Friday, May 11, 2007

Mimpi buruk set up sequence (1)

Bagaimana memotret masalah buruh di Indonesia? Muncul usulan untuk melakukan itu dengan menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili setiap permasalahan buruh di Indonesia. Misalnya dengan mengambil tokoh seorang tki yang baru dipulangkan dari Malaysia untuk membeberkan masalah buruh migran. Atau seorang buruh yang baru di-phk tanpa pesangon dari pabrik sepatu untuk bicara soal phk tanpa pesangon.

Saya memulai dengan me-list permasalahan buruh yang terjadi baru-baru ini dari riset internet. Yang muncul dari riset ini adalah pabrik Dong Joe dan Spotec yang ditutup karena pemiliknya kabur. Tapi pabrik ini ditutup sejak Oktober tahun lalu. Aktualkah? Kasusnya sendiri telah diputuskan pengadilan April tahun ini. Bahwa karyawan Dong Joe dan Spotec resmi dipecat sehingga berhak atas pesangon. Pihak manajemen kedua pabrik itu pun sepakat untuk memenuhi sepenuhnya hak karyawan. Meskipun jauh dari berakhir, namun, harus bercerita dari mana?

Permasalahan kontrak juga muncul sebagai wacana dari riset ini. Tuntutan unjuk rasa organisasi serikat buruh menolak status kontrak terjadi saat pembicaraan revisi undang-undang ketenagakerjaan beberapa waktu lalu. Waktu itu undang-undang tersebut batal di-revisi.

TKI sebagai buruh migran adalah satu lagi masalah besar perburuhan Indonesia. Dari riset internet, kasus penganiayaan atas TKI terakhir terjadi tahun lalu. Setelah itu tidak ada pemberitaan terkait masalah ini di media. Apalagi telah dibuat nota kesepahaman antara Malaysia dan Indonesia september tahun lalu.

Belum lagi PHK buruh yang berkedok pensiun dini. Ini terjadi terhadap perusahaan nasional seperti PT Telkom dan PT Bank Permata tahun ini. Sedangkan PHK massal telah terjadi jauh sebelumnya, seperti Bank Danamon dan Bank Permata.

Pertanyaan: Bagaimana merangkum ini semua menjadi sesuatu yang enak ditonton?

Terbayang mimpi buruk set up sequence dari setiap tokoh yang kalo diambil satu tokoh dari setiap permasalahan yang terdaftar sejauh ini, ada empat. Mimpi buruk apa? Yaitu set up sequence yang itu-itu saja. Keluar rumah pergi ke pasar, pulang ke rumah mengurus anak, pergi berangkat bekerja dan lain-lain.

Selain itu, bagaimana membuat tayangan ini menjadi aktual? Semua peristiwa telah terjadi. Satu yang paling bisa diandalkan adalah unjuk rasa besar-besaran 1 Mei.

Saya sangat percaya dengan peran Tangan-Tangan Tuhan dalam peliputan yang menyangkut nasib orang banyak. Saya pun memulai dengan apa yang saya punya. Nomer telepon organisasi buruh yang kemungkinan akan berunjuk rasa saya coba satu per satu. Ternyata tidak ada yang bisa dihubungi. Bahkan serikat pekerja PTDI pun tidak dapat dihubungi. Dari sebuah blog milik seorang aktivis buruh bernama Irwansyah, saya mendapatkan nomer telepon miliknya. Saya hubungi, ternyata saat dihubungi, ia sedang menjalani rapat persiapan aksi buruh 1 Mei. Organisasi yang dipimpinnya ternyata berafiliasi ke Aliansi Buruh Menggugat - organisasi buruh yang akan menggelar aksi besar-besaran 1 Mei melibatkan berbagai unsur serikat buruh, mulai dari serikat pekerja transportasi hingga buruh pabrik. Otto hari Jum'at saya minta untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya soal aksi besar-besaran itu dari Aliansi Buruh Menggugat. Otto pulang dengan peta lokasi berikut nomer telepon perwakilan buruh dari Jabodetabek. (serius... nama berikut nomer telepon dari Jakarta Barat, Timur, Pusat, Selatan sampai Tangerang dan Bekasi).

Perlahan-lahan jalan mulai terbuka. Kini giliran buruh migran. Saya menghubungi Wahyu Susilo dari Migrant Care. Dia pun mengatakan, ada rencana kepulangan jenazah tki dalam waktu dekat. Cukup menjanjikan. Terbayang rangkaian gambar kepulangan jenzah dimulai dengan gambar pesawat yang tiba di landasan pacu - kalo bisa...hehehe. (Selain aktual tayangan tidak se-monoton perkiraan sebelumnya.)

Tapi harus mulai dari mana? Kasus Dong Joe sebagai salah satu kasus terbesar PHK buruh dengan jumlah 6833 karyawan? Terbayang betapa boring-nya gambar di awal segmen 1 dengan rangkaian gambar pabrik yang tutup. Saya cek ke SPSI dan SPSI Tangerang, ternyata mereka menolak ikut unjuk rasa. Menarik pergulatan antara buruh yang berunjuk rasa dan tidak. Saya simpan kemungkinan mengangkat soal ini sampai diperlukan. Tapi masalah gambar belum terpecahkan.

Hari Sabtu saya minta Oki untuk meliput persiapan perwakilan buruh Tangerang di bawah Aliansi Buruh Menggugat menjelang 1 Mei. Sampainya di sana, ternyata sejumlah karyawan pabrik Koryo ada di sekretariat mereka untuk meminta bimbingan soal dirumahkannya karyawan. Oki meliput kegiatan ini. Bisa dibayangkan gambarnya adalah pertemuan dengan orang-orang duduk di lantai. Keesokan harinya saya minta Oki kembali meliput pertemuan antar karyawan PT Koryo, dan meliput kegiatan ketua karyawan PT Koryo di rumahnya. Set up sequence-nya adalah kegiatan tokoh yang kita pilih di rumahnya. Tapi ada secercah harapan, Senin mereka berniat berunjuk rasa di depan pabrik... sehari sebelum 1 Mei.

Sementara TKI yang akan dipulangkan tidak ada kepastian. Sejumlah berita yang muncul minggu itu adalah TKI yang kabur dari penampungan. Kekhawatiran yang muncul akan terlalu fokus kepada satu kasus yang angle-nya mungkin akan melebar dari permasalahan buruh migran - seperti ijin penampungan tki atau pjtki. Memang itu menjadi bagian dari permasalahan - tapi bukankah masalah terbesar dari tki adalah perlindungan mereka di luar negeri?

Tanpa sengaja saya diberitahu oleh korlap Aliansi Buruh Menggugat... tepatnya dikecam karena hanya menghubungi Migrant Care yang merupakan LSM buruh migran dan bukan Serikat Buruh Migran. Saya pun diberi telepon orang serikat buruh migran. Saya hubungi ternyata masalah tki tanpa dokumen masih terjadi pasca nota kesepahaman Malaysia dan Indonesia. Rencana kepulangan berikutnya masih menunggu kepastian hari selasa - tanggal 1 Mei. Waduh...kalo kepulangannya hari Sabtu tamatlah riwayat.

Kepada Migrant Care saya tanya kasus tki yang meninggal di luar negeri terakhir kapan? Jawabannya April. Mereka pun berencana menggelar unjuk rasa hari Minggu. Keluarga korban akan turut hadir. Kalaupun saya tidak mendapatkan gambar kepulangan jenazah, saya bisa menggunakan liputan unjuk rasa itu untuk bercerita tentang permasalahannya. (to be continued)

Mimpi buruk set up sequence (2)

Unjuk rasa-unjuk rasa dan unjuk rasa... tayangan apa ini?

Saya coba cari jalan lain. Kasus PHK besar yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya menimpa PTDI. Lalu saya pun menghubungi pihak serikat pekerja PTDI. Pak Sidharta sangat antusias membantu. Bahkan dia mengusulkan untuk meliput sarjana nuklir jualan es krim. Wah ini boleh juga nih buat segmen 3. Tidak lama saya terima sms dari Edwin, "Lihat Kompas, ada data lengkap soal buruh.". Saya lihat dan di dalam rubrik teropong terpampang artikel "Sarjana Nuklir Jualan Es Krim.". Hahaha, keduluan dah.

Selain itu saya juga mengunjungi mailing list eks karyawan PTDI. Saya posting permintaan footage kegiatan eks karyawan PTDI yang saat ini bekerja di luar negeri. Berikut posting saya:

Kepada Yth,
Eks Karyawan PTDI

Saya Bhayu Sugarda, Produser Astro Awani, saluran berita Indonesia
di televisi satelit berlanggananan Astro. Kami sedang membuat
laporan tentang permasalahan buruh di Indonesia, menjelang hari
buruh 1 Mei mendatang.

Salah satu peristiwa pemutusan hubungan kerja yang mengakibatkan
ribuan orang kehilangan pekerjaan di Indonesia adalah kasus PTDI -
IPTN. Kami berniat membuat laporan mengenai nasib eks karyawan PTDI
saat ini. Sebagian besar kini bekerja di luar negeri sesuai dengan
kompetensi masing-masing. Sementara lainnya berusaha untuk tetap
hidup dengan membuka usaha atau lainnya.

Kami mengharapkan kesediaan anggota milis ini, untuk berbagi cerita
dan pengalaman mereka sampai akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan di
luar negeri. Kami juga berharap bisa mendapatkan video footage, bagi
yang memiliki handycam digital, tentang kehidupan mereka di luar
negeri sekaligus menjawab pertanyaan yang kami kirimkan melalui
email.

Untuk keterangan lebih lanjut, bisa menghubungi saya di email:
bhayu_sugarda@... atau hp: 0815 138 41162. Jika ada
pertanyaan yang bersifat lebih umum, akan saya jawab melalui mailing
list ini.

Atas perhatiannya, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Bhayu Sugarda
Produser Astro Awani

Jawaban konkrit baru muncul tanggal 8 mei 2007 dari anggota milis ini. Berikut jawabannya:

Pasca GEBYAR PHK!!!

Saya merasa bersyukur ternyata masih ada perhatian
dari kalangan umum ttg nasib Eks-PTDI.
Kalau boleh usul justru yg sangat perlu dipublikasikan
adalah kawan2 kita yang sampe sekarang belum dapat
kerjaan tetap, mungkin masih ribuan yang nasibnya
terkatung2 karena "GEBYAR PHK" di PT Dirgantara
Indonesia. Karena apapun alasannya tanpa perencanaan
dan pertimbangan yang sangat matang PHK selalu
merugikan karyawan yang notabene sedikit sekali dari
kalangan kita yang punya jiwa enterpreneur.Saya jadi
ingat ketika kita dikumpulin di GPM lt 6. disitu
dipresentasikan kalo setelah "GEBYAR PHK" kita akan
disalurkan di perusahaan2
(minyak,PLN,Semen,tekstil,Airliner2... maaf saya lupa
mungkin sangking banyaknya yg disebutwaktu itu).
INTINYA dari tulisan saya ini sekarang yang Eks-PTDI
yang kebetulan sekarang bekerja di luar negeri kita
anggap sebagai nasib/keberuntungan yang telah memihak.
saya pribadi khawatir kalo yg kerja diluar negeri itu
dianggap kesuksesan lalu diekspose mungkin bisa jadi
akan dijadikan "CONTOH YANG KURANG BAIK" bagi
perusahaan2 di Indonesia untuk mengadakan "GEBYAR PHK"
di tempatnya masing2.dengan alasan toh orang PTDI
setelah PHK banyak yg sukses???
saya kira mungkin tidak lebih dari 5% yang sekarang
kerja di LN,Please 95% itulah yang harus di
publikasikan.

Terimakasih.

Suismadi
Yang lagi ngadu nasib di BOEING.

Ouch...Yuk mari kita telaah lagi...hehehehe. Kesimpul;annya semua perlu kesabaran dan ketekunan untuk mendapatkan apa yang kita harapkan. Tapi Amrul dapet wawancara dengan keluarga eks karyawan PTDI yang lagi tugas ke luar negeri PLUS petani jamur - beda dengan sarjana nuklir dan lebih berbobot kalo menurutku sih, hehehe.

Tapi kemudian Pak Iwan (Editor) mengusulkan liputan soal seorang peneliti yang diabaikan pemerintah kesejahteraannya. Saya terima ide ini untuk segmen 3 murni karena alasan keragaman gambar dan setting. Saya minta tim liputan mengambil gambar saat dia melakukan penelitian di laboratorium. Tapi kemudian saya membaca artikel tentang bagaimana manusia Indonesia diperlakukan seperti alat produksi dan bukan aset. Ini saya jadikan benang merah di segmen 3.

Sementara masalah status kontrak yang sangat merugikan buruh diwakili cerita karyawan PT Koryo. PHK tanpa pesangon diwakili dengan cerita buruh pabrik Dong Joe dan Spotec. Benang merah di segmen 1 adalah kondisi perburuhan Indonesia yang masih memiliki banyak masalah (menempatkan permasalahan pada situasi saat ini).

Sedangkan Segmen 2, saya menggunakan benang merah, kesadaran buruh. Ini saya sampaikan melalui cerita mantan karyawan Bank Pemerintah yang di-PHK, supir angkot yang bukan buruh tapi merasa buruh juga karena merasa tertindas juga DAN buruh migran berikut permasalahannya.

Semua berjalan sesuai rencana saat hari-H (1 Mei) hanya sedikit miskomunikasi dengan Otto. Belakangan baru kita mendapatkan footage kedatangan jenazah tki dari migrant care berikut foto-fotonya. Gambar bagus saat kedatangan tki sangat membantu menghidupkan tayangan.

Solusi: Mimpi buruk kumpulan set up sequence monoton bisa dihindari berkat keragaman "setting". Artinya tidak hanya di rumah. Keragaman setting ini meliputi tempat penampungan tki - pabrik yang ditinggalkan - laboratorium bioteknologi - pembibitan jamur - terminal angkot (persiapan rombongan supit angkot ikut unjuk rasa).

Thursday, May 10, 2007

Mulyani Hasan - jurnalis tv yang jadi penulis

Saya bertemu dengan seorang jurnalis di Bandung. Namanya Mulyani Hasan. Sejumlah karya jurnalistiknya menghiasi majalah Pantau dan Playboy. Dia mengaku sangat menyukai menulis, padahal sebelumnya ia pernah bekerja sebagai korlip dan terakhir redaktur pelaksana di Bandung TV.

Ia mengaku 'banting setir' (pinjam istilah amrul yang abis liputan petani jamur eks karyawan ptdi menulis di skripnya 'eks karyawan ptdi banting setir'...hehehe) dari jurnalis televisi menjadi penulis lepas untuk media cetak karena ada seninya sendiri menulis... khususnya menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi. Dan dia mengaku sangat menikmati itu. Selain itu, apa yang ia cari tidak didapatnya di Bandung TV.

"Saya tidak tahu teknis pengambilan gambar, tapi saya tahu gambar yang enak ditonton dan yang tidak.", katanya.

Belakangan dia mengungkapkan, kebanyakan pekerja televisi di TV lokal Bandung yang cukup banyak (sedikitnya ada lima: Bandung TV, STV, City View, dll.) adalah fresh graduate. Mulai dari korlip sampai kamera person. Katanya yang lagi lumayan booming adalah STV karena di redaksinya ada bekas karyawan SCTV.

Yang membuatnya unggul adalah kemasan tayangannya (menurut ibu Mulyani ini), tontonan ala Bali TV (Bandung Tv berafiliasi dengan Bali TV) yang mengutamakan seni tradisional sulit dinikmati masyarakat Bandung yang merupakan masyarakat Urban. STV dianggap berhasil karena mengemas tayangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bandung yang lebih 'sophisticated' dibanding pemirsa Bali TV (dalam padanan TV lokal yah).

Jadilah akhirnya ia menjadi kontributor majalah Pantau dan majalah Playboy. Saya tanya alasan ketertarikannya akan jurnalisme sastrawi. Dia bilang ada alurnya dan gaya bertutur yang naratif sangat dinikmatinya. Saya uji pandangan saya tentang jurnalisme sastrawi kepada dirinya, 'bukankah jurnalisme sastrawi sangat visual?". Ia pun dengan antusias mengiyakan dan mengatakan sebelum menulis pun ia mengaku perlu menonton film terlebih dahulu.

Mulyani lalu menyebut nama Linda Kristanti yang kabarnya mendapatkan ulasan atas karyanya di majalah sastra Internasional 'Cornell Magazine'. Padahal selain Linda yang pernah mendapat ulasan di majalah ini hanya Pramoedya Ananta Toer. Mulyani menganggap karya Linda sangat enak dinikmati. Saya pun lanjut bertanya kepada dia topik apa yang telah ia kerjakan semala ini. Salah satunya tentang ruu pemerintahan Aceh. Saya pun mengatakan sulit juga kalo televisi mengangkat topik itu secara mendalam karena sifatnya 'wacana'. Tapi kemudian dia pun mengernyitkan dahi, "wacana bagaimana? Asal berdasarkan fakta saya pikir tetap bisa dibahas.". Waduh beda pengertian istilah wacana sepertinya kami berdua.

Perbincangan pun berlanjut ke hal-hal lain, tapi soal wacana ini masih menggantung di kepala.

Kalau menurut Bapak yang terhormat Prof Dr JS Badudu, "wacana" adalah:

1. ucapan, perkataan, tutur;

2. keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan;

3. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.

Jadi sebenarnya pemahaman kata 'wacana' antara saya dan Mulyani tidak jauh berbeda, hanya saja dari pandangan broadcast 'wacana' sulit di-visualkan karena berdasarkan ucapan atau perkataan orang. Tapi kemudian saya mengintip karya si Ibu Mulyani Hasan ini di Pantau Online.

Terlihat gaya jurnalisme sastrawi yang dianutnya itu - dan memang sangat visual... padahal yang ia bahas adalah Sentimen Anti Komunis yang masih kental di Indonesia. Berikut sedikit bagian karyanya sebagai gambaran gaya penulisannya yang saya anggap sangat visual.

Memburu Marxis di Ladang Buku
Oleh Mulyani Hasan

(Excerpt dari bagian awal)

....HUJAN deras. Jalanan di muka toko buku Ultimus di Lengkong Besar, Bandung , yang biasanya sepi di malam hari, kini ramai. Sekelompok orang berseragam hitam-hitam lalu-lalang di muka toko. Ada yang berdiri bergerombol, ada juga yang jongkok di pinggir jalan.

Diskusi telah dibuka. Sadikin moderator. Seorang pembicara bernama Marhaen Soepratman duduk di sebelahnya.

Marhaen. Nama yang aneh, pikir saya. Nama Marhaen pernah populer di masa presiden Soekarno berkuasa. Ia kagum pada seorang petani yang bekerja keras, bersemangat, cerdas, dan pemberani, bernama Marhaen yang dijumpainya di sebuah desa di Jawa Barat. Sejak itu Soekarno menamakan ajaran atau ideologinya yang memihak rakyat kecil atau wong cilik itu sebagai marhaenisme.

Tetapi Marhaen Soepratman bukan orang Sunda. Ia keturunan Tionghoa. Ia juga bukan petani, melainkan mahasiswa di sebuah universitas di Kanada. Nama aslinya adalah Hariyanto Darmawan. Di Kanada, ia aktivis serikat buruh. Ia sengaja datang ke Bandung, setelah mengunjungi keluarganya di Jakarta.

Peserta diskusi malam itu tak lebih dari seratus orang. Rata-rata peserta antusias dengan materi yang disampaikan pembicara. Tetapi belum setengah jam acara berlangsung, seorang lelaki paruh baya merampas mikrofon dari genggaman Marhaen. Kasar. Tanpa sopan-santun.

"Ajaran komunis sudah tidak relevan lagi dibicarakan! Orang tua saya dibunuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia)! Jadi saudara-saudara, acara semacam ini harus dihentikan!" teriak lelaki itu. Sorot matanya liar memandang sekeliling.

Ia adalah Adang Supriadi, ketua Persatuan Masyarakat Antikomunis atau disingkat Permak.

Suasana jadi ricuh ketika anggota Permak mulai menendang-nendang bangku dan mengancam peserta diskusi. Semua orang buru-buru keluar ruangan. Tumpah ruah ke jalan.

Anggota Permak kemudian memburu pembicara dan ketua panitia yang berusaha menyelamatkan diri ke arah kampus Universitas Pasundan, tepat di depan toko buku itu.

Tak berapa lama Sadikin dan Marhaen ditangkap orang-orang Permak, yang memaksa mereka masuk ke mobil untuk dibawa ke markas Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung....

(Excerpt di bagain tengah)

....Langkah-langkah sepatu terdengar mengitari seluruh ruang, lalu berakhir di pintu utama. Pintu ditutup dan disegel dengan pita kuning atau garis polisi yang disilangkan di tengahnya.

(Excerpt di bagian akhir)

....Pada 16 Desember 2006, saya menemui Bilven Rivaldo Gultom di sebuah kafe. Lelaki berkulit kuning langsat ini belum genap 30 tahun. Ia berusaha gembira, meski hatinya gelisah.

"Saya belum merasa bebas. Berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat saya, ada banyak orang tak dikenal mencari-cari saya," katanya. Sebentar-sebentar ia melihat layar telepon selulernya. Bunyi pesan yang masuk menyaingi suara hujan.

"Saya tidak mengerti tuduhan mereka. Mungkin saya dituduh komunis karena saya miskin," katanya, lagi.

Secangkir kopi panas pesanannya tiba.

"Saya dan kawan- kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Karena ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan," ujar Bilven.

"Selama ini, ajaran Marx banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan. Itu yang tidak saya sepakat. Karena itu akhirnya ajaran Marx juga ikut diberangus." Ia terus bicara.

"Revolusi itu akan terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya, tidak ada lagi pemberangusan, tidak ada korupsi dan orang-orang akan menggunakan akal pikirannya berdasarkan logika bukan lagi menggunakan hal-hal yang abstrak," lanjutnya.

Bilven lolos saat Permak melancarkan penangkapan. Sejak saat itu ia tinggal berpindah-pindah."

Adegan terakhir ini mengingatkan saya akan adegan dari film dokumenter tentang Al-Jazeera 'Control Room'. Ada diskusi hangat yang terjadi di sebuah cofee shop di Irak (saya lupa-lupa ingat lokasinya) antara warga dan seorang reporter Al-Jazeera. Adegan ini di-syuting seperti layaknya adegan dalam karya Mulyani. Saat pelayan datang gambar itu tertangkap di kamera.

Pembicaraan menjadi hangat, tek-tok close up antara peserta diskusi kecil ini tertangkap jelas. Mereka hanyalah warga biasa yang mengutarakan unek-unek mereka selama ini tentang kebijakan pemerintah AS di timur tengah. Yang menarik dari adegan ini bagi saya adalah bagaimana mereka begitu terbuka menyatakan pendapat mereka dan begitu natural. Editingnya pun mengalir - enak ditonton.

Solusi: Kreatifitas, kesabaran dan penguasaan masalah bisa jadi gerbang masuk ke ranah wacana, where no broadcast journalist (well maybe a few manage to do so...) has ever gone before.

Bhayu Sugarda