Tuesday, December 16, 2008

Diskusi Panel Konferensi Keselamatan Jurnalis (1)


Sedikit cerita dari Konferensi Keselamatan Jurnalis. Konferensi ini merupakan upaya untuk menciptakan budaya keselamatan bagi Jurnalis. Berbagai panelis hadir dalam konferensi ini, antara lain dari Filipina, Kamboja dan Malaysia. Menarik mendengar kondisi keselamatan bagi Jurnalis di Filipina dan negara Asia Tenggara lainnya. Karena tidak terlalu jauh berbeda. Namun, sejumlah perbedaan yang mencolok antara lain seperti berikut:

1. Filipina

Di Filipina, tingkat kematian jurnalis tinggi. Padahal kebebasan pers jauh lebih baik dari Malaysia misalnya. Menurut Maria Ressa, mantan koresponden CNN yang sekarang bekerja di ABS-CBN (salah satu stasiun televisi besar di Filipina) 70 persen konten berita adalah kriminal. Ia mengaku sempat berupaya untuk mengurangi konten berita kriminal tapi akhirnya sadar bahwa berita kriminal diperlukan karena kriminalitas tinggi di Filipina.

Tingkat kematian jurnalis di Filipina ada di peringkat 4 dengan jumlah kematian 55 orang antara tahun 1996 s/d tahun 2006. Nomer satu tetap Irak dengan jumlah kematian sebanyak 138 orang. Diskusi khusus tentang kondisi buruk keselamatan Jurnalis di Filipina dilakukan untuk merangkum rekomendasi soal ini. Sejumlah kesimpulan yang muncul antara lain:

- budaya impunitas meluas (tak ada satu pun kasus kematian jurnalis masuk ke meja hijau)
- praktek buruk jurnalistik (alias amplop) juga diduga turut berperan, sehingga masyarakat tak peduli tentang keselamatan jurnalis
- tidak ada komitmen dari Pemerintah untuk menghentikan pembunuhan atas Jurnalis dan menghentikan budaya impunitas
- gaji wartawan yang rendah dan rendahnya kualifikasi wartawan juga dianggap memengaruhi kualitas karya jurnalistik (khususnya radio - sementara radio lebih luas jangkauannya/ populer dibanding televisi)

2. Kamboja

Jurnalis di Kamboja mungkin tidak terancam jiwanya - tapi mereka rentan untuk ditangkap aparat. Seorang wartawan tewas saat pemilu di Kamboja tahun ini. Panelis dari Kamboja menekankan perlunya kesadaran akan pentingnya keselamatan Jurnalis oleh Stakeholders antara lain: Pemerintah, Organisasi Jurnalis dan Pimpinan Institusi Pemberitaan.

3. Malaysia

Di Malaysia, persoalan utama adalah Undang-Undang berkaitan dengan Jurnalis menjadi alat Pemerintah untuk mengendalikan Media Massa. Salah satu UU yang menghambat kerja Jurnalis antara lain Internal Security Act (seorang blogger akhirnya ditahan karena dianggap subversif tahun ini) dan UU yang mengharuskan institusi pemberitaan untuk memperbarui ijin Pers dalam kurun waktu tertentu. Sehingga media sewaktu-waktu bisa dibredel.

Satu hal yang menjadi keresahan peserta diskusi panel dari awal adalah nasib koresponden/freelance/ stringer. Karena keselamatan mereka dari segi peralatan dan asuransi berbeda dengan jurnalis yang berstatus karyawan media besar. Di Indonesia, kenyataannya adalah Jurnalis terbagi menjadi 2 kelas yang tidak mendapatkan keuntungan sama dari perusahaan.

Tapi pada dasarnya, isu keselamatan Jurnalis harus menjadi prioritas institusi pemberitaan sekaligus jurnalis sendiri.

Apa yang harus dilakukan dalam situasi konflik? Rick Filon dari AKE (sebuah perusahaan Manajemen Krisis) memberikan sejumlah panduan sebagai berikut:

1. Tanggung jawab perusahaan dalam memastikan keselamatan Jurnalis antara lain:

- Pelatihan keselamatan bagi Jurnalis sebelum masuk ke situasi konflik
- Melakukan praktek Perencanaan Manajemen Krisis (identifikasi langkah dalam menghadapi situasi krisis seperti misalnya penculikan wartawan)
- Mengidentifikasi dukungan dari luar (Organisasi Internasional untuk melindungi wartawan, dlsb.)
- Diseminasi informasi (memastikan informasi penting terkait kondisi nyata di daerah konflik dapat diakses tim di lapangan maupun pihak manajemen)
- Mendokumentasikan kondisi karyawan, baik itu kondisi kesehatannya maupun keahliannya - dengan harapan saat krisis terjadi kondisi wartawan tidak terabaikan

2. Planning/ Risk Assesment

Risk Assessment bisa dilakukan dengan melakukan langkah sebagai berikut:

- Menentukan tujuan dari liputan, story apa yang dikejar, apakah cukup pantas untuk mengirim tim ke lokasi berbahaya
- Melakukan apresiasi detail tentang kondisi di lokasi berbahaya itu
- Mempersiapkan rencana untuk mengurangi resiko dalam upaya mencapai tujuan
- Contingency Plan atau mempersiapkan skenario jika terjadi sesuatu
- Emergency Plan atau rencana jika terjadi situasi darurat (misalnya KAPAN TIM LIPUTAN HARUS KELUAR DARI LOKASI KONFLIK).
- Mempertimbangkan resiko dengan hasil yang diharapkan

3. Pelaksanaan

Pada pelaksanaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

- Eksekusi Manajemen Krisis

Saat tim dikirim, anggoat tim telah dibekali segala persiapan yang BISA dilakukan pada waktu singkat. Misalnya peralatan khusus (masker untuk liputan kawasan bencana/penyakit menular, jaket anti peluru atau medical tool kit P3K), informasi dasar tentang segala hal yang perlu diketahui di lokasi berbahaya termasuk budaya dan background masalah, alat komunikasi dan protokol/SOP peliputan di daerah berbahaya yang harus dipatuhi jurnalis.

- Reassessment (Evaluasi Ulang)

Evaluasi kembali protokol/ SOP peliputan karena mungkin saja perlu berubah karena kondisi lapangan juga berubah. Selain protokol/ SOP yang harus diperhatikan adalah keperluan alat kesehatan - dengan pertimbangan mungkin obat/alat kesehatan yang dibawa tidak lagi relevan dengan kondisi di lapangan. Begitu juga dengan shelter seperti tenda, alat komunikasi dan sebagainya. Dengan begitu, Manajemen responsif terhadap kebutuhan tim lapangan.

- Post Task (Pasca Peliputan)

Manajemen perlu mengidentifikasi ancaman yang mungkin muncul pasca peliputan. Misalnya hasil liputan yang dibawa pulang memiliki potensi membuat marah pihak tertentu sehingga perlu persiapan untuk menghadapinya.

Selain mengidentifikasi ancaman terhadap intitusi pemberitaan, ancaman terhadap pihak ketiga juga perlu diperhatikan. Misalnya ancaman terhadap koresponden kita yang masih meliput di lokasi konflik setelah tim yang dikirim pulang.

Jangan lupa melakukan evaluasi keseluruhan mencakup kondisi kesehatan fisik maupun kejiwaan anggota tim. Karena tidak sedikit Jurnalis yang meliput daerah konflik atau lokasi bencana mengalami trauma.

4. Bagaimana mengurangi Resiko?

Sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko adalah:

- Mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang budaya, kondisi terakhir konflik, latar belakang konflik dan latar belakang orang-orang yang menjadi sumber berita.

- Pastikan Risk Assessment dibuat berdasarkan data akurat dan bukan mitos. Misalnya: salah satu protokol yang dibuat untuk tim liputan dalam melakukan tugasnya adalah tiarap saat muncul tembakan, dengan asumsi senjata kelompok pemberontak bisa menjangkau1500 meter. Padahal di daerah itu, senjata yang umum digunakan kelompok pemberontak memiliki jangkauan di bawah 400 meter. Selain itu kemampuan menggunakan senjata anggota kelompok pemberontak sangat tidak akurat. Jadi saat tembakan muncul dari arah kelompok pemberontak - seharusnya tidak perlu tiarap karena bisa langsung keluar dari lokasi berbahaya. Atau misalnya jika ada suara siulan berarti ada mortir yang diluncurkan...padahal di lokasi berbahaya itu, kelompok milisi tidak menggunakan pelontar mortir yang menimbulkan suara seperti itu.

- Hindari profil tertentu yang mudah dikenali dari anggota tim liputan alias coba untuk tidak terlalu mencolok. Misalnya: selalu memakai topi hutan atau baju tertentu saat liputan. Karena dengan begitu, orang yang ingin menculik Anda misalnya dengan mudah mengenali targetnya.

- Peralatan khusus seperti baju anti peluru, telepon satelit dan lain-lain

- Hindari rutinitas. Misalnya untuk pulang ke rumah hindari menggunakan jalan yang sama setiap kali. Atau setiap malam makan di satu tempat tertentu.

Kesimpulannya: Don't Be The Easy Option!

Diskusi Panel Konferensi Keselamatan Jurnalis (2)

Burma/Myanmar kondisi kebebasan pers-nya sangat buruk. Mulai dari Undang-Undang tentang Televisi dan Video, UU Perfilman, UU elektronik s/d UU Perkembangan Ilmu Komputer. UU yang terakhir pada dasarnya kepemilikan perangkat komputer harus dilaporkan ke Junta. Sisanya merupakan batasan kepada media dalam melaporkan ke publik. Misalnya UU elektronik - UU itu melarang seseorang mengirimkan gambar peristiwa di Burma/ Myanmar melalui internet ke luar negeri.

Email juga diawasi. Sekitar 80 persen email service provider di-blok. Karena itu, hati-hati jika mengirim email dari Burma/Myanmar. Para jurnalis sakti ini memperingatkan untuk menggunakan email kedua yang tidak diketahui pihak Junta.

Selain itu, seperti halnya di Malaysia - media harus melakukan registrasi ulang setiap tahun. Berita media cetak harus diserahkan ke Kementerian Informasi untuk disensor bila perlu sehari sebelum bisa disebarluaskan. Untuk media mingguan, bisa menyerahkannya 3 hari sebelumnya.

Korban harian yang ada di Burma/Myanmar ada 3 dan semuanya dikendalikan Pemerintah. Begitu juga dengan stasiun televisi. Informasi yang ada di media Burma/Myanmar bisa dibilang 100 persen propaganda.

Sejumlah tip dan trik yang disampaikan para jurnalis dari Burma/Myanmar dalam diskusi panel, antara lain:

- jangan mengoperasikan kamera foto/video di depan tentara yang bertugas
- jangan mengeluarkan kamera foto/video jika ada tentara di sekitar
- pastikan foto-foto yang bisa dianggap berbahaya oleh militer disimpan dengan baik dan jangan ditinggalkan di kamera foto/video

Akhirnya yang mereka lakukan adalah menyebarkan informasi, meski bisa membahayakan nyawa mereka, dengan cara-cara bawah tanah. Sebagian besar pun akhirnya membantu media asing untuk mendapatkan informasi. Liputan yang di bawah pengawasan Junta bukan hanya masalah konflik perang saudara, tapi juga di daerah bencana topan Nargis. Mereka berharap koresponden luar negeri bisa mengerti kondisi peliputan di Burma/Myanmar dan bisa lebih sensitif saat bertugas, karena salah langkah bisa membahayakan diri mereka dan wartawan lokal yang kebetulan membantu mereka. Menurut mereka, sebaiknya media internasional mengirimkan wartawan yang berwajah oriental (mirip orang Myanmar). Seperti orang Filipina dan India masih bisa leluasa karena bisa dianggap orang lokal.

Bagi wartawan yang bertugas di daerah konflik seperti itu tentunya akan rentan menderita stress disorder. Kebanyakan wartawan mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Cait McMahon dari DART Center memiliki program untuk mengatasi stress pasca trauma yang diderita jurnalis.

Gejala stress pasca kejadian traumatis antara lain perubahan karakter pasca peristiwa traumatis (dari lembut menjadi kasar), banyak berkeringat, mengalami hyper-arousal sehingga bisa membahayakan tim, kemarahan, rasa bersalah dan rusaknya hubungan pribadi dengan orang tercinta. Hyper-arousal merupakan suatu kondisi yang dimana adrenalin mengalir deras dalam tubuh dan mengakibatkan kesulitan mengambil keputusan secara rasional. Salah satu gejalanya adalah perilaku berbahaya yang bisa mencelakakan tim.

Penanganan trauma bagi jurnalis dilakukan melalui pendekatan BDA (Before, During and After).

1. Before

Sebelum pengiriman tim ke daerah berbahaya (hostile environment) anggota tim harus mengerti ancaman psikologis yang mungkin mereka alami di daerah berbahaya itu. Karena mengetahui adanya ancaman psikologis (bukan hanya ancaman fisik) bisa mengurangi dampak trauma dan dengan cepat bisa di-identifikasi untuk ditangani.

Langkah yang bisa dilakukan sebagai persiapan mental antara lain adalah:

- belajar mengenali tingkat kemampuan menghadapi stress
- belajar dari sesama rekan jurnalis yang lebih senior ancaman psikologis maupun cara menanganinya. Agar lebih efektif perlu adanya Support Group atau mentoring sebagai persiapan sebelum pemberangkatan.
- Positive Self Talk (maksudnya berbicara dengan diri sendiri secara positif. misalnya "I can do this").
- meningkatkan spiritualitas
- Briefing dengan tim sebelum pemberangkatan untuk menjelaskan SOP manajemen trauma (misalnya apa yang harus diperhatikan dan apa yang harus dilakukan jika merasa trauma)

2. During

- fokus pada kegiatan yang dilakukan secara fisik (artinya fokus pada pekerjaan seperti pengambilan gambar - liputan - menjaga keselamatan, agar tidak terlalu fokus pada kondisi psikologis
- jangan terpengaruh dengan korban dan tetap fokus pada pekerjaan saat situasi krisis (misalnya di tengah baku tembak jangan terpengaruh hal lain selain menjaga keselamatan dan melakukan tugas jurnalistik)
- dalam situasi berbahaya selalu men-challenge keputusan yang akan diambil dengan pemikiran negatif (artinya sebelum melakukan sesuatu yang berbahaya - seperti ptc di tengah baku tembak - selalu lawan dorongan untuk melakukan itu dengan pemikiran yang negatif seperti "I can not do this". Dengan demikian memberi kesempatan kita untuk berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu yang berbahaya.
- bernafas dalam-dalam dan bicara pada diri sendiri (seperti misalnya di tengah situasi kritis berkata pada diri sendiri: "Tetap tenang dan fokus pada pekerjaan. Nafas dalam-dalam.")
- awasi kondisi fisik dan mental. (artinya senantiasa evaluasi diri apakah mengalami kelelahan fisik dan mental)
- minum air banyak-banyak
- pertahankan harapan dan keyakinan diri
- manajemen bisa membantu dengan mengirimkan pesan pendek atau email menanyakan kondisi tim sebagai bentuk perhatian - khususnya usai melakukan tugasnya dengan baik

3. After

- pengecekan fisik maupun psikologis (yang terakhir tidak perlu sampai mendatangkan psikiater - tapi cukup menggelar sesi berbagi cerita dengan mentor atau jurnalis yang lebih senior)
- perhatikan gejala-gejala PTSD dalam keseharian sehingga bisa segera diatasi
- pemantauan kondisi psikologis selama 3 hingga 4 hari pasca trauma
- membuka diri untuk menerima konseling dari Support Group

Pada dasarnya ada 5 poin yang harus diperhatikan. Kelima poin itu terangkum dalam CISD (Critical Incidence Safety Debriefing):

1. Training Trauma bukan sekedar diperlukan tapi sangat penting untuk dilakukan
2. Keselamatan fisik adalah seiring dengan keselamatan psikologis (karena gangguan psikologis bisa memicu gejala fisiologis atau mempengaruhi secara fisik)
3. Lakukan pendekatan BDA
4. Reaksi pasca trauma adalah wajar
5. Budaya media pemberitaan yang sadar pentingnya penanganan trauma = praktek jurnalisme yang lebih baik = bisnis yang baik/menguntungkan perusahaan

Demikian semoga bermanfaat.

Saturday, July 19, 2008

Dialog Sudut Pandang dengan Mantan Perdana Menteri Timor Leste, Mari Alkatiri soal hasil laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste. Host: Bhayu Sugarda.

Monday, July 14, 2008

Editing In-Camera (1)

Temans,

Berikut penjelasan tentang "edit by camera". Istilah itu banyak variasinya, seperti "edit with camera" (suatu hari saya nonton Discovery Channel tentang sejarah perfilman Hong Kong. Dalam narasinya mereka bilang: untuk menekan biaya produksi mereka harus melakukan "edit with camera") atau "editing in camera". Khusus untuk variasi istilah yang terakhir, saya dapet dari internet pada situs videomaker: http://www.videomaker.com/article/7581/

Berikut cuplikan artikelnya:

Getting Started: Shooting to Edit vs. Editing In-Camera

by Arthur Aiello
May 2000

In the Camera
While the differences between editing in-camera and shooting to edit are many, the main difference between the two is a matter of sequence. When you shoot to edit, you can shoot your scenes out of order, since you're going to re-arrange them in post production anyway. When you edit in the camera, however, you need to shoot all of the scenes in order. Because in-camera editing requires that scenes be shot in the order, you might have to do some leg work to produce a scene that requires more than one location.

In addition, you'll need to get each shot right the first time. There's no "fix it later" flexibility here. As any extreme sports enthusiast will tell you, flying by the seat of your pants requires skill and planning before you take the leap. Editing in the camera requires a great deal of planning before you roll the tape.

Contoh:

gerakan yang diambil adalah sebagai berikut:

- obyek orang in masuk dapur melalui pintu
- obyek orang membuka lemari es
- obyek orang mengambil makanan
- obyek orang meletakkannya di piring
- obyek orang duduk di meja makan
- obyek orang makan

Sesuai dengan PJTV, mengambil sequence dari gerakan itu adalah melalui 3 kali pengambilan gambar.

1. Master Shot (Longshot biasanya)
2. Medium Shot
3. Detail (Close up/ Big Close up)

Pada saat mengambil Master Shot, gerakan itu diambil apa adanya. Gambar itu akan digunakan sebagai dasar dari editing. Setelah itu, obyek orang harus mengulang gerakan itu dan kamera person bisa mengambil gambar dengan komposisi berbeda (Medium Shot misalnya). Terakhir, obyek orang untuk ketiga kalinya harus mengulang gerakan itu, agar kamera person bisa mengambil gambar detail atau CU/ BCU. Inilah yang disebut "Shooting to Edit".

Hasil pengambilan gambar itu kemudian akan dengan mudah di-edit karena semua kelengkapan gambar yang dibutuhkan editor telah dimiliki. Nah "Editing In Camera" adalah mengambil gambar sesuai dengan urutan kebutuhan editing dan hanya dilakukan satu kali (atau "One Take").

Jadi misalnya urutan gambar editing adalah sebagai berikut:

- obyek orang in masuk dapur melalui pintu (LS) (kamera person mengambil LS obyek buka pintu dan berjalan menuju kulkas - setibanya di kulkas kamera person menghentikan rekaman - CUT.)
- obyek orang membuka lemari es (CU)(kamera person mengubah komposisi dan mulai merekam gambar lagi si orang membuka lemari es - saat pintu lemari es terbuka kamera person menghentikan rekaman - CUT.)
- obyek orang mengambil makanan (MS) (kamera person kembali mengubah komposisi dan lanjut merekam gambar si obyek IN FRAME mengambil makanan dari lemari es - saat makanan sudah diambil dan si orang OUT OF FRAME kamera person menghentikan rekaman - CUT.)
- obyek orang meletakkannya di piring (MCU) (dan seterusnya...)
- obyek orang duduk di meja makan (MS)(dan seterusnya...)
- obyek orang makan (BCU)(dan seterusnya...)

Semua pengambilan gambar dilakukan dengan sekali rekam atau "ONE TAKE".

Seperti yang terlihat, jelas "Shooting to Edit" hanya bisa dilakukan pada aktor atau orang yang sudah sangat kooperatif dengan kamera person. Karena hanya orang yang sudah sangat kooperatif dengan kamera person bersedia untuk melakukan 3 kali gerakan yang sama.

Sehingga, liputan harian suatu peristiwa - obyek seringkali belum atau tidak se-kooperatif itu. Misalnya liputan sidang, pemeriksaan KPK, demo, olahraga dan sebagainya. Sehingga untuk liputan berita harian - "Editing In Camera" adalah suatu keharusan. Artinya "Editing In Camera" adalah seni mendapatkan gambar sesuai urutan yang diperlukan editor - hanya dengan sekali rekam atau "ONE TAKE".
Apakah gambar lalu tidak perlu di-edit lagi? Tidak. Gambar hasil "Editing In Camera" tetap harus di-edit lagi agar sempurna saat muncul di layar. Kamera person khan manusia juga. Hehehe. Keuntungan terbesar dari "Editing In-Camera" adalah waktu pengerjaan post production yang lebih efisien, jika dibanding tidak melakukannya. Tapi mengingat liputan berita atau "News coverage" adalah proses rekaman gambar saat peristiwa yang tidak bisa diulang terjadi, "Editing In Camera" menjadi sebuah keharusan. Bukan hanya mempermudah proses post production, tapi juga mempercepat proses post production. Bayangkan editor tidak lagi perlu mencari-cari gambar yang dia perlukan, karena apa yang dia butuhkan sudah sesuai urutannya. Sehingga liputan last minute, menjadi sangat mungkin untuk ditayangkan tepat waktu. Lalu apa yang salah jika kamera person telah melakukan editing in camera dan tetap pulang dengan visual berlebihan, sehingga perlu waktu lama hanya untuk membuat rough cut-nya?
(bersambung ke Editing In-Camera (2))

Editing In-Camera (2)

Kemungkinannya adalah sebagai berikut:

A> Sequence yang sudah diambil kamera person menjadi tidak penting ketika ada peristiwa selanjutnya yang jauh lebih menarik dan kamera person terpaksa mengambil sequence baru. Bayangkan jika kejadian itu terjadi beberapa kali misalnya, akhirnya bahan mentah yang dimiliki kamera person menjadi berlebihan.

Contoh:

(Block Sequence I)

- obyek orang in masuk dapur melalui pintu (LS)
- obyek orang membuka lemari es (CU)
- obyek orang mengambil makanan (MS)
- obyek orang meletakkannya di piring (MCU)
- obyek orang duduk di meja makan (MS)
- obyek orang makan (BCU)


(Block Sequence II)

- obyek orang berdiri dari kursi dan beranjak dari meja makan (MS)
- obyek orang berjalan menuju ruang TV (CU)
- setibanya di ruang TV, obyek orang bertemu dengan istri dan dua anaknya (LS)
- perbincangan mesra antara obyek orang dengan istrinya terjadi (2 SHOT)
- si obyek orang dikerubungi ketiga anaknya yang ingin mengajak bermain (MCU)
- obyek orang akhirya mengajak ketiga anaknya bermain di halaman (MS)

(Block Sequence III)

- obyek orang bermain lempar-lemparan bola dengan anak2nya (LS)
- salah satu anaknya tak mampu menangkap bola dan kepalanya terbentur bola (MCU)
- si anak menangis keras dan menyalahkan kakaknya (CHANGE FOCUS)
- kakaknya marah dan mendorong adiknya (MS PAN RIGHT)
- obyek orang berusaha melerai kedua anaknya itu (THREE SHOT)
- sementara si bungsu hanya menonton sembari menggaruk kepalanya (BCU)

Dari ketiga block sequence itu, kira-kira yang lebih menarik tentunya yang ketiga karena lebih dramatis gambarnya dibanding lainnya. Untuk setiap block sequence itu, kamera person telah melakukan "Editing in Camera", namun, tidak semua block sequence terpakai jadinya. Karena editor tentunya akan mengambil gambar yang paling dramatis. Waktu yang digunakan untuk me-rough cut pun menjadi lebih lama karena ada 3 block sequence yang harus di rough cut.

Disinilah peran 'reporter'. Pada saat di lapangan, reporter perlu bekerjasama dengan kamera person, agar kamera person bisa mengambil gambar dengan efektif. Bekerjasama dalam arti, tau gambar apa yang akan digunakan dalam story-nya dan yang tidak, sehingga kamera person bekerja lebih efektif alias tidak mengambil gambar yang tidak perlu. Dalam contoh di atas tadi jelas yang tidak perlu diambil kamera person adalah block sequence ambil makanan dari kulkas dan memakannya di meja makan.

Reporter juga perlu tahu apa yang "akan" terjadi dalam beberapa jam ke depan. Istilahnya "foresight". Tidak perlu jadi ahli nujum, tapi logika pun cukup untuk melakukan itu. Misalnya, liputan sidang pengadilan, saat saksi masuk ruang sidang, yang akan terjadi adalah:

- saksi masuk ruangan sidang
- melewati batas antara pengunjung sidang dan ruang di depan meja hakim
- saksi duduk di kursi saksi
- saksi berdiri untuk diambil sumpahnya
- saksi kembali duduk di kursi

jika liputan kriminal misalnya, mendengar info ada mayat, biasanya yang terjadi pada mayat itu adalah:

- warga setempat menemukan mayat
- warga melaporkan ke polisi melalyu telepon
- petugas spk (sentra pelayanan kemasyarakatan) menerima telepon dan mencatat informasinya
- petugas spk melaporkannya kepada petugas patroli
- petugas patroli meluncur ke tkp
- petugas patroli tiba di tkp dan menilai kondisinya
- petugas patroli memberitahu dinas pemakaman (jika mayat tidak dikenal)
- petugas dinas pemakaman meluncur ke tkp
- mayat dibawa petugas dinas pemakaman ke rscm
- mayat tiba di rscm dan diletakkan di tenpat tidur beroda di depan ruang otopsi sambil menunggu proses administrasi
- setelah itu mayat dibawa masuk ke ruang otopsi untuk di-visum luar saja
- mayat lalu dibawa ke ruangan pendingin untuk disimpan

Apakah Anda akan mengambil sequence keseluruhan peristiwa di atas? Tentunya tidak. Reporter-lah yang memutuskan kira-kira gambar yang mana yang lebih menarik dari peristiwa panjang itu dan pelaksanaan teknis di lapangan - alias bagaimana mendapatkan gambar yang diinginkan. Khusus untuk VJ, memang perlu waktu untuk memahami bagaimana sebuah peristiwa itu berjalan karena kita kan bisa karena biasa. Hehehe. Piss.

B> Wawancara yang panjang. Ini sangat memengaruhi lama proses rough cut. Karena perlu waktu untuk mencari soundbyte yang pas untuk paket berita yang akan dibuat. Biasakan wawancara dengan tiga pertanyaan efektif - yaitu 3 pertanyaan yang bisa memunculkan ekspresi si nara sumber. Tentunya wawancara nara sumber usai pemeriksaan KPK tidak termasuk dalam kategori itu. Hehehe, you get what you can get gitu loooh.

C> Tidak "One Take" saat mengambil gambar generik seperti 'establishing shot' dan suasana di lokasi. Kelihatannya kecil tapi kalo sering dilakukan tentunya akan berakibat pada durasi bahan mentah yang berlebihan dan memaksa kamera person untuk memilih beberapa (misalnya 5) dari sekian banyak shot (20 shot misalnya) yang sebenarnya tidak terlalu penting. Apakah itu karena komposisinya yang dirasa kurang sempurna atau ada angle yang lebih menarik, usahakan untuk membatasi eksperimentasi gambar dengan moderat - artinya bukan gak boleh retake, tapi batasi sebanyak tiga kali misalnya. Setelah itu kalo mau retake lagi, mikir 3 kali sebelum melakukannya gituh.

D> Lakukan manajemen waktu dengan baik. Ini khususnya untuk VJ. Selalu proyeksikan waktu yang diperlukan untuk me-rough cut dan menulis naskah - sebelum hasilnya bisa ditangani editor dan ditayangkan dalam program. Beri batasan waktu untuk setiap langkah tadi - karena itulah yang namanya deadline. Tentukan batasan waktu itu, dengan jam tayang program terdekat. Misalnya tulis naskah di mobil, sambil menunggu ingest gambar atau menunggu giliran menggunakan komputer berkoordinasi dengan produser tentang paket yang akan dikerjakan, usai ingest langsung mengesampingkan sejenak gambar yang tidak digunakan untuk program terdekat dan fokus pada gambar yang akan dipakai, dan seterusnya.

Huaaaam...mau bobo. Mohon masukannya dari teman-teman VJ dan kamera person.

Semoga bermanfaat.

Bhayu Sugarda

Friday, July 11, 2008

The Star That Shines Briefly, But Still Shines in Her Own Light




Wendi Ruky Mogul adalah anchor yang pertama kali membawakan acara dialog Kupas Tuntas di Trans TV. Tapi ia hanya membawakan acara itu hingga tahun 2003. Saat ini ia tinggal di Bethesda, Amerika Serikat bersama suami dan anaknya.

Perjalanan kariernya cukup panjang, berawal dari kuliah di jurusan Hubungan Internasional di FISIP UI, ia pun melanjutkan ke jenjang S2 di Universitas Columbia, New York dan lulus dengan gelar Master of Science in Journalism. Selama di Amerika Serikat, ia sempat magang di CNN Biro New York dan bekerja sebagai asisten produser untuk jaringan televisi CBS News. Tahun 1999, Wendi kembali ke Indonesia. Ia bekerja di Majalah Tempo selama setahun sebelum akhirnya bergabung ke Trans TV.

Lalu, apa yang membuatnya mengakhiri kariernya di industri televisi? Apakah murni karena keluarga ataukah ada alasan lainnya? Berikut jawabannya melalui email atas pertanyaan saya itu:

"Halo Bhayu.. Sori saya telat balas. Saya punya penyakit males ngecek inbox... I didn't leave TV industry altogether.. I consider it a "temporary leave". Although I don't exactly know when I'll be back. Hehehe..Jawabannya sudah kamu tulis sendiri kok. There was no other reason than ngikut suami and having a family.

I loved what I did, and the journalistic work in Indonesia was super exciting. Seandainya suami saya orang Indonesia OR dia mau menetap di Indonesia, I wouldn't have left Trans. But at the time (2003), saya harus memilih antara karir di Indonesia dan rumah tangga di Amerika. And I chose the latter. I guess love does conquer all... hahaha...

Do I miss the good ol'days? Yes, sometimes.. apalagi kalau denger cerita dari temen2 mengenai kerjaan mereka sekarang. Rasanya masih banyak yg saya ingin lakukan di Indonesia. But do I regret my decision? No. Kesenangan dapat berita eksklusif, serunya ngeliput di lapangan, dan excitement dapet rating tinggi... teteeeeeuup gak bisa mengalahkan kebahagiaan membesarkan anak sendiri dan menyaksikan semua perkembangannya. Saya masih ingat banget betapa beberapa temen kerja dulu menangis karena sudah beberapa hari gak ketemu anaknya.. Saya bisa bayangin seandainya sekarang saya masih kerja full throttle di Jakarta, saya akan ngalamin situasi kayak begitu... Tahu sendiri kan work environment di TV gimana. Kalau kita keseringan cepet pulang, dianggap bukan pekerja keras dan bukan hard core journalist. 'Tul? :)

Sekarang anak saya masih kecil, dan kita berharap nambah lagi. Jadi saya masih ngerem karir. Ibaratnya nyetir mobil gigi satu aja. Hopefully ketika anak(-anak) sudah sekolah, saya bisa pindah gigi lima lagi. Mungkin tidak akan seperti dulu, but I'm sure other opportunities will come. :)Does this answer satisfy your curiosity? ;)

Memang konsekuensi milih jadi jurnalis ya.. no social life. ;) Aku dulu enggak gitu keberatan.. temen2 kerja asik2 dan kerjaannya seru. Jadi social life-nya ya sama orang2 itu2 juga.. kadang2 bosen, tapi gimana ya. Enggak ada pilihan. Wuahaha... just kidding. Lebih tepatnya sih sebenernya, sama orang2 yang mengerti, berhubung senasib sepenanggungan..Tapi biasanya yg cepet cabut itu kan juga memang enggak terlalu niat jadi jurnalis. Keliatan kok dari kerjaannya gimana. Right?
Mungkin awalnya coba2 ngelamar terus keterima... without really having a clue of what the job entails. Mungkin lebih bagus begitu... daripada sengsara, kan mendingan dia cari karir yg lebih pas early on? Gitu bukan? Those who really like the profession stay on.. at least for a while. Now I really like the profession dan I DO feel that I left too early (masih gatel dan penasaran, sebetulnya...), tapi kayak peribahasa sini bilang.. you can't have a cake and eat it too! (I wish 'though....) ;)”
Wendi Ruky Mogul

Sometimes, learning the thinking process of somebody elses who were there before you do, could help you with your thinking process in making your decision of similar case. Because your decision is what makes you fly or don’t fly. Either way you still have to face the consequences of your decision.

Semoga bermanfaat,

Bhayu Sugarda

Tuesday, July 8, 2008

LIPUTAN KERUSUHAN


Temans,

gua belum ada referensi jelas soal liputan demo atau rusuh yah. Sekilas beberapa hal yang pernah gua dapet kesan dan pesan dari teman2 yang udah baca referensi soal itu kurang lebih seperti berikut:

1. pada saat rusuh, posisikan diri di pinggir lokasi rusuh. artinya kalo bisa jangan berada di belakang salah satu pihak yang bentrok. maksudnya di pinggir dari arah serang kedua pihak yang bentrok. dalam hal polisi dan massa, posisikan berada di belakang polisi untuk mengamankan diri. karena kalo kita sendiri tidak aman, bagaimana kita bisa meliput atau melaporkan berita yang kita liput. jadi selalu posisikan diri pada posisi yang aman. jika ada lempar batu yah posisikan diri di tempat yang aman dari pelemparan batu.

sejumlah cerita peliputan demo/rusuh:

- Fipin Kurniawan kamera person RCTI terkena lemparan batu di kepala saat mengambil gambar di atas mobil - untuk mendapatkan areal shot dari kerusuhan.
- Rosalinda Yahya juga kena batu saat meliput rusuh FPI, untungnya dia masih bisa pulang bawa berita dan menyetir mobil liputan setelah itu (dia waktu itu jalan sendiri bawa mobil)

2. mendekat memang lebih baik. tapi selalu posisikan diri pada posisi yang aman. namun, pada saat mengambil gambar tentunya kamera person lebih konsentrasi pada gambar. karena itu, reporter selalu memosisikan diri sebagai mata ketiga kamera person. artinya, reporter-lah yang membantu kamera person saat mengambil gambar. lihat situasi di lapangan dan evaluasi apakah kamera person pada posisi yang aman, jika tidak geser kamera person atau ingatkan dia untuk tetap pada posisi aman. Yang biasa saya lakukan adalah berada di belakang kamera person dan memastikan tidak ada bahaya yang mengancam. ini dilakukan bukan hanya pada liputan kerusuhan tapi liputan apa saja! saat mengambil gambar di pinggir jalan atau lainnya. ingat, selalu ada resiko saat bekerja di lapangan - tapi usahakan mengurangi resiko itu sebisa mungkin.

selain itu, ada batas dari apa yang dilihat kamera person, karena ingat kamera person hanya melihat di view finder - jadi ada batas frame-nya. reporter bisa membantu memberitahu kamera person jika ada sesuatu yang terjadi di luar lingkup pandangnya. jadi...selalu posisikan diri dekat dengan kamera person pada saat demo/kerusuhan - karena reporter-lah mata yang tidak dimiliki kamera person untuk mengambil gambar atau melindungi dirinya dari bahaya. bos...ini penting banget loh bos...jadi kalo bisa diperhatikan. kalo pun berpisah, pastikan kamera person selalu ada dalam jarak pandang reporter - sehingga reporter selalu tahu kamera person ada di mana.

3. always stick together. karena keselamatan reporter dan kamera person adalah tanggung jawab keduanya.

4. pastikan atribut wartawan mudah diraih atau dalam jangkauan. karena itu satu-satunya senjata saat massa menyerbu ke arah kalian. walaupun seringkali tidak berguna, tapi paling tidak itu adalah tanda bahwa kalian bukan dari pihak lawan.

Note:

- kalo ngikutin film-film yah...hehehe...reporter kalo bisa selalu mencari jalan keluar dalam situasi sulit. cari 'exit point' yang memungkinkan jika terjadi hal yang tidak diinginkan...seperti misalnya tiba-tiba massa menyerbu ke arah kalian.

LIVE REPORTING


Usulan:

1. selalu bikin pointers dari apa yang akan disampaikan. tulis pointer itu dalam kertas yang mudah dibuang. jika tiga pointers (untuk tiga pertanyaan live) - siapkan tiga kertas yang mudah dibuang. pada saat live, setiap selesai menjawab satu pertanyaan, buanglah kertas itu ke tanah. intinya adalah selalu gunakan pointers - jangan pernah membaca apa yang ingin disampaikan ke pemirsa. kamera kadang menyeramkan memang - karena itu coba bayangkan kamera sebagai pacar tersayang...loe taulah itu Ris, PJTV punya...hehehe. Jadi bayangkan diri loe sedang bercerita kepada pacar loe tersayang. karena dengan begitu otomatis bahasa yang digunakan adalah bahasa tutur..dan itu tidak bisa dicapai jika contekan live yang loe pake bukan dalam bentuk pointers.

bagaimana membuat pointers?

kalo mau di-breakdown:
- bisa buat skrip-nya dulu. kurang lebih seperti halnya skrip berita televisi, buat kalimat yang pendek sehingga alurnya mudah di-ingat.
- terjemahkan skrip loe itu menjadi pointers. gunakan kata-kata yang menjadi penentu alur, sebagai pointers loe.

contoh:

(LEAD)
D–P–R HARI INI/ MENGGELAR SIDANG PARIPURNA UNTUK MEMBAHAS AKAN MENGAJUKAN HAK INTERPELASI ATAU HAK ANGKET TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH MENAIKAN HARGA B–B–M// SIDANG DIGELAR SETELAH 39 ANGGOTA D–P–R/ MENANDATANGANI USULAN HAK INTERPELASI/// NAMUN SEBELUMNYA/ MAYORITAS ANGGOTA DEWAN TELAH MENGAJUKAN HAK ANGKET//
(ROLL VO)
HINGGA SELASA SIANG/ D–P–R BELUM MEMUTUSKAN AKAN MENGAJUKAN HAK INTERPELASI ATAU ANGKET// BEBERAPA ANGGOTA DEWAN MENUDING USULAN INTERPELASI DIMUNCULKAN/ UNTUK MEREDAM WACANA HAK ANGKET// KECURIGAAN MUNCUL/ KARENA PENGAJUAN INTERPELASI MUNCUL SAAT KEPUTUSAN ATAS USULAN HAK ANGKET BELUM TUNTAS DIBAHAS// (end)

pointersnya kurang lebih seperti ini:

POINTER:

- SIDANG PARIPURNA
- HAK ANGKET ATAU INTERPELASI?
- 39 SETUJU INTERPELASI
- INTERPELASI UNTUK REDAM ANGKET

2. pointers itu coba loe ingat-ingat urut2annya. karena khan kalo bisa jangan turun-turun itu matanya ke kertas bukan. tapi kalo kepepet yah terpaksa khan, jadi tetep pointers harus di tangan.

3. latihan dulu sebelum live. 'play out' urut-urutan yang sudah loe susun di dalam kepala. hapalkan urut-urutannya itu - jangan kata-katanya. lalu cari cengkok atau bahasa bertutur yang enak sesuai dengan bahasa sehari-hari yang santun - yang biasa loe pakai. kalo ada kata-kata yang tidak biasa dipakai dalam keseharian, biasakan mengucapkannya dan coba mengerti betul arti kata itu. lalu latihan lagi dan latihan lagi tanpa membaca pointers. karena itu biasakan sudah siap di depan kamera setengah jam sebelum live. waktu setengah jam itu bisa digunakan untuk latihan dan merevisi apa yang akan loe sampaikan...atau bahkan...kalo mau ambisius yah...hehehe...mengupdate data yang loe punya.

TEKNIS LIVE:

teknis ini khusus untuk reporter yang live yah.

1. koordinasi dengan kamera person soal blocking kamera. karena latar belakang loe, bisa menjadi bagian dari laporan loe.

cerita pengalaman live:

- di nias ceritanya mau live dengan latar belakang upaya tni mendistribusikan bantuan beras buat pengungsi di daerah terpencil. mereka mendistribusikannya melalui udara - pake heli. kita putuskan untuk live di lapangan yang dipakai sebagai tempat angkut beras ke heli. kita dapet info heli bakal ambil beras kurang lebih bersamaan dengan waktu kita live. dan benar saja...heli tiba 2 menit sebelum kita live. tapi 30 detik sebelum kita live helinya udah berangkat lagi. jadi latar belakang gua waktu itu adalah berupa lapangan bola yang kosong...hiks.

2. pastikan komunikasi dengan studio tersambung dengan baik 5-10 menit sebelum live. beri kesempatan studio men-cek kualitas audio loe. audio loe akan di-feed melalui wireless atau clip on yang tersambung ke kamera. tapi komunikasi dari studio ke kuping loe biasanya pake handphone..jadi BAWA HANDS FREE! selalu bawa hands free setiap kali liputan karena you never know - tiba-tiba loe memerlukannya. pastikan hp loe tersambung dengan telepon di studio 5 menit sebelum live. artinya...jika tidak juga dihubungi studi 5-10 menit sebelum live, teleponlah OE atau studio untuk memastikan komunikasi tersambung dengan baik.

jika karena satu dan lain hal komunikasi antara studio dengan loe terputus, koordinasi dengan kamera person - agar kamera person memberikan CUE ke loe saat harus mulai dengan laporannya. urut-urutannya kurang lebih sbb:

(ANCHOR)

HARIS...BAGAIMANA HASIL KEPUTUSAN SIDANG PARIPURNA D-P-R SORE INI?

(OE atau PD memberi CUE ke kuping KAMERA PERSON)

(KAMERA PERSON memberi CUE ke REPORTER)

(REPORTER AT LARGE)

RARA...SETELAH MELALUI PROSES VOTING/ D-P-R AKHIRNYA MEMUTUSKAN UNTUK MENGAJUKAN HAK ANGKET...

3. tutup setiap jawaban loe dengan menyebut nama ANCHOR-nya. contoh sbb:

(REPORTER AT LARGE)

SEHINGGA YANG BISA KITA LAKUKAN SAAT INI ADALAH MENUNGGU LANGKAH D-P-R SELANJUTNYA/ UNTUK MENINDAKLANJUTI KEPUTUSAN SIDANG PARIPURNA HARI INI...RARA///

4. saat pertanyaan terakhir sudah dijawab, tunggu sampai 10 detik dalam sikap sempurna (baris berbaris kaleeeee) sebelum mulai melepas hands free atau lainnya. karena bisa-bisa gerakan loe yang tidak sepantasnya muncul di layar bakalan nongol di layar tv. prinsip ini juga berlaku saat sebelum loe mulai dengan laporan loe...sikap sempurna dulu gitu - jangan pecicilan.

cerita pengalaman live:

- seorang reporter live melaporkan meninggalnya pak harto. saat anchor sudah memanggil namanya dan tampilan layar tv telah di-switch ke dirinya...si reporter terlihat sedang mendorong seseorang keluar dari frame kamera sebelum mengambil sikap sempurna dan mulai dengan laporannya. hehehe.
- kalo ini cerita legend...jeremy teti bocor di awal live sedang melet saat laporan live sebuah event olahraga.
- catharina davy dari RCTI tidak mendengar CUE dari studio sehingga pembicaraannya dengan kamera person yang masih mengatur blocking muncul di layar tv (alias bocor). Pembicaraannya kurang lebih seperti ini, "INI UDAH MULAI BELON SIH...JADI KURANG MUNDUR? MASAK MUSTI MUNDUR LAGI?". kemesraannya dengan kamera person itu pun memicu kecemburuan dari istri sang kamera person dan akhirnya sang kamera person terpaksa harus rela dicemberuti istrinya saat tiba di rumah.
- edwin nazir juga pernah bocor pecicilan waktu itu. wuakakakaka. piss men.

5. selalu koordinasikan pertanyaan dengan anchor atau OE. karena dengan begitu, semua jawaban dari pertanyaan anchor sudah disiapkan dengan baik. last minute pastikan pertanyaan dengan anchor. anchor pun kalo bisa memastikan pertanyaan dengan reporter - kalo-kalo reporter lupa nanya.

6. pastikan posisi kepala, tangan dan bahu natural. kepala kalo bisa jangan miring. tangan memegang kertas pointers. kalo bisa rileks karena kalo tidak bahu akan kaku.

CONTENT:

masalah konten sebenarnya tidak terlalu urgent untuk disampaikan saat ini. cuman sekedar membuka wawasan. di balik setiap laporan selalu ada pesan yang berusaha disampaikan. pesan apa yang bisa disampaikan? misalnya pesan bahwa 'saat ini upaya distribusi bantuan kemanusiaan tidak maksimal'. atau 'perjalanan masih panjang bagi keluarga munir untuk mencari keadilan'. atau 'kekhawatiran berbagai kalangan soal namru 2, muncul karena upaya kapitalisasi perusahaan farmasi untuk mencari obat bagi virus flu burung.". pesan bisa disampaikan pada jawaban pertanyaan terakhir sebagai catatan akhir reporter kepada anchor di studio. yang kini biasanya disebut 'reporter at large' - yah paling nggak di kantor lama disebutnya begitu. hehehe.

Oiya, satu lagi...pastikan datanya akurat. CEK DAN RICEK! hehehe. jangan kayak gua...berikut laporan gua waktu laporan live di depan pintu air manggarai:

KETINGGIAN AIR DI PINTU AIR MANGGARAI SAAT INI MENCAPAI 8 RATUS METER...(huh?)

Korlip usai laporan gua, langsung menghubungi untuk memberi selamat. begini katanya, "Dick head...laporan loe bagus banget, sumpah! 800 METER ITU KEDALAMAN LAUT TAUUUUKKKKKK!! kalo segitu ketinggian air kita udah pada tenggelam gila!"....(hiks)

Semoga bermanfaat.

Bhayu Sugarda

CHRISTER LARSSON

Guys,
I found this on the internet. Apparently…maksudnya, hehehe, Christer Larsson ternyata jurnalis yang pertama kali ngebongkar program senjata nuklir yang ditutup-tutupi pemerintahnya. Jadi program senjata nuklir itu dilakukan dengan topeng program energi nuklir (buat energi maksudnya…bukan buat perang). Ini kalo orangnya sama yah. Kalo dilihat dari CV-nya, dia khan ngebongkarnya tahun 85, jadi saat itu dia kerja buat New Technology Magazine.
Ngeri juga nih dia. Abis itu dia kerja buat Swedish Broadcasting corporation. Nama dia muncul saat bekerja untuk Swedish Broadcasting Corporation di acara forum internasional gitu. Aneh nih orang, karena dia bikin paper soal remote sensing buat satelit segala, tapi abis itu kerja buat tv. Dan kayaknya kedatangannya menemui jurnalis Indonesia, ada hubungannya dengan tugasnya menggelar seminar soal media, dengan dana pemerintah Swedia – seperti tertulis dalam CV-nya. Pernah kerja buat UN juga lagi. So, is this guy a scientist, a peace officer for the UN, a broadcast journalist, a lecturer, or a “spook” (intel bo! Inteeeeeel à prosesor komputer kaleeeee).

The NPT and the Issue of Latent Proliferation
Roland Kollert

"The two dual-use power plants, along with a projected reprocessing plant that was declared civil, were central elements of the "Laddningsprogrammet" of the Swedish general staff. One version of the program proposed the production of twenty warheads per year by the late Sixties. It was not until 1985, when research by the journalist Christer Larsson was released, that the Swedish public was informed of the military function of their country's nuclear energy program."

Artikel lainnya nih soal Oom Larsson. Susah bo nyari referensinya si Oom Larsson, karena semua pake bahasa swedia (inga, ula, onatop – onatop?):

Swedish nuclear weaponry research has attracted rumours over the years, catching the attention of the media from time to time. The magazine ’Ny Teknik’ published a series of articles during the 80’s entitled ’Historien om en svensk atombomb’ (’The story of a Swedish atomic bomb’) that gave rise to intense discussion. The author, Christer Larsson, who was given a journalistic award for the series, stated that the Swedish public, Parliament and even certain members of the Cabinet had been deceived by an inner circle of decision makers.

According to Larsson, this inner circle, composed of ministers, senior officers and scientists, conducted a secret nuclear weapons programme covering the full spectrum of preparations. As a consequence the Government commissioned an inquiry led by the then Head of the Legal Section of FOA, Olof Forssberg. The report from the commission titled ’Svensk kärnvapenforskning 1945 -1972’ (’Swedish Nuclear Weapons Research 1945 - 1972’) and which was published in 1987, concluded that the picture drawn of Swedish nuclear research was distorted, and was characterised by errors and misinterpretations. According to Forssberg the research carried out never overstepped the limits imposed by Parliament and Government. In 1958 Parliament had decreed that no research aimed at the production of nuclear weapons was to be conducted, only research of a defensive nature was to be allowed.

Bhayu Sugarda

(Note: Mungkinkah Christer Larsson merasa sudah mentok di jurnalistik (apalagi yang mau dibongkar coba secara dia udah ngebongkar tujuan asli program nuklir negaranya?). Samakah dirinya dengan Bondan Winarno misalnya yang sekarang memilih jadi host "Mak Nyus"?)

Kerusuhan Monas


Berbagi Cerita:

Selasa, 3 Juni 2008

Usai konpers Habib Riziek, wartawan pun bubar. Habib Riziek masuk ke bagian rumah yang ditinggali keluarganya. Sementara wartawan perlahan-lahan mulai bubar. Ahmad Murody pulang untuk mengirim berita ke kantor. Sementara saya memutuskan untuk bertahan di markas FPI. Karena waktunya shalat Asar, saya pun ikut shalat. Selesai shalat, saya pun menunggu kesempatan untuk bertemu langsung dengan Habib dan meminta ijin liputan kegiatan FPI melalui kacamata Ucok – orang yang katanya anggota FPI. Saya pun mengeluarkan lap top kecil dan mempersiapkan semacam outline rencana liputan FPI.

Tak berapa lama Ucok muncul. Ia menggelar sajadah dan mulai Shalat Asar. Ucok masih menggunakan baju yang ia pakai saat kerusuhan, dua hari sebelumnya – baju hitam dengan gambar bertemakan ‘metal’. Dua orang anggota FPI duduk di pojokan sambil membaca Qur’an. Selesai shalat ia pun bergabung dengan mereka. Lewat pukul 17.00 WIB, mereka selesai mengaji. Dua orang tadi keluar, sedangkan Ucok merebahkan tubuh di pojokan sembari memerhatikan dua orang anak yang bermain bulu tangkis di bagian dalam rumah. Sesekali Ucok menegur kedua anak tadi yang asyik bermain. (Seandainya saya memiliki kamera...hehehe)

Sekitar pukul 17.30 WIB markas FPI tiba-tiba gaduh. Anggota FPI bergegas dan terlihat panik. Saya pun bertanya, "Ada apa Bang?". Salah seorang anggota FPI yang berada di situ menjawab, "Ada polisi di depan, 2 ratusan.". Ia pun mengambil golok yang dia letakkan di lantai dan berjalan menuju pintu masuk bagian rumah yang ditinggali keluarga Habib Riziek. Ucok yang sedang bersantai setengah tidur di lantai pun turut bergabung. Seorang wanita di pintu berbicara di telepon. Wanita itu berkata "Habib, Habib dimana? Ada di pom bensin! Iyah". Yang ia maksud berada di pom bensin adalah rombongan polisi.

Habib Riziek keluar selepas Asar, setelah memberikan konpers kepada wartawan. Mendengar kabar itu saya pun keluar. Wartawan sudah memenuhi jalan masuk menuju gang markas FPI di Petamburan. Anggota FPI lainnya tidak kelihatan. Sejumlah orang berpakaian preman hilir mudik sambil memberitahu rekannya, anggota FBR sudah bersiaga di ujung jalan. Tidak lama, seorang tentara berseragam TNI Angkatan Darat keluar dari gang masuk markas FPI. Ia menggenggam telepon dan sesekali mengangguk. Sejumlah warga setempat mengelilinginya, seakan menunggu perintah. Ia pun bergegas entah kemana. Adzan Maghrib berkumandang. Usai shalat Maghrib, semakin banyak anggota FPI berkumpul di jalan masuk depan gang markas FPI.

Karena perut keroncongan, saya pun keluar mencari ATM terdekat untuk ambil uang buat makan. Saat berjalan ke arah Slipi, saya melintasi kantor Suku Dinas Tempat Pemakaman Umum. Ternyata di situlah berkumpulnya bus polisi. Ada sekitar tiga mobil polisi. Dua bus beriringan keluar dari kantor itu menuju Slipi. Sebuah mobil Kijang juga berisi 2 perwira polisi terlihat berjaga di tempat yang sama. Saya tidak melihat adanya ratusan anggota polisi. Pukul menunjukkan setengah tujuh malam.

Ketika saya kembali, di depan gang terpasang dua bambu melintang. Tidak ada satu pun yang boleh masuk.

***
Rabu, 4 Juni 2008

Kawasan Petamburan III cenderung tenang pasca penangkapan puluhan anggota FPI oleh Polda Metro Jaya. Sekitar pukul setengah tujuh pagi, puluhan polisi bertameng berbaris menuju markas FPI. Tidak lama puluhan anggota dimasukkan ke mobil tahanan. Ketua FPI Habib Riziek mendampingi anggota yang ditangkap dan ikut ke Polda Metro Jaya dengan pengawalan ketat polisi.

Usai kejadian itu, warga mulai membersihkan area di depan rumah masing-masing. Sisa-sisa sampah yang dibuang wartawan atau anggota FPI yang berjaga-jaga malam sebelumnya dikumpulkan dan dibuang ke tempat sampah. Seorang laki-laki paruh baya berperawakan Arab menyapu bagian depan rumahnya sendiri. Sementara ibu-ibu rumah tangga melakukan kegiatannya seperti biasa. Sebagian dari mereka berperawakan Arab atau India. Ada yang menyempatkan diri berbincang dengan wartawan untuk menyampaikan aspirasi mereka dan dukungannya atas FPI.

Di ujung jalan Petamburan III, seorang pedagang koran menawarkan dagangannya kepada warga sekitar. Ia memberikan komentarnya atas berita utama koran-koran yang beredar hari itu. Warga pun mengerumuni si pedagang koran dan sesekali membolak-balik beberapa halaman depan koran, sebelum membelinya. Diskusi tentang apa yang baru saja terjadi pun hangat berlangsung dalam lingkaran warga.

Namun, sebagian besar menyatakan dukungannya atas FPI. Mereka menyatakan betapa tidak adilnya penangkapan dan bahwa FPI tidak pernah merugikan mereka.

FPI dikenal keras dengan perlawanannya atas apa yang mereka anggap nahi mungkar. Kepala Bidang Pertahanan, Tubagus Sidik, sehari sebelumnya menceritakan betapa kuat perlawanannya atas tempat perjudian, jaman kepemimpinan Kapolri Da’i Bachtiar. Karena saat itu, tempat perjudian marak dan menurut pandangan mereka, dibiarkan begitu saja oleh polisi. Tubagus Sidik menceritakan aksi serangannya waktu itu dengan bangga.

Baru-baru ini FPI pun keras saat menyatakan sikapnya soal keberadaan Jemaah Ahmadiyah. Mereka menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Namun, sikapnya itu justru berakibat sebaliknya. Kerusuhan di Monas, malah mengancam dibubarkannya FPI. Sementara Jemaah Ahmadiyah belum pasti pembubarannya karena menunggu dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Pemerintah.

Aksi pemukulan terhadap pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, begitu membuat geram masyarakat dan mendorong sebagian Ormas Islam lainnya menghujat FPI. Diantaranya GP Anshor dan Nadhatul Ulama. Tapi masyarakat sekitar markas FPI, tak gentar menghadapi itu semua.

Tidak banyak yang tahu, tidak jauh dari markas FPI, ada Gereja Bethel Indonesia berdiri megah. Selain itu, berseberangan dengan gereja itu, sebuah sekolah Bethel juga berdiri. Sekolah tiga lantai itu, merupakan gabungan TK, SD, SLTP, SMU dan SMK Bethel. Jaraknya pun dari markas FPI tidak sampai 100 meter. Seolah itu bisa ditemui, jika menyusuri gang masuk markas FPI. Gereja maupun sekolah itu ada di ujung gang itu.

Lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, apa yang membuat anggota FPI begitu beringas? Mereka mengaku marah, karena diprovokasi kelompok AKKBB. Mereka diteriaki Laskar Setan dan Laskar Kafir. Mengapa sebuah organisasi massa Islam di Negara dengan mayoritas warga beragama Islam begitu terpojok dan mudah tersulut sehingga beraksi brutal ketika diprovokasi seperti itu – layaknya kaum minoritas di luar negeri misalnya (karena minoritas di Indonesia cenderung nerimo...hehehe)? Mengapa sebuah organisasi yang toleran dan hidup berdampingan dengan Gereja serta sekolah Bethel, terlihat begitu eksklusif?

Semoga bermanfaat.

Bhayu Sugarda