Konten
apa sih yang tidak diproduksi di Indonesia? Sinetron yang merupakan
kembar tapi tak serupa dari program 'Soap Opera' banyak di produksi.
Film animasi baik yang dibuat untuk produk luar negeri maupun dalam
negeri juga begitu. Program travelling juga banyak diproduksi. Belum
lagi program kuliner. Mungkin hanya konten pornografi yang tidak
diproduksi di Indonesia (video rekaman hubungan intim sejumlah artis
tak masuk hitungan yah).
Pasar
untuk konten Indonesia di luar negeri dinikmati bukan hanya TKI yang
bekerja di luar negeri melalui satelit parabola, tapi juga warga
lokal dari negeri tempat mereka bekerja. Dalam hal ini warga Malaysia
maupun Singapura. Bahkan sinetron “Insyaallah Ada Jalan”
ditayangkan serempak di Malaysia dan Brunei Darussalam.
Mungkin
ekspansi konten Indonesia pada tingkat regional cukup terasa. Tapi
pada tatanan Internasional belum terlihat maksimal. Misalnya konten
Indonesia pada channel televisi berbayar Asia Food Channel masih
terbatas dibanding konten yang dibuat Malaysia atau Singapura. Bahkan
di channel seperti Discovery, konten yang dibuat penyelia konten
Indonesia tak terlihat keberadaannya.
Sejumlah
kendala penyebaran konten Indonesia antara lain adalah:
- akses ke pasar luar negeri
- status usaha pelaku kreatif yang kerap tak jelas
- bahasa yang digunakan pada konten bukan bahasa internasional
- kualitas produksi yang belum tentu sesuai standar luar negeri
- perkembangan teknologi audio-visual yang begitu dinamis
Akses
ke pasar luar negeri hanya bisa dilakukan mereka yang memiliki modal
cukup untuk melakukan lobby atau upaya marketing ke penyelia konten
luar negeri serta memiliki pemahaman cukup mengenai bisnis konten di
luar negeri. Sejauh ini kaitan industri televisi Indonesia dengan
pasar luar negeri hanya berupa hubungan antara konsumen dengan
produsen dan bukan sebaliknya. Sehingga belum tentu bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan sebaliknya (antara produsen dengan konsumen) karena
pasarnya bisa jadi berbeda.
Status
usaha perusahaan lokal – bukan hanya perusahaan yang bergerak di
industri kreatif – juga seringkali dipertanyakan. Banyak perusahaan
lokal yang tak memiliki akta usaha resmi dan bahkan meminjam akta
perusahaan orang lain. Bahkan banyak perusahaan lokal yang terdaftar
di pasar luar negeri tapi ternyata tak jelas domisilinya maupun
kepemilikannya. Kondisi ini menyebabkan keengganan investor untuk
masuk ke Indonesia. Industri kreatif menjadi lebih terdampak akibat
kondisi ini karena properti intelektual bersifat abstrak. Banyak
pelaku kreatif yang secara resume mengkilap tapi sesungguhnya tak
demikian. Kekosongan asosiasi profesional maupun serikat pekerja di
satu sisi disambut baik investor tapi di sisi lainnya menjadi tak
bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya. Untuk mengatasi kondisi ini,
investor pun akhirnya seringkali menyewa jasa detektif lokal untuk
memastikan kredibilitas orang perorangan maupun status sebuah
perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Akibatnya kredibilitas
entitas bisnis Indonesia tak bagus di pasar Internasional.
Padahal
membuka jaringan pasar luar negeri merupakan satu keharusan untuk
ketahanan industri kreatif di Indonesia. Potensi konsumsi konten
Indonesia bisa terlihat pada konsumsi televisi terrestrial Indonesia
oleh warga Filipina, Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand dan bahkan
Vietnam – khususnya untuk program non-faktual. Konsumsi penonton
pada negara-negara Asia Tenggara ini dilakukan menggunakan antena
parabola. Bahkan ada kasus dimana seorang ulama di Filipina Selatan
protes kepada media karena konten sinetron Indonesia cenderung berisi
kekerasan dan menjual sensasionalitas.
Potensi
ini menjadi semakin besar ketika bahasa Indonesia bisa menembus
batasan negara pada lingkup regional seperti Asia Tenggara misalnya.
Karena memang bahasa menjadi salah satu kendala jangkauan konten
Indonesia di luar konteks nasional. Berbeda dengan Malaysia atau
Singapura, penggunaan bahasa Internasional (atau bahasa lintas batas
negara) seperti bahasa Inggris bukan bagian dari keseharian
masyarakat Indonesia pada umumnya. Akhirnya konten untuk konsumsi
nasional pun mencerminkan ini. Subtitle menjadi alat komunikasi utama
untuk penjualan konten lokal ke luar negeri, meski subtitle cenderung
dihindari karena pada umumnya dianggap mengganggu kenikmatan
menonton.
Kualitas
produksi juga menjadi kendala besar bagi konten lokal untuk dijual
pada pasar luar negeri. Biasanya ini terjadi pada program faktual,
karena biaya produksinya lebih rendah dibanding program non-faktual.
Kendala terbesar khususnya datang dari penggunaan ilustrasi musik
tanpa ijin. Program televisi faktual seringkali menggunakan ilustrasi
musik Hollywood dan lainnya tanpa ijin, sehingga sulit untuk dijual
ke pasar luar negeri seperti apa adanya.
Kendala
lainnya adalah perkembangan teknologi dijital yang begitu pesat. Saat
ini format konten yang umum berlaku pada pasar Internasional adalah
High Definition (HD). Format ini jauh berbeda dengan format analog
berkaitan dengan ratio dan resolusi gambar. Konten dengan ratio layar
4:3 mulai berkurang konsumsinya dan mulai digantikan konten dengan
ratio layar 16:9. Kondisi ini berpotensi untuk menurunkan harga
konten.
Saya
meyakini, ketika kendala-kendala ini teratasi maka tak ada halangan
berarti lagi untuk Indonesia menjadi Hollywood Asia Tenggara. Karena
semua bahan dasar yang diperlukan agar itu terjadi sudah ada di
Indonesia, yaitu pekerja kreatif yang ahli di bidangnya, aktor/
aktris berbakat maupun talent yang dibutuhkan untuk membuat tayangan
berkualitas. (bay)