Televisi terrestrial
alias televisi gratisan memiliki karakteristik unik terkait dengan
konten yang ditayangkannya. Secara umum karakteristik utamanya adalah
konten hanya tayang sekali. Haram hukumnya, jika sebuah konten
ditayangkan ditayangkan berulangkali selama sepekan. Kecuali tentunya
siaran ulang pertandingan sepak bola. Kalau pun ada konten yang
ditayangkan ulang, konten itu ditayangkan secara berurutan tanpa
pengulangan langsung dari setiap episodenya. Misalnya sinetron 'Si
Doel Anak Sekolahan' yang sudah ditayangkan beberapa kali di RCTI.
Setiap kali diputar ulang, tiap episodenya ditayangkan sesuai
urutannya. Tapi setiap episodenya ditayangkan hanya sekali. Tentunya
ini berbeda dengan penayangan konten pada televisi berbayar karena
justru setiap episode konten sengaja ditayangkan berulangkali dalam
seminggu karena asumsinya tak semua pelanggan bisa menyaksikan pada
tayangan perdana.
Pada akhirnya, tayangan televisi terrestrial secara prinsip dibuat hanya untuk sekali tayang. Padahal konten yang baik adalah konten yang bisa terus menghasilkan uang secara terus menerus. Pemahaman bisnis konten sudah sepatutnya bergeser dari sekali pakai (televisi terrestrial) menjadi sesuatu yang lebih bertahan lama. Karena keberadaan berbagai platform media memungkinkan bagi satu konten untuk ditayangkan kembali pada platform yang berbeda. Platform pada dasarnya adalah media tayang sebuah produk audio-visual. Sejumlah platform antara lain adalah televisi berbayar dan 'mobile tv' atau televisi pada perangkat bergerak seperti smartphone. Misalnya apa yang sudah ditayangkan di televisi terrestrial kemudian ditayangkan kembali di televisi berbayar. Belum lagi penayangan pada platform 'mobile tv'.
Penayangan 'cross
platform' tentunya bisa memicu 'revenue stream' baru. Di Indonesia
televisi berbayar saat ini cukup marak. Bahkan televisi berbayar
terus bermunculan, salah satunya yang terbilang baru adalah Nexmedia.
Sehingga televisi berbayar merupakan lahan tayang yang cukup
menjanjikan bagi konten televisi terrestrial.
Skema
pendapatannya secara umum adalah pembelian hak siar dalam bentuk
lisensi. Biasanya lisensi
ini memiliki sejumlah keterbatasan dalam hal antara lain:
- periode berlakunya hak siar
- wilayah dimana produk akan disiarkan
- pada platform apa saja produk akan disiarkan
Periode berlakunya
hak siar tergantung pada apakah produk akan disiarkan langsung atau
tidak. Tentunya produk siaran langsung, seperti pertandingan sepak
bola, periode tayangnya adalah sama dengan durasi penayangan produk.
Sedangkan produk siaran yang bukan produk siaran langsung akan
disesuaikan dengan masa tayang yang umum berlaku, seperti misalnya 1
tahun sampai dengan 5 tahun.
Pembatasan wilayah
hak siar pada umumnya bersifat regional. Seperti misalnya regional
Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam).
Pembatasan wilayah tentunya dilakukan agar konten bisa dijual ke
wilayah lain di luar wilayah yang tercakup dalam lisensi tertentu.
Sedangkan untuk
platform, semakin banyak platform dimana konten akan ditayangkan
tentunya akan semakin tinggi harga lisensinya. Tapi untuk sebuah
konten bisa ditayangkan pada platform lain, khususnya televisi
berbayar, konten harus bersifat 'timeless' atau tak terikat secara
waktu. Misalnya program 'travelling' seperti Jejak Petualang atau
bahkan program kuliner.
Dengan
demikian, tumpukan tayangan sekali pakai pada televisi terrestrial
yang hanya mengumpulkan debu pada 'library' audio-visual televisi
bersangkutan bisa diolah kembali untuk menghasilkan uang. Pengolahan
kembali konten ini bisa dilakukan dalam berbagai cara antara lain
adalah:
- re-use (menayangkan ulang)
- re-produce (memproduksi ulang)
- re-package (mengemas ulang)
Re-use artinya
adalah menayangkan ulang baik pada platform yang sama maupun pada
platform lain. Penggunaan kembali konten yang diproduksi untuk
televisi terrestrial pada televisi berbayar sudah sering dilakukan.
Misalnya pemutaran ulang sinetron pada channel khusus sinetron pada
televisi berbayar (Astro TV pernah melakukan ini). Contoh lainnya
adalah program masak memasak produksi Indonesia yang saat ini sudah
tayang di Asia Food Channel.
Re-produce adalah
produksi ulang konten yang sudah dibuat menjadi program lain. Praktek
seperti ini masih belum banyak dilakukan. Misalnya program dokumenter
berkaitan dengan hewan liar (seperti kuda Sumba) lalu diproduksi
ulang menjadi program anak-anak. Artinya konten yang sudah dibuat
sebelumnya lalu diambil sebagian untuk kemudian menjadi bagian dari
elemen/ unsur program lainnya yang akan diproduksi. Apakah elemen/
unsur yang dipakai ulang itu berupa paket video, insert video maupun
grafik animasinya.
Sejauh
ini praktek re-produce banyak dilakukan redaksi pemberitaan
televisi. Seperti misalnya paket video berita 2 menit lalu dijadikan
elemen program lainnya. Program lainnya ini bisa berupa program
feature/ magazine dengan menampilkan host pada fixed set di studio
misalnya. Sehingga proses produksi dilakukan untuk mengemas kembali
potongan berita yang sudah muncul sebelumnya pada program bulletin.
Kumpulan berita kriminal pilihan pada program 'Sergap' harian lalu
diproduksi ulang menjadi program feature/ magazine 'Sergap akhir
pekan'.
Sementara re-package
adalah pengemasan ulang konten tanpa adanya proses produksi tambahan.
Misalnya yang pernah dilakukan program “Jejak Petualang” yang
membuat semacam kompilasi dari program yang sudah pernah tayang
sebelumnya menjadi program baru. Topik-topik yang disatukan dalam
kategori kompilasi tertentu lalu ditayangkan sehingga menghadirkan
konteks baru pada konten.
Potensi 'revenue
stream' dari pengolahan kembali konten tidak hanya terbatas pada
dalam negeri. Karena kebutuhan akan konten sangat tinggi di luar
negeri. Pengemasan ulang dengan menambahkan 'subtitle' sangat
mungkind dilakukan dan cenderung mudah untuk dilakukan. Sedangkan
penyediaan 'dubbing' bahasa Inggris, selain menjadi lebih rumit juga
memerlukan proses produksi tambahan sehingga jatuh pada kategori
're-produce'.
Artinya, jika sebuah
perusahaan besar produsen konten seperti sebuah stasiun televisi
tidak melakukan pengolahan ulang atas konten yang dibuatnya secara
in-house – maka perusahaan itu sama saja dengan duduk di atas
'harta karun' terpendam. (bay)
No comments:
Post a Comment