Thursday, December 3, 2009

Ada-ada Saja (2)

Seorang presenter membaca berita tentang salon khusus untuk anjing piaraan. Sang presenter membaca berita sebagai berikut: "Sehingga salon ini menjadi tempat yang menyenangkan bagi ANJIR...". Hampir secara bersamaan, PD maupun crew studio lainnya menirukan kata terakhir yang diucapkan Fitri Megantara karena sadar mereka harus me-retake pembacaan berita itu.

Seorang reporter melakukan PTC (Person To Camera) di sebuah terminal bus. Namun ia harus mengulang PTC-nya berkali-kali karena apa yang dikatakannya tak sempurna. Tanpa diketahuinya, orang-orang di sekitar tempatnya melakukan PTC mulai berkumpul dan duduk mengelilinginya. Mereka pun menjadi terlibat dalam proses pengambilan gambar. Setiap kali si reporter memulai kembali PTC-nya mereka diam. Setiap si reporter melakukan kesalahan mereka ikut menyesali apa yang terjadi. Sampai akhirnya si reporter berhasil menyelesaikan PTC-nya dengan baik. Mereka pun memberikan pengakuan kepada Louisa Kusnandar dengan tepuk tangan dan suara-suara pemberi semangat.

Seorang produser menunggu telepon dari Studio di Jakarta untuk memberikan laporan tentang suasana di Giri Bangun. Saat itu, jenazah mantan Presiden Soeharto akan segera tiba di bandar udara terdekat. Sang Produser menggunakan televisi hitam putih dengan layar 5 inci yang dibelinya seharga 3 ratus ribu malam sebelumnya. Televisi itu ia pangku di pahanya sembari menutup bagian depan layar dengan tangan karena panas matahari menghalanginya melihat siaran langsung TVRI dari bandar udara. Posisinya pun kurang menguntungkan karena untuk mendapatkan listrik, ia harus mencolokkan listriknya dekat mixer audio system yang dipasang di Giri Bangun di pinggir lapangan parkir. Tiba-tiba teleponnya berdering. Sang produser pun bersiap memberikan laporannya. Sayang bukan studio di ujung sana, tapi suara reporter yang ditugaskan bersamanya meliput peristiwa itu.
Reporter: "Mas Bhayuuu...kakiku keinjek Kopassus....".
Produser: (Dengan nada tidak sabar) "Terus?"
Emma Fitria: "Sakit tauuuuuuk!"
Bhayu Sugarda: ".....?!!?"

Seorang reporter berniat mewawancarai Menkokesra, yang saat itu dijabat Aburizal Bakrie. Ketika reporter lain fokus ke topik terkait kesejahteraan rakyat, sang reporter membawa misi sendiri...yaitu menanyakan soal Lumpur Lapindo. Ketika ia melihat kesempatan untuk bertanya, ia pun melepaskan peluru yang sudah ia siapkan sebelumnya. Aburizal Bakrie pun mengangkat tangannya dan bergerak menjauh tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan. Sang reporter pun dengan sigap mendesaknya untuk menjawab pertanyaan dengan mengatakan, "Bapak kok gituuuuuuu....!!!".
Aburizal Bakrie sempat terpana sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Fatimah Alatas.

Sebuah penangkapan tersangka narkoba terjadi di Semarang. Wartawan cetak maupun elektronik meluncur ke kantor polisi tempat mereka ditahan. Mereka pun mewawancarai petugas yang menangkap para tersangka itu. Sang polisi mengaku terpaksa melepaskan tembakan karena tersangka berusaha melarikan diri. Seorang wartawan yang juga salah satu anak buah koresponden sebuah stasiun televisi swasta tiba-tiba bertanya, "Suara pistolnya TER apa TOR?". Baik wartawan lainnya yang kebetulan ada di situ maupun nara sumber hanya bisa terpana mendengar pertanyaan itu. Belakangan Amrul Hakim mengaku bahwa dirinya menanyakan pertanyaan itu karena ingin mendapatkan SYNC atau SOT yang kurang lebih melibatkan si nara sumber mengangkat tangannya dan menirukan suara pistol yang ditembakkan.

Seorang presenter membaca berita yang tertulis di prompter sebagai berikut: "LARANGAN MEROKOK DI PRANCIS....///". Namun si presenter membacanya seperti ini: "Larangan MEROKOUW di Prancis...". Usai siaran sang show produser menanyakan alasan dibalik cara baca yang aneh itu. Fitri Megantara mengaku canggung mengucapkan kata 'merokok' karena ragu antara menghilangkan 'k' di akhir kata atau justru memperjelas cengkok huruf 'k' itu.

Seorang show producer baru saja menyelesaikan tugasnya. Ia pun berjalan menuju meja tempatnya bekerja agar ia bisa membuat laporan show yang baru saja dikerjakannya. Tapi sebelum ia membuat laporan, ia menyempatkan diri bercerita kepada rekannya sesama produser tentang sebuah kejadian menarik saat show berlangsung. Salah satu berita tentang konflik di Timur Tengah bercerita tentang penemuan senjata di sebuah minivan. Namun, berita yang tertulis di Prompter adalah sebagai berikut: "SEJUMLAH SENJATA DITEMUKAN DALAM MINIVAN/ SEPERTI TOKET DAN RUDAL///". M. Arif Budiman mengaku beruntung ia menyadari kesalahan itu sebelum berita dibaca sehingga bisa dikoreksi. Ia mengungkapkan, "Saat itu gua pikir toket dan rudal merupakan dua hal aneh yang bisa ditemukan pada satu tempat.".

Ada-ada Saja (1)

Seorang wartawati pemula liputan demam berdarah:
Wartawati: "Jadi para jumantik (Juru Pemantau Jentik) dari mana saja, bu?"
Narasumber: "yah sebagian besar dari mereka juga ibu-ibu PKK"
Louisa Kusnandar: "Oh, jadi sebagian besar dari mereka juga Petugas Kebersihan dan Keamanan yah?"
Narasumber: "....?!?"

Seorang wartawan cukup senior yang sudah lama tak berkunjung ke Mabes Polri menghadiri konperensi pers dari Kadivhumas. Karena dia tidak tahu nama dari Kadivhumas, ia pun bertanya kepada salah seoramng rekannya.
"Bos, namanya siapa Bos?", wartawan cukup senior.
"Paiman. Paiman", kata rekannya.
"Oke. Tengs.", balasnya.
Ia pun mengacungkan tangan untuk bertanya. "Pak Iman...Pak Iman!".
Rekannya pun melotot dan menyikut pinggang sang wartawan. "Namanya Paiman tauk! Bukan Pak Iman.".
Menyadari kesalahannya Edwin Nazir pun mengoreksi ucapannya dengan memanggil, "Jenderal! Jenderal!".

Seorang wartawan menyambut kedatangan seorang nara sumber yang akan diwawancara di studio. Ia kebetulan bertugas sebagai booker.
"Terima kasih atas kedatangannya Mas Ray.", kata si wartawan.
"Sama-sama, Mas.", kata Ray Sahetapy.
Mereka berdua pun masuk ke dalam lift menuju studio. Kesunyian lift menghujam, karena hanya mereka bedua di dalam lift. Sang wartawan pun berupaya mencairkan suasana.
"Wah, Mas. Saya penggemar berat Anda di sinetron Tahta.", katanya.
Ray menoleh ke arah wartawan itu dengan cepat.
"Tahta? Bukan saya yang main di situ. Itu Mathias Muchus.", kata Ray Sahetapy.
Kesunyian semakin menghujam. Sang wartawan pun berupaya kembali dari keterpurukan.
"Tapi saya juga senang dengan penampilan Anda di film 'Kanan Kiri Oke'.", kata si wartawan.
Sejak saat itu Raden Wahyuningrat menyadari kelemahannya dalam berinteraksi dengan selebritas.

Seorang produser membuat janji dengan Adrianus Meliala.
Produser: "Selamat pagi Pak Meliala. Saya Ocha dari Astro Awani. Saya mau minta waktu Anda untuk wawancara soal tawuran, Pak. Iyah Pak, mengenai kecelakaan transportasi nih Pak. Jadi kapan bisa ketemu nih Pak. Hari ini? Oke baik Pak. Di mana Pak? Di Pelabuhan Tanjung Priok yah! Oke pak. Terima kasih banyak Pak."
Sang produser pun meminta tim liputan untuk mewawancarai Adrianus Meliala. Tim liputan pun berangkat ke lokasi. Ketika ditemui, sang reporter melihat dari jauh penampilan Adrianus Meliala. Sang reporter pun mulai curiga karena penampilannya tidak seperti yang ia ketahui dari media massa selama ini. Untuk memastikan, sang reporter melontarkan pertanyaan pancingan.
Sang Reporter: "Jadi berapa lama Bapak belajar jadi kriminolog?".
Adrianus Meliala: "Kriminolog? Latar belakang saya akademi pelayaran Mas.".
Oki Budhi Priambodo: "....?!?".
Sejak kejadian itu Firouza menyadari bahwa nama orang bisa sama persis dengan orang lain secara kebetulan.

Seorang reporter mewawancarai seorang anak kecil berkaitan dengan fenomena Smackdown.
Sang Reporter: "Jadi tokoh favorit kamu siapa di Smackdown?"
Anak kecil: "De-Ex".
Sang Reporter: "Siapa?"
Anak kecil: (Curiga ada yang salah dengan cengkok bicaranya, si anak kecil pun berupaya mengoreksi pengucapan nama idolanya) "Diee Eksh."
Sang Reporter: "Siapa siapa?"
Anak kecil: (Kali ini si anak kecil memutuskan untuk mempercepat pengucapannya supaya tidak terlalu ketara jika ada salah pengucapan) "D-Ex!"
Ulung Putri: "Siapa?"
Anak kecil: "De-Eeeeeeeeeeeeeeex.". Wajah si anak campur aduk antara heran (karena kok ada reporter sebudeg ini?), marah (karena si reporter berulangkali menanyakan hal yang sama) dan kecewa (karena koreksi pengucapannya sebanyak 2 kali tak berarti banyak buat si reporter).

Seorang wartawan dengan kamera person-nya mendatangi BPOM Pusat untuk meminta ijin mengikuti razia obat di pasar. Ketika ditemui, petugas BPOM Pusat menyangkal ada razia hari itu. Tapi sang wartawan menolak untuk menyerah. Ia pun beranjak ke BPOM Jakarta. Melalui telepon ia berbincang dengan nara sumbernya di BPOM Jakarta dan telah mendapatkan ijin mengikuti razia yang akan mereka lakukan sore itu. Berangkatlah dengan cepat si reporter dengan kamera person ke kantor BPOM Jakarta. Ketika tiba di sana, keduanya disambut dengan baik. Nara sumber berjanji akan segera berangkat setelah personil sudah lengkap, karena masih ada satu lagi personil yang akan ikut namun belum datang. Si wartawan dan kamera person pun menunggu dengan sabar. Tak berapa lama si nara sumber kelihatan bergegas mendatangi si wartawan dan kamera person. Ia menginformasikan bahwa orang yang ditunggu sedari tadi sudah datang dan akan segera berangkat melakukan razia. Ternyata orang yang ditunggu-tunggu adalah petugas BPOM Pusat yang ditemui sang wartawan sebelumnya. Petugas itu kembali menegaskan bahwa sang wartawan tidak boleh mengikuti razia. Mungkin karena melihat kegigihannya, belakangan orang itu pun akhirnya mengijinkan Yoga Nugraha mengikuti razia.

Seorang Presenter Pria membaca berita dari Irak yang muncul di Teleprompter. Di prompter tertulis, “KORBAN LEDAKAN BOM DILARIKAN KE RUMAH SAKIT AL KINDI///”. Andrie Djarot lalu membaca tulisan di prompter itu sebagai berikut: “Korban ledakan bom dilarikan ke rumah sakit ANGKATAN LAUT Kindi”.

Seorang Presenter Wanita membaca berita dari Australia. Tulisan yang muncul di Teleprompter sebagai berikut: “BANJIR MENGGENANGI SEBAGIAN BESAR KAWASAN NEW SOUTH WALES///”. Namun, Pinky Andriyani membacanya seperti ini: “Banjir menggenangi sebagian besar kawasan New South WALLS.”. Untuk beberapa saat Show Produser terbengong-bengong sebelum memutuskan untuk me-retake pembacaan berita itu.

Seorang reporter yang baru ditugaskan di desk ekonomi sebuah harian terbit, bertugas di Departemen Keuangan. Teman-teman wartawan yang lain kebetulan tidak berada di tempat. Ia pun seorang diri ketika tiba-tiba Menteri Keuangan waktu itu, Boediono, keluar dari lift dan berjalan menuju pintu keluar lobby kantor Departemen Keuangan. Dengan sigap si reporter pun bergerak ke arah Boediono, mencegat dan menyodorkan tape recordernya. Boediono pun menghentikan langkahnya. Keduanya berhadap-hadapan. Si reporter melihat ke kiri dan kanannya. Ia menyadari tidak ada rekan sesama reporter di dekatnya. Beno pun mulai kehilangan akal apa yang akan ditanyakan. Boediono lalu bertanya, “Mau tanya apa?”�.

Seorang presenter mengantarkan segmen dialog sebuah program berita pagi usai membaca segmen olahraga. “Sesaat lagi kami akan kembali dengan dialog khas Nuansa Pagi dengan nara sumber Happy Bone (baca: “Boun”) Zulkarnaen.”. Ketika Bhayu Sugarda keluar dari ruang siaran ia pun berpapasan dengan Happy Bone (baca: “Bo-ne”) Zulkarnaen namun tak berani menatap matanya.