Friday, August 17, 2007

Tayangan Perdana Sixty Minutes


Temans,

Buku menarik: Close Encounters: Mike Wallaces Own Story

Mike Wallace adalah penggagas sekaligus anchor dari tayangan Sixty Minutes di stasiun televisi CBS. Pada awalnya, ia hanya menargetkan Sixty Minutes bertahan di FTA selama setidaknya 2 musim pada tahun 1968. Tapi ternyata hingga saat ini pun program itu masih bertahan. Ada sejumlah catatan menarik tentang pemikiran Mike Wallace dan behind the scene dari produksi program itu. Tapi kutipan paling menarik adalah saat Sixty Minutes tayang pertama kali, 24 September 1968.

“Naturally we led with our exclusive, for our cameraman was the only one allowed in the hotel rooms of Nixon and Humphrey on the nights they were nominated. There was a certain fascination in observing the two nominees watching the hubbub on the convention floors as their delegate counts mounted. Nixon conducted a kind of on-camera political seminar for his family in his hotel suite as the balloting unfolded; and Humphrey jumped up and kissed the TV screen when he saw his wife, Muriel, in the convention hall.”

“Selayaknya kami mulai dengan liputan eksklusif kami, karena hanya juru kamera kami yang diijinkan masuk ke kamar hotel Nixon dan Humphrey pada malam mereka dinominasikan (sebagai Presiden). Ada semacam kekaguman tersendiri menyaksikan kedua kandidat calon Presiden menonton kekisruhan di lantai konvensi saat penghitungan suara dilakukan. Nixon menggelar seminar politik di depan kamera terhadap keluarganya saat penghitungan suara berlangsung; dan Humphrey melompat dan mencium layar televisi saat dia melihat istrinya di aula konvensi.”

Investigatif atau bukan, tayangan ini membuka mata pemirsa akan apa yang terjadi di kubu masing-masing kandidat. Merupakan suatu keistimewaan bagi jurnalis yang bisa berada di lokasi saat peristiwa bersejarah sedang berlangsung. Baik itu sejarah perseorangan (saat-saat yang sifatnya pribadi bagi seseorang – seperti menangis, tertawa, mengalami cobaan hidup, penderitaan, maupun kebahagiaan) atau sejarah bangsa. Inilah yang berusaha di-share oleh teman-teman jurnalisme sastrawi kepada pembacanya… dan gambaran ini pula yang seringkali berusaha ditangkap kamera tim liputan untuk disaksikan pemirsanya.

Walaupun teknisnya mungkin sedikit sulit, karena kamera harus standby setiap saat hanya untuk menangkap momen-momen personal/ pribadi dari tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam liputan panjang. Seperti yang berusaha dilakukan juru kamera Reality Show misalnya. Produser ‘Survivor’ pun mengakui, ada beberapa bagian yang terpaksa di-shoot ulang karena mereka kehilangan momen penting. Akibatnya Survivor sempat di-cap sebagai sinetron yang dibungkus seakan-akan seperti Reality Show.

Tidak mudah memang. Namun, sesuatu yang menarik untuk dicoba bukan? Piss.

Bhayu Sugarda.