di PJTV - Pendidikan Juralistik Televisi, Horea Salajan, saat saya tanya apakah ada buku yang bisa dia recommend untuk mempelajari bagaimana memproduksi program berita - dari konsep,
show maupun penyusunan rundown - Horea hanya mengatakan seperti ini: "Ibaratnya kamu sudah bisa bermain sebuah instrumen musik. Apa pun itu, gitar misalnya. Untuk menulis lagu, kamu hanya perlu menggunakan kreatifitas kamu. Tidak ada buku yang bisa mengajarkan kamu membuat lagu, kan?."

Bahkan dia mengusulkan untuk membaca buku-buku novel klasik dari abad 18. Karena menurut Horea, dengan membaca novel-novel klasik itu, kita akan bisa lebih mendalami interaksi antar manusia dan nilai-nilai yang penting bagi manusia.

Selain itu, sejumlah universitas di jakarta, menawarkan program d-3 - untuk broadcast journalism. Sedangkan S-1 Jurnalistik, mata kuliahnya lebih menekankan pada jurnalisme cetak.

Tapi kemudian, setelah memperhatikan komponen yang ada di produksi pemberitaan televisi, keengganan itu mungkin ada benarnya. Karena 'broadcast journalism' adalah semacam hybrid sejumlah ilmu yang sudah ada. Dari sinematografi, jurnalistik, teknik hingga manajemen.
Gabungan antara seni dan teknik.

Berdasarkan pemikiran ini, muncul semacam pandangan yang menarik dalam diri saya - soal live interview, atau biasa disebut dialog.

Ada unsur drama yang berusaha ditawarkan program dialog. Namun, tidak hanya itu. Dialog informatif - memberikan penjelasan kepada sesuatu yang dianggap rumit DAN dialog yang sifatnya 'revealing' atau mengungkap sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

Coba perhatikan panggung dialog dari layar televisi. Panggung ini terdiri dari dua pemain minimal. Seorang pembawa acara atau mediator, dalam hal ini 'anchor' dan si nara sumber. Ada suatu permasalahan atau 'konflik' yang ditawarkan dalam panggung dialog ini, sehingga patut dan diangap penting untuk dibicarakan. Konflik inilah yang kemudian menjadi pusat perhatian kedua 'tokoh' atau karakter di atas panggung ini. Seperti layaknya pertunjukan teater, pertunjukan - atau show - dari dialog ini menimbulkan reaksi emosional pemirsa. Apakah membuat pemirsa
tertawa, geli, tegang, sedih, terharu, berfikir atau mendapatkan pencerahan.

Dalam artikel tentang 'live interview' kiriman mailist PJTV juga yang dikutip dari sebuah publikasi di negeri paman Sam, disebutkan bahwa live interview kini semakin sulit, karena nara sumber kini lebih 'media savvy' dengan kuasa hukum nara sumber memastikan konten dialog tidak
akan merugikan kliennya. Selain tentunya, keterbatasan durasi, yang tidak memungkinkan 'anchor' untuk memperdalam materi permasalahan dan efektif dalam menimbulkan reaksi pemirsa. Dalam artikel itu juga disebutkan karena inilah, show seperti oprah winfrey atau jay leno lebih efektif dan diminati pemirsa. Dimana perbincangan lebih fokus pada siapa dibalik nara sumber ini. Cerita seperti masa kecilnya dulu, perjuangannya sebelum menjadi seorang figur publik, atau cerita dibalik karya terbaru si nara sumber.

Bagi saya sendiri, dialog dalam acara seperti oprah winfrey, jay leno, david letterman, parkinson atau larry king - merupakan kesempatan untuk melihat sisi lain dari tokoh atau bintang yang saya kagumi, sekaligus memberikan inspirasi atau harapan dalam hidup saya. Apakah untuk menjadi sukses, atau untuk menjadi seorang yang lebih baik.

Namun, di panggung dialog ini, nara sumber bukanlah satu-satunya tokoh yang bisa menonjol. 'Anchor' adalah satu lagi tokoh yang berbagi panggung dialog dengan nara sumber.

Komentar menarik dari seorang korlip di kantor saya, saat itu ia menyaksikan dialog larry king dan shania twain. Ia pribadi tidak merasa 'dekat' dengan shania twain. Saya tahu dia bukan salah satu
penggemar shania twain. Tapi dialog itu tetap menarik buat dirinya karena ia memperhatikan larry king. Sempat terucap dari mulutnya, betapa enaknya menyaksikan larry king mewawancarai nara sumbernya.

Intinya, saya melihat adanya benang merah antara 'show dialog' dengan 'panggung teater'. Ada konflik, ada dua tokoh sentral, ada plot cerita - dalam hal ini 'alur dialog'.

Kekuatan dialog bisa berasal dari karakter kedua tokoh sentral ini. Perhatikan dialog Putra Nababan dengan Hendropriyono di Seputar Indonesia. Hendropriyono dengan arogan dan gamblang menantang TPF. Jack Nicholson dalam 'Few Good Men'? (Genre Thriller) Atau dialog Rosiana Silalahi dengan pemulung yang harus membawa mayat anaknya sendiri ke bogor untuk dimakamkan karena tidak punya uang untuk menyewa mobil jenazah. Saat Rosi bertanya: "Apa yang Bapak katakan kepada polisi setelah berada di kantor polisi selama empat jam?" - si
pemulung pun tak kuasa menahan tangis. (Genre Drama)

Permasalahannya kini adalah pertanyaan seperti apa yang bisa menimbulkan 'reaksi' - sekali lagi 'reaksi' - dari nara sumber seperti yang kita inginkan. Kemampuan memanipulasi emosi nara sumber menjadi penting. Dalam peliputan pun kita seringkali melakukan hal yang sama, karena seperti yang diajarkan PJTV - ekspresi-lah yang dicari dalam wawancara.

Namun, fokus dialog bisa beralih ke si 'anchor'. Bayangkan melihat si anchor menanyakan pertanyaan gamblang yang ada di kepala kebanyakan orang atau pemirsa di rumah. Atau gayanya? Kepercayaan dirinya? Atau empatinya? Bayangkan melihat dialog dimana si anchor menepuk pelan tangan nara sumber yang baru saja menitikkan air mata saat menceritakan
penderitaannya. Bukankah mendengar cerita nara sumber, kebanyakan orang akan tergelitik menepuk pelan tangannya atau menepuk bahunya?

Dialog antara SBY dan Salim Said misalnya. Pertanyaan yang diajukan Salim Said begitu gamblang dan berada di kepala kebanyakan orang. Akibatnya, jawaban SBY pun menjadi gamblang. Ada bagian dimana SBY tersenyum geli sendiri saat Salim Said menanyakan insiden dimana protokol Amerika Serikat menyebut dirinya Susilo Bambang Yoko-ono. Bagi saya, sangat menarik melihat Salim Said dalam dialog itu.

Contoh lainnya mungkin adalah program 'Hard Talk' di BBC. Dalam hal ini saya melihat adanya upaya anchor untuk mewakili pemirsa yang selama ini sinis terhadap sejumlah permasalahan yang ada. Si anchor berusaha keras membuang 'akses lemak' atau 'tai kucing' yang biasanya 'menggemuk' saat dialog berlangsung - apakah itu untuk menjaga perasaan nara sumber atau
karena permasalahannya dianggap sensitif. Saya pun asik melihat si anchor menanyakan pertanyaan sinis yang ada di kepala saya.


Saya melihat ini adalah inti dari panggung dialog. Sisanya adalah 'gimmick'. Misalnya paket berita di awal dialog. Mudah2-an curhat saya ini berguna buat kita semua.

Bhayu Sugarda

Dari Dateline ke surat Produser

Saya Senin pagi tadinya mau riset soal Dateline yang katanya mendapat tekanan dari pemerintah Australia soal liputannya ke Timor Leste. Saya mau protes ke Dateline lewat email soal ini. Karena tidak ada sama sekali pemberitaan soal tekanan Pemerintah ke Dateline. Bahkan Dateline sendiri tidak memberitahu pemirsanya soal ini lewat websitenya. Tapi kan saya perlu riset dulu. Lalu tanpa sengaja saya menemukan sesuatu yang menarik.

Saat saya membuat telaah ‘Tawuran’, saya sempat menanyakan ke Mas Rizal, soal kemungkinan membuat iklan di media massa (koran/majalah) memberitahu bahwa Astro Awani sedang berupaya membuat laporan tentang tawuran dan sedang mencari keluarga korban meninggal akibat tawuran yang kebetulan punya footage (video) saat masih hidup, seperti ulang tahun, lulusan, dll. Ide ini muncul karena ‘impact’ ke pemirsa akan lebih besar kalau bisa mendapatkan footage video semasa hidup – dibanding hanya foto. Saya jujur cukup terkejut, karena kalau berdasarkan riset internet, kebanyakan korban tewas akibat tawuran adalah siswa STM atau SMK. Selain itu data korban tewas akibat tawuran dari sekolah elit misalnya tidak ada. Ada satu yang tinggalnya di Kemang Timur, ternyata orang tuanya tukang mie ayam. Bahkan muncul kecurigaan di diri saya, jangan-jangan ada sesuatu yang lebih besar di balik ini…bahwa anak-anak STM ini hanya menjadi sasaran hobi tawuran anak-anak sekolah elite yang lebih mampu beli senjata (pistol/tajam). Tapi yang jelas, tidak ada satu pun korban tewas dari kalangan berada.

Anyway, kembali ke soal iklan pemberitahuan liputan tertentu di media massa. Saat saya tanya Mas Rizal etis tidak, beliau menjawab, “kalau soal etis atau tidak…etis-etis saja. Tapi yang jelas tidak biasa.”. Setelah itu, saya sedikit ragu sehingga saya meninggalkan ide itu. Selain pertiimbangan waktu, karena tentunya untuk mendapatkan jawaban dari pembaca koran atau majalah perlu waktu. Belum masalah menyortir-nya.

Nah, saya browsing di internet, ketahuan ternyata ide ini sudah dilakukan orang lain. Berikut surat yang di-post di sebuah website kesehatan
http://www.medscape.com.

Letter
From Karen Heywood, Producer, Dateline NBC
October 11, 1999

from
Medscape General Medicine [TM]

National newsmagazine DATELINE NBC is looking for participants for a possible report about Internet medical health information. We hope Medscape.com users might be able to help.
DATELINE is looking for stories from people who have used the Internet to find such information or order products. Were you satisfied? Do you feel you were led astray?
Those interested may e-mail Karen Heywood (
karen.heywood@nbc.com) or call 202-885-4484 for more information or to tell us their stories. All information will be kept confidential unless the participant agrees that NBC may use it.
Thank you.


Karen HeywoodProducerDateline NBCWashington, DC
karen.heywood@nbc.com

Setelah saya baca ini, saya ingat cerita Dio tentang pengakuan Dady (penulis ‘Menelusuri Lorong Gelap’ – buku jurnalitik investigasi) yang cerita sulitnya dia mencari korban perkosaan akibat kerusuhan 98. Seakan-akan tidak ada gadis keturunan yang menjadi korban perkosaan. Akhirnya apa yang dia lakukan adalah mem-post email di sebuah mailing list dan mengatakan bahwa dia tidak percaya ada gadis keturunan yang menjadi korban perkosaan. Ternyata ini memancing amarah sejumlah anggota milis. Mereka mengatakan bahwa kejadian itu benar terjadi. Dady pun menjawan mana buktinya? Dari situlah akhirnya dia mendapatkan informasi lengkap soal korban perkosaan tahun 98.


Solusi: Kalau mencari nara sumber, bergabung dengan mailist/ mem-post email ke website tertentu/ atau memasang iklan di media massa…bisa jadi cara efektif mencari sesuatu yang tersembunyi selama ini… yang mungkin bisa memberi inspirasi atau menggerakkan emosi pemirsa. Cara paling sederhana (dan ada di bukunya Bill Kovach…hehehe) adalah nongkrong di warung, tempat nongkrong atau kafe dan…. ‘listen’.

Cheers,

Bhayu Sugarda

Curious Community untuk memicu virus informasi...huh?

Satu lagi nih, hasil ngemeng2 sama teman.

Suatu hari seorang kawan menonton Telaah episode IPDN. Komentarnya melalui sms adalah “tayangan seperti ini bisa menimbulkan ‘curious community’ dan memicu timbulnya virus informasi.”. Waduh apa artinya ini. Besoknya saya ketemu dengan kawan ini. Dia menjelaskan, yang namanya ‘curious community’ itu adalah orang-orang yang kemudian mengikuti perkembangan kasus dan menjadi ‘addict’ terhadap program. Forum diskusi pun muncul sehingga muncul fakta, opini atau data-data baru – perlahan-lahan informasi yang ada berkembang biak – seperti halnya…virus! Saya balik tanya, “tapi informasi yang berkembang itu bisa jadi ‘noise’ gak belakangan?”. Yah itu tergantung noise di mana (alias komunitas mana). Tapi intinya, akan muncul orang-orang yang mendiskusikan tayangan telaah dan ingin pembahasan lanjutan soal kasus tertentu. Jadi kasus IPDN misalnya, karena muncul diskusi setelah tayangan telaah tentunya ada keinginan untuk mengetahui lebih jauh perkembangan kasus itu. Sementara yang sering terjadi di FTA, hanya sekali tayang dan sesudah itu selesai sehingga perlahan diskusi itu pun mati. Kalo di-budi dayakan (kan terminology-nya virus yah), hasilnya adalah ‘loyal followers’ dari program. Sehingga saat merujuk ke kasus tertentu, pemirsa setia hanya merujuk ke tayangan telaah misalnya dan mengabaikan tayangan lainnya. Belum lagi pemirsa Astro yang karakteristik-nya kritis (kalo berdasarkan riset ‘Responsible Father” dan ‘Happy Fun Loving’).

Selain itu, kantor pemberitaan bisa menggunakan ‘feedback’ dari pemirsa untuk ide story lanjutannya atau bahkan data baru. Seperti misalnya, saya punya saudara yang anaknya sekolah di IPDN dan ternyata…bla-bla-bla.

Bagaimana mem’budi-daya’kan virus ini? Menurut dia:

- harus ada episode follow up dari kasus tertentu, seperti ipdn misalnya, atau Lumpur lapindo.
- Perlu ada komunitas pemirsa telaah, misalnya mailing list atau email fan club program. Contoh yang bagus mungkin WEB GAUL FORUM (punya indosiar) yang bicara soal penyiar berita kesayangan, share info terbaru mereka, dll.

Tapi terus kata kawan Edwin (yang ternyata diajak ketemuan juga…hehehe) yang sulit mungkin maintain mail list atau email dari pemirsa. Tentunya saat pemirsa mengirim email ada keinginan untuk dibalas khan. Email redaksi di RCTI tidak berjalan karena jarang ada yang rajin menjawab komentar/kritik/komentar pemirsa.

Kurang lebih begitulah hasil perbincangan kami di Krispy Kreme (yummmm) di Setia Budi Building.

Bhayu Sugarda

PS: Kawan ini mengusulkan kita baca ‘Mediating the Message” karya Pamela J. Shoemaker & Stephen D. Reese soal analisa konten berita. Ada yang punya?

Diskusi Investigative Reporting - IJTI

Berikut hasil ngemeng-ngemeng dengan jurnalis tv David O’shea dari stasiun FTA SBS di Australia. Program in-depth-nya di SBS adalah ‘Dateline’. Selain ‘Dateline’ di Australia juga ada 60 minutes (versi Australia) dan Current Affair. Dateline berbeda dengan dua program lainnya karena ‘story’ disampaikan melalui sudut pandang seorang reporter. Topik yang dibahas antara lain konflik di Gaza, Timor Leste, Aceh dan Terorisme di Indonesia. Reporter tidak selalu muncul dalam segmentasi program ini, namun, pembawa acara memberitahu pemirsa bahwa laporan yang akan ditayangkan adalah laporan si reporter. Contoh, “Berikut ini laporan David O’shea dari Timor Leste”.

Diskusi dibuka dengan ‘curhat’-nya dia bahwa pemerintah Australia mulai membredel satu per satu jajaran produksi ‘Dateline’, mulai dari executive producer sampai supervising producer. Alasannya karena Dateline dianggap menyudutkan pemerintah Australia dengan laporan keterlibatan Australia dalam politik negara-negara Asia Pasifik seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon dan Timor Leste. Keterlibatan itu sendiri demi kepentingan Australia, seperti minyak di Timor Leste,dll. Selain keinginan untuk menjadi deputi sherrif AS di Asia Pasifik. Hehehe. Satu per satu mulau dipecat.

Kemudian diskusi menjadi hangat karena mulai menjurus ke teknik junalisme investigasi. Tapi pada akhirnya, komentar David hanya seperti ini, “tapi bisa gak kayak begitu di Indonesia?” (Dia lancar bahasa Indonesia).

Lalu kita ditunjukkan laporan satu jam yang dia buat tentang terorisme di Indonesia. Bukan hanya bom bali tapi juga di poso. Dengan laporan ini, ia menggambarkan keterlibatan intelijen Indonesia dalam aksi terror di Indonesia sendiri. Persenjataan kelompok provokator di poso ternyata milik tni – ada visualnya diperlihatkan amunisi dengan tulisan sebagai bukti bahwa itu milik tni ad. Selain itu, visualisasi da’I bachtiar lagi ngobrol dengan anggota dpr lagi cerita dia baru pulang dari pentagon lalu mendapatkan bantuan dana dari amerika untuk melawan terorisme. Da’i cerita bagaimana dia diperlakukan istimewa di pentagon dan sebagainya sembari tertawa dengan anggota dpr. Gambaran bahwa polri punya kepentingan dengan banyaknya aksi terror di Indonesia terlihat jelas tanpa bicara banyak. Sequence berikutnya adalah da’I bachtiar turun escalator di gedung baru dpr di-iringi musik ‘upbeat’ layaknya soundtrack film saat sang jagoan jalan. (tanpa bicara benar tidaknya tuduhan keterlibatan tni polri dalam aksi terror di Indonesia, namun, ini adalah cara menarik untuk menyampaikan ‘thesis’ atau pandangan si jurnalis.).

Hal yang sama juga dilakukannya saat pertemuan antara da’i bachtiar dengan ketua BIN baru Syamsir siregar. Usai pertemuan, wartawan seperti biasa wawancara da’i bachtiar. Sebelum masuk ke soundbyte-nya Da’I, narasi menyebutkan “after the meeting he only gave us a bland comment about the latest situation.”. Narasi lalu berlanjut dengan menceritakan siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu. Timbul Silaen, mantan kapolda tim-tim. Narasi menyebutkan, “what was the late chief of police in the former East Timor doing in this meeting?”. Berikutnya vox pop ibu-ibu di poso yang ditanya kenapa tidak ada saksi dalam beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi di sana, hanya bilang “ada gerakan tutup mulut, karena takut. Apa? Karena Takut. Ya Takut!” (sepertinya asisten David O’shae sama budegnya kayak ulung. Hehehe)

Berkali-kali ia mengatakan ‘this is funny’ kalo ada visual menarik dari liputannya. Salah satunya demonstrasi yang dilakukan pasukan jihandak, tapi kemudian salah satu petugas lupa memasukkan film ke alat x-ray yang mereka miliki. Kepanikan mereka saat tahu tidak ada film di dalam mesin x-ray di-roll begitu saja, dengan audio nat.sound yang lengkap. (Ternyata kata dio, David waktu di poso pake mic panjang di atas kameranya sehingga bisa tajam menangkap audio.). Belakangan dia bilang begini, “remember, tv itu kan hiburan jadi apa pun..yah harus menarik supaya pemirsa saya tidak pindah channel.”.

Dia mengatakan itu setelah ditanya soal pendekatan kemanusiaan dibanding penyelidikan kasus dalam liputan investigasi. Pertanyaannya adalah liputan “investigasi” (atau diakui sebagai investigasi walaupun hanya in-depth reporting) di Indonesia (paling tidak selama ini di FTA) fokus kepada pengungkapan sesuatu yang baru terkait kasus tertentu. Cara bertuturnya pun lebih pada data-data baru dan bukan ‘pelaku’-nya, langsung atau tidak langsung. Seperti contoh Da’i Bachtiar tadi. David hanya bilang, “orang kan nonton tv untuk lihat orang…”.

Lalu Dhandy, korlip RCTI, tanya sama dia, dari sekian banyak liputan yang dia buat, mana yang bisa diklasifikasi sebagai investigasi. Ia hanya menyebutkan liputan soal terror di Indonesia ‘bisa’ dikategorikan sebagai investigasi, tapi ia menekankan yang dilakukannya mungkin ‘baru’ bagi pemirsa Australia tapi mungkin tidak baru lagi bagi pemirsa Indonesia. Sedangkan liputannya di Timor Leste (lengkap dengan tembak2an usai wawancara dengan Alfredo Reinado) dikatakannya sebagai situation report. Liputan Timor Leste dikatakannya sebagai contoh bagus untuk liputan investigasi yang gagal. Tujuan liputannya sebenarnya adalah membuktikan keterlibatan Australia dalam krisis politik di Timor Leste. Tapi gagal. Sementara liputannya tentang kasus Munir, dia mengatakan, “investigasi saya adalah baca majalah tempo!”, sambil tertawa.

Amrul kamerawan Astro (cie-cie Amrul) lalu komentar, “liputannya dia konsentrasi ke reporting yah…jadi menunggu momen yang dicari.” (David soalnya VJ – kebanyakan visual dia ambil sendiri).

Terakhir, soal label investigasi. David bilang, definisi investigasi bagi dia adalah ‘revealing something’. Tapi kemudian dia mengatakan setiap hari jurnalis di program harian kan selalu mengungkap sesuatu yang baru juga. Jadi sulit mendefinisikan suatu liputan itu investigasi atau bukan. Sementara di kampusnya dulu (UTS – University of Technology Sydney) tidak dibahas tentang investigative journalism karena masih diperdebatkan. Dia pun setuju kebanyakan yang dilakukan adalah in-depth reporting.

Solusi: Banyak2 nonton program ‘in depth’ dari negara-negara lain supaya dapet ide baru cara bertutur kali yeh…

Interesting facts & comments:

- Michael Moore’s ‘Fahrenheit 911’ investigasi gak? David: “Bukan. Itu Dokumenter.”
- Biaya produksi rata2 AUS$ 10,000,- kalo termasuk post pro AUS$ 15,000,-an. Massa produksi 6 minggu rata-rata.
- Rekonstruksi sesaat sebelum almarhum Munir meninggal, dibuat dengan menggunakan ‘mata kamera’ sebagai ‘mata Munir’.
- David:”Liputan investigasi paling 3 kali dalam setahun”. Untuk program setiap minggu, Dateline juga menampilkan profile dan human interest. Jadi tidak setiap minggu in-depth.

Segitu dulu kali yeh…

Bhayu Sugarda

Kasus thalidomide dan pasca banjir

Seno Gumira Ajidarma menulis artikel di ‘Djakarta – the magazine’ soal pasca banjir. Ia mengecam intitusi media yang tidak memberiktakan kondisi korban banjir pasca banjir. Padahal menurut dia, kondisi pasca banjir justru yang paling meresahkan masyarakat. Orang yang tidak bisa minta bantuan orang bayaran untuk membersihkan rumah mereka dan harus hidup dengan bau menyengat khas banjir di rumahnya selama beberapa minggu. Belum lagi yang ada di pengungsian. Di akhir tulisannya ia pun mem-vonis bahwa media memang begitu… “aku ada, karena aku menggemparkan.”…tidak lebih dan tidak kurang.

Lalu apa hubungannya dengan kasus thalidomide?

Thalidomide adalah kasus obat yang digunakan ibu hamil di Inggris pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an, untuk mengurangi dampak muntah-muntah saat hamil atau ‘morning sickness’. Antara tahun 1956 hingga tahun 1962, sekitar 10 ribu anak lahir cacat. Kasus paling parah adalah seorang anak lahir tanpa tangan dan kaki. Dalam periode tersebut, pemberitaan mengenai hal ini begitu gencar. Kasus tuntutan keluarga korban kepada perusahaan farmasi asal Jerman, Grunenthal, berlangsung bertahun-tahun. Pada akhirnya, keluarga korban rata-rata mendapatkan ganti rugi sebesar 15 ribu sampai 20 ribu pounds atau sekitar 40 ribu dolar amerika. Padahal biaya untuk kebutuhan khusus yang diperlukan korban akibat cacat seumur hidup - kurang lebih 100 ribu pounds. Ini berarti hanya seperempat dari apa yang berhak mereka terima.

Sepuluh tahun kemudian, koran the Sunday Times, memutuskan untuk membongkar ‘kelalaian’ yang dilakukan perusahaan farmasi Grunenthal. Investigasi yang mereka lakukan menunjukkan perusahaan farmasi itu tidak melakukan penelitian dampak thalidomide pada konsumen utama obat itu – yaitu ibu hamil. Padahal penelitian pengaruh obat pada ibu hamil dengan menggunakan binatang telah dilakukan perusahaan farmasi dunia sejak tahun 1950-an. Namun, mereka menghadapi kendala undang-undang yang melarang pemberitaan terkait kasus hukum yang sedang berlangsung. Pertarungan demi memperjuangkan laporan soal kelalaian Grunenthal pun terjadi. Laporan berseri di koran The Sunday Times pun dirancang. Dengan bantuan penasehat hukum, redaktur koran itu mempelajari setiap artikel sebelum masuk percetakan. Saat laporan pertama muncul…media lainnya tiarap – baik itu koran, televisi maupun radio. Radio BBC sempat mewawancara redaktur koran itu masalah kasus Thalidomide di studio. Namun, setelah itu tidak ada lagi.

Redaktur itu adalah Harold Evans. Ia belakangan menulis soal ini dalam bukunya ‘Good Times, Bad Times’. Berikut bagian dari apa yang dia rasakan saat itu.

“The erratic nature of the interest in the Thalidomide children was also a reflection of the way newspapers and television news programmes work. ‘News’ is defined too episodically and too topically. It was the same in 1959 – 62, when Thalidomide was found to have affected 8,000 children round the world. There was an outcry, but then concern was allowed to evaporate. Nothing ‘new’ happened, nobody made speeches or marched down Whitehall, so there was no ‘news’ and the Thalidomide victims were gradually forgotten. The unconscious assumption was that our institutions functioned the way they are supposed to function: the law was seeing that justice was done. But it wasn’t; and journalism had not learned how to write about processes, rather than about events. The process of legal disaster and the gradual disintegration of the families was ignored.”

Terjemahan: (biasa bikin translation nih soalnya, hehehe)

“Naik turunnya ketertarikan soal anak-anak Thalidomide juga merupakan cermin dari bagaimana koran dan program berita televisi bekerja. Yang dikatakan sebagai ‘Berita’ ditentukan secara episodik dan terlalu berdasarkan topik. Sama dengan yang terjadi antara 1959 – 62, ketika Thalidomide diketahui mempengaruhi 8 ribu anak di dunia. Muncul kecaman saat itu, tapi kemudian keprihatian soal itu dibiarkan menghilang. Tidak ada yang baru terjadi, tidak satu pun berorasi atau berunjuk rasa ke Whitehall (ie Parlemen), jadi tidak ada ‘berita’ dan korban Thalidomide perlahan dilupakan. Asumsi bawah sadar adalah bahwa institusi kita (ie media) berfungsi seperti seharusnya: hukum berjalan seperti apa adanya untuk mencari keadilan. Padahal tidak begitu; dan jurnalisme tidak belajar untuk menulis tentang proses, dibanding peristiwa. Proses dari carut marutnya persidangan dan kehancuran perlahan keluarga korban diabaikan.”.

Saya pernah tanya sama Mas Imam soal ‘Berapa umur berita?’ dan beliau menjawab pada saat tensi berita itu turun bisa diberikan ‘renewal’ – katanya istilah marketing, yang artinya aspek kebaruan. Baik itu angle atau apa pun yang sifatnya membuat berita itu menjadi kontekstual. Bagaimana? Ada yang punya ide lain?

Bhayu Sugarda

PS: Ada kutipan menarik dari kasus ini di buku-nya Harold Evans. Seorang pengacara, James Evans, ditugaskan memantau penulisan laporan ini agar tidak dianggap melanggar hukum. Semua artikel soal Thalidomide dia baca dengan kaca mata hukum, sebelum diputuskan bisa masuk cetak atau tidak. Saat si redaktur meminta nasihatnya tentang rencana laporan berseri tentang Thalidomide, James Evans hanya bilang, “I have the picture perfectly. Alpine tourist asks guide to take him to the top of the Eiger by the safe route…Let me think about it, mm?”. (Terjemahan: “Saya punya gambarannya. Seorang turis gunung Alpine minta arahan caranya menuju puncak Eiger melalui rute aman…Saya pikirkan dulu?”.).

Young Acehnese


Saturday, April 23, 2005

*Note: Ever since the Emergency Military Operation in Aceh at 2003, news coverage has dangerous consequences.There are reports of news sources have been taken hours after being interviewed. The writer takes the liberty to give initials for Acehnese news source.

'A', a 20 something Acehnese, shook his head and sneered. "These GAM are crazy if you think about it. They're crazy enough to fight the army!", said 'A' slightly amused, while both of his hands on the steering wheel and eyes fixed on the road.We were on our way to the Banda Aceh city hall to interview PLN's (government owned electricity company) General Manager of NAD Province, regarding the 2 hour black out along the north coast of Aceh, on the 15th February, between 8 to 10 pm, following rumours that GAM was responsible for the black out. This was the second time, during my stay in Aceh, that 'A' took me to where I needed to go.

His subtle awe to GAM, made me turned my head and analysed the expression on his face. I muttered a weak yes, nodded and smiled reluctantly. Since the disastrous quake and tsunami, last December, he has been working as a rental car driver. The sudden surge of media interest, both local and international, has made several profitable businesses including car rentals. He was one of the few native Banda Aceh that didn't get hit by the tsunami.

At that moment, I realised the importance of peace talks between RI and GAM, in the midst of the Indonesian Government's and International efforts to rebuild Aceh. Now is the time to do what needs to be done almost 3 decades ago, when GAM first founded.It was never easy to fight geurilla movement such as this. The second informal peace talks started on the 21st February, at Helsinsky, Finland, ended last Thursday. It was reported that GAM agreed to have cease fire and willing to consider special autonomy under the Indonesian Government. Despite all this, conflict in the region is far from over.People of Aceh are still divided on this matter. Note that the writer has no incling on how divided the people on this issue.

The conflict had resulted in resentment towards Javanese dissendents. This resentment comes from the fact that Indonesian military personnel assigned to this region mostly comes from Java. However, it still lies dormant and hasn't erupted into a full blown racism. As with the young Acehnese, especially in Banda Aceh, they would go about their own business, doing what most twenty something male Indonesians are interested in, such as techno music and pirated dvd's. Trying to make a decent income for them to be able to get their hands on the 'western' goods, in the midst of the horrifying outcome of the conflict endured by their distant relatives in remote areas of the Aceh province.

'H' is another native Aceh driver, from Lhokseumawe, that I met during my time in the province covering the relief efforts. He has no reservation in driving me to areas considered to be 'black' areas, where engagements between military or law enforcements with GAM are frequent and unsafe for journalists. Whenever conversations regarding GAM come up, he shows disapproval for the suffering that the movement has caused the people of Aceh. But then, when the rumours that GAM was responsible for the black out, he offered a journalist friend of mine to meet with a GAM official living in the city of Banda Aceh. The meeting never took place because the military relief effort command centre, denies the allegation that sabotage was what caused the black out.

GAM is real to them. Government within the government, fueling patriotism amongst the Acehnese, against the Javanese colonisation. Unethical conducts by military personnel who are frustated because of overstay in Aceh, lack of decent income for themselves and their families back home (soldier's salary: Rp. 700,000 per month) only further the repression felt by them and longing for a government, by the people - for the people of Aceh.

As for 'H', the dual government and confussion of loyalty, is no longer an issue. Indonesia is a system inwhich they are able to provide for their family, and Nanggroe Aceh(Negeri Aceh ie Aceh Nation) is where their heart lies. The freedom to speak out on what they believe in, is exercised subtly among Acehnese and hidden underneath the Aceh native language. The devastation caused by the tsunami late last year, has given the opportunity for both stakeholders, Indonesia and GAM, to start over. For the Government, a chance to build trust and simpathy of the Acehnese by running a humanitarian campain. For GAM, to take part in rebuilding Aceh as a nation.

Bhayu Sugarda

An Aspiring Reporter


Monday, April 25, 2005

“As an aspiring reporter”, that was what I wrote on my cover letter to Channel News Asia, Monday Afternoon, around 4.30 pm. And then, suddenly the news broke. Ersa Siregar, died with a bullet on his neck. Several reporters on duty, tried to confirm this news, and succeded.

It was confirmed, the fatherly figure that we know as Bang Ersa died during a crossfire, between GAM and the army. His body had already been evacuated to the Korem Hospital in Lhokseumawe that afternoon, according to a source.

Soon after, one of the Division Head, Atmaji sumarkijo, entered the newsroom and broke the news to everybody in the room.“After the crossfire, two bodies were found. One was a GAM soldier, and the other was a civilian. The army had confirmed that the civilian was identified as Ersa Siregar.”

The clatter of keyboards, the chatter of Editors, Producers and Reporters, trying to make the news for the Afternoon Program died out.But, as it quickly went silent, several reporters got working immediately. Jos ran to the library to get some visuals of Ersa, for the Afternoon News.

Vida, the Weekend News Producer, searched her files endlessly for the last package Ersa had done, before his captive. Edwin arrived, just after five, to help the producers with ersa story because he was one of the few that knew Ersa, during his last days covering the conflict in Aceh.

It was Headline news on Metro TV that went on air first with the news. The phone started ringing, from other medias asking for confirmation.SCTV followed, and then RCTI.Aman Wicaksono tried to hold back tears, during the newscast. So did Devi Triana.The recorded visuals and voice of Bang Ersa was heard over the air. It was his “ON CAM” during a cross fire, in his first week of his last assignment in Aceh, on July 2003.

Yulia, an off-duty Producer, arrived in the office, around 7.30 pm, shortly after cancelling her date, to help out with the plan to make a special program on Ersa, to be aired on the same night.An ‘aspiring reporter’, felt completely helpless, because the one person that aspire him to become a journalist, had past away.