Showing posts with label Produksi. Show all posts
Showing posts with label Produksi. Show all posts

Monday, July 14, 2008

Editing In-Camera (1)

Temans,

Berikut penjelasan tentang "edit by camera". Istilah itu banyak variasinya, seperti "edit with camera" (suatu hari saya nonton Discovery Channel tentang sejarah perfilman Hong Kong. Dalam narasinya mereka bilang: untuk menekan biaya produksi mereka harus melakukan "edit with camera") atau "editing in camera". Khusus untuk variasi istilah yang terakhir, saya dapet dari internet pada situs videomaker: http://www.videomaker.com/article/7581/

Berikut cuplikan artikelnya:

Getting Started: Shooting to Edit vs. Editing In-Camera

by Arthur Aiello
May 2000

In the Camera
While the differences between editing in-camera and shooting to edit are many, the main difference between the two is a matter of sequence. When you shoot to edit, you can shoot your scenes out of order, since you're going to re-arrange them in post production anyway. When you edit in the camera, however, you need to shoot all of the scenes in order. Because in-camera editing requires that scenes be shot in the order, you might have to do some leg work to produce a scene that requires more than one location.

In addition, you'll need to get each shot right the first time. There's no "fix it later" flexibility here. As any extreme sports enthusiast will tell you, flying by the seat of your pants requires skill and planning before you take the leap. Editing in the camera requires a great deal of planning before you roll the tape.

Contoh:

gerakan yang diambil adalah sebagai berikut:

- obyek orang in masuk dapur melalui pintu
- obyek orang membuka lemari es
- obyek orang mengambil makanan
- obyek orang meletakkannya di piring
- obyek orang duduk di meja makan
- obyek orang makan

Sesuai dengan PJTV, mengambil sequence dari gerakan itu adalah melalui 3 kali pengambilan gambar.

1. Master Shot (Longshot biasanya)
2. Medium Shot
3. Detail (Close up/ Big Close up)

Pada saat mengambil Master Shot, gerakan itu diambil apa adanya. Gambar itu akan digunakan sebagai dasar dari editing. Setelah itu, obyek orang harus mengulang gerakan itu dan kamera person bisa mengambil gambar dengan komposisi berbeda (Medium Shot misalnya). Terakhir, obyek orang untuk ketiga kalinya harus mengulang gerakan itu, agar kamera person bisa mengambil gambar detail atau CU/ BCU. Inilah yang disebut "Shooting to Edit".

Hasil pengambilan gambar itu kemudian akan dengan mudah di-edit karena semua kelengkapan gambar yang dibutuhkan editor telah dimiliki. Nah "Editing In Camera" adalah mengambil gambar sesuai dengan urutan kebutuhan editing dan hanya dilakukan satu kali (atau "One Take").

Jadi misalnya urutan gambar editing adalah sebagai berikut:

- obyek orang in masuk dapur melalui pintu (LS) (kamera person mengambil LS obyek buka pintu dan berjalan menuju kulkas - setibanya di kulkas kamera person menghentikan rekaman - CUT.)
- obyek orang membuka lemari es (CU)(kamera person mengubah komposisi dan mulai merekam gambar lagi si orang membuka lemari es - saat pintu lemari es terbuka kamera person menghentikan rekaman - CUT.)
- obyek orang mengambil makanan (MS) (kamera person kembali mengubah komposisi dan lanjut merekam gambar si obyek IN FRAME mengambil makanan dari lemari es - saat makanan sudah diambil dan si orang OUT OF FRAME kamera person menghentikan rekaman - CUT.)
- obyek orang meletakkannya di piring (MCU) (dan seterusnya...)
- obyek orang duduk di meja makan (MS)(dan seterusnya...)
- obyek orang makan (BCU)(dan seterusnya...)

Semua pengambilan gambar dilakukan dengan sekali rekam atau "ONE TAKE".

Seperti yang terlihat, jelas "Shooting to Edit" hanya bisa dilakukan pada aktor atau orang yang sudah sangat kooperatif dengan kamera person. Karena hanya orang yang sudah sangat kooperatif dengan kamera person bersedia untuk melakukan 3 kali gerakan yang sama.

Sehingga, liputan harian suatu peristiwa - obyek seringkali belum atau tidak se-kooperatif itu. Misalnya liputan sidang, pemeriksaan KPK, demo, olahraga dan sebagainya. Sehingga untuk liputan berita harian - "Editing In Camera" adalah suatu keharusan. Artinya "Editing In Camera" adalah seni mendapatkan gambar sesuai urutan yang diperlukan editor - hanya dengan sekali rekam atau "ONE TAKE".
Apakah gambar lalu tidak perlu di-edit lagi? Tidak. Gambar hasil "Editing In Camera" tetap harus di-edit lagi agar sempurna saat muncul di layar. Kamera person khan manusia juga. Hehehe. Keuntungan terbesar dari "Editing In-Camera" adalah waktu pengerjaan post production yang lebih efisien, jika dibanding tidak melakukannya. Tapi mengingat liputan berita atau "News coverage" adalah proses rekaman gambar saat peristiwa yang tidak bisa diulang terjadi, "Editing In Camera" menjadi sebuah keharusan. Bukan hanya mempermudah proses post production, tapi juga mempercepat proses post production. Bayangkan editor tidak lagi perlu mencari-cari gambar yang dia perlukan, karena apa yang dia butuhkan sudah sesuai urutannya. Sehingga liputan last minute, menjadi sangat mungkin untuk ditayangkan tepat waktu. Lalu apa yang salah jika kamera person telah melakukan editing in camera dan tetap pulang dengan visual berlebihan, sehingga perlu waktu lama hanya untuk membuat rough cut-nya?
(bersambung ke Editing In-Camera (2))

Editing In-Camera (2)

Kemungkinannya adalah sebagai berikut:

A> Sequence yang sudah diambil kamera person menjadi tidak penting ketika ada peristiwa selanjutnya yang jauh lebih menarik dan kamera person terpaksa mengambil sequence baru. Bayangkan jika kejadian itu terjadi beberapa kali misalnya, akhirnya bahan mentah yang dimiliki kamera person menjadi berlebihan.

Contoh:

(Block Sequence I)

- obyek orang in masuk dapur melalui pintu (LS)
- obyek orang membuka lemari es (CU)
- obyek orang mengambil makanan (MS)
- obyek orang meletakkannya di piring (MCU)
- obyek orang duduk di meja makan (MS)
- obyek orang makan (BCU)


(Block Sequence II)

- obyek orang berdiri dari kursi dan beranjak dari meja makan (MS)
- obyek orang berjalan menuju ruang TV (CU)
- setibanya di ruang TV, obyek orang bertemu dengan istri dan dua anaknya (LS)
- perbincangan mesra antara obyek orang dengan istrinya terjadi (2 SHOT)
- si obyek orang dikerubungi ketiga anaknya yang ingin mengajak bermain (MCU)
- obyek orang akhirya mengajak ketiga anaknya bermain di halaman (MS)

(Block Sequence III)

- obyek orang bermain lempar-lemparan bola dengan anak2nya (LS)
- salah satu anaknya tak mampu menangkap bola dan kepalanya terbentur bola (MCU)
- si anak menangis keras dan menyalahkan kakaknya (CHANGE FOCUS)
- kakaknya marah dan mendorong adiknya (MS PAN RIGHT)
- obyek orang berusaha melerai kedua anaknya itu (THREE SHOT)
- sementara si bungsu hanya menonton sembari menggaruk kepalanya (BCU)

Dari ketiga block sequence itu, kira-kira yang lebih menarik tentunya yang ketiga karena lebih dramatis gambarnya dibanding lainnya. Untuk setiap block sequence itu, kamera person telah melakukan "Editing in Camera", namun, tidak semua block sequence terpakai jadinya. Karena editor tentunya akan mengambil gambar yang paling dramatis. Waktu yang digunakan untuk me-rough cut pun menjadi lebih lama karena ada 3 block sequence yang harus di rough cut.

Disinilah peran 'reporter'. Pada saat di lapangan, reporter perlu bekerjasama dengan kamera person, agar kamera person bisa mengambil gambar dengan efektif. Bekerjasama dalam arti, tau gambar apa yang akan digunakan dalam story-nya dan yang tidak, sehingga kamera person bekerja lebih efektif alias tidak mengambil gambar yang tidak perlu. Dalam contoh di atas tadi jelas yang tidak perlu diambil kamera person adalah block sequence ambil makanan dari kulkas dan memakannya di meja makan.

Reporter juga perlu tahu apa yang "akan" terjadi dalam beberapa jam ke depan. Istilahnya "foresight". Tidak perlu jadi ahli nujum, tapi logika pun cukup untuk melakukan itu. Misalnya, liputan sidang pengadilan, saat saksi masuk ruang sidang, yang akan terjadi adalah:

- saksi masuk ruangan sidang
- melewati batas antara pengunjung sidang dan ruang di depan meja hakim
- saksi duduk di kursi saksi
- saksi berdiri untuk diambil sumpahnya
- saksi kembali duduk di kursi

jika liputan kriminal misalnya, mendengar info ada mayat, biasanya yang terjadi pada mayat itu adalah:

- warga setempat menemukan mayat
- warga melaporkan ke polisi melalyu telepon
- petugas spk (sentra pelayanan kemasyarakatan) menerima telepon dan mencatat informasinya
- petugas spk melaporkannya kepada petugas patroli
- petugas patroli meluncur ke tkp
- petugas patroli tiba di tkp dan menilai kondisinya
- petugas patroli memberitahu dinas pemakaman (jika mayat tidak dikenal)
- petugas dinas pemakaman meluncur ke tkp
- mayat dibawa petugas dinas pemakaman ke rscm
- mayat tiba di rscm dan diletakkan di tenpat tidur beroda di depan ruang otopsi sambil menunggu proses administrasi
- setelah itu mayat dibawa masuk ke ruang otopsi untuk di-visum luar saja
- mayat lalu dibawa ke ruangan pendingin untuk disimpan

Apakah Anda akan mengambil sequence keseluruhan peristiwa di atas? Tentunya tidak. Reporter-lah yang memutuskan kira-kira gambar yang mana yang lebih menarik dari peristiwa panjang itu dan pelaksanaan teknis di lapangan - alias bagaimana mendapatkan gambar yang diinginkan. Khusus untuk VJ, memang perlu waktu untuk memahami bagaimana sebuah peristiwa itu berjalan karena kita kan bisa karena biasa. Hehehe. Piss.

B> Wawancara yang panjang. Ini sangat memengaruhi lama proses rough cut. Karena perlu waktu untuk mencari soundbyte yang pas untuk paket berita yang akan dibuat. Biasakan wawancara dengan tiga pertanyaan efektif - yaitu 3 pertanyaan yang bisa memunculkan ekspresi si nara sumber. Tentunya wawancara nara sumber usai pemeriksaan KPK tidak termasuk dalam kategori itu. Hehehe, you get what you can get gitu loooh.

C> Tidak "One Take" saat mengambil gambar generik seperti 'establishing shot' dan suasana di lokasi. Kelihatannya kecil tapi kalo sering dilakukan tentunya akan berakibat pada durasi bahan mentah yang berlebihan dan memaksa kamera person untuk memilih beberapa (misalnya 5) dari sekian banyak shot (20 shot misalnya) yang sebenarnya tidak terlalu penting. Apakah itu karena komposisinya yang dirasa kurang sempurna atau ada angle yang lebih menarik, usahakan untuk membatasi eksperimentasi gambar dengan moderat - artinya bukan gak boleh retake, tapi batasi sebanyak tiga kali misalnya. Setelah itu kalo mau retake lagi, mikir 3 kali sebelum melakukannya gituh.

D> Lakukan manajemen waktu dengan baik. Ini khususnya untuk VJ. Selalu proyeksikan waktu yang diperlukan untuk me-rough cut dan menulis naskah - sebelum hasilnya bisa ditangani editor dan ditayangkan dalam program. Beri batasan waktu untuk setiap langkah tadi - karena itulah yang namanya deadline. Tentukan batasan waktu itu, dengan jam tayang program terdekat. Misalnya tulis naskah di mobil, sambil menunggu ingest gambar atau menunggu giliran menggunakan komputer berkoordinasi dengan produser tentang paket yang akan dikerjakan, usai ingest langsung mengesampingkan sejenak gambar yang tidak digunakan untuk program terdekat dan fokus pada gambar yang akan dipakai, dan seterusnya.

Huaaaam...mau bobo. Mohon masukannya dari teman-teman VJ dan kamera person.

Semoga bermanfaat.

Bhayu Sugarda

Friday, May 11, 2007

Mimpi buruk set up sequence (1)

Bagaimana memotret masalah buruh di Indonesia? Muncul usulan untuk melakukan itu dengan menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili setiap permasalahan buruh di Indonesia. Misalnya dengan mengambil tokoh seorang tki yang baru dipulangkan dari Malaysia untuk membeberkan masalah buruh migran. Atau seorang buruh yang baru di-phk tanpa pesangon dari pabrik sepatu untuk bicara soal phk tanpa pesangon.

Saya memulai dengan me-list permasalahan buruh yang terjadi baru-baru ini dari riset internet. Yang muncul dari riset ini adalah pabrik Dong Joe dan Spotec yang ditutup karena pemiliknya kabur. Tapi pabrik ini ditutup sejak Oktober tahun lalu. Aktualkah? Kasusnya sendiri telah diputuskan pengadilan April tahun ini. Bahwa karyawan Dong Joe dan Spotec resmi dipecat sehingga berhak atas pesangon. Pihak manajemen kedua pabrik itu pun sepakat untuk memenuhi sepenuhnya hak karyawan. Meskipun jauh dari berakhir, namun, harus bercerita dari mana?

Permasalahan kontrak juga muncul sebagai wacana dari riset ini. Tuntutan unjuk rasa organisasi serikat buruh menolak status kontrak terjadi saat pembicaraan revisi undang-undang ketenagakerjaan beberapa waktu lalu. Waktu itu undang-undang tersebut batal di-revisi.

TKI sebagai buruh migran adalah satu lagi masalah besar perburuhan Indonesia. Dari riset internet, kasus penganiayaan atas TKI terakhir terjadi tahun lalu. Setelah itu tidak ada pemberitaan terkait masalah ini di media. Apalagi telah dibuat nota kesepahaman antara Malaysia dan Indonesia september tahun lalu.

Belum lagi PHK buruh yang berkedok pensiun dini. Ini terjadi terhadap perusahaan nasional seperti PT Telkom dan PT Bank Permata tahun ini. Sedangkan PHK massal telah terjadi jauh sebelumnya, seperti Bank Danamon dan Bank Permata.

Pertanyaan: Bagaimana merangkum ini semua menjadi sesuatu yang enak ditonton?

Terbayang mimpi buruk set up sequence dari setiap tokoh yang kalo diambil satu tokoh dari setiap permasalahan yang terdaftar sejauh ini, ada empat. Mimpi buruk apa? Yaitu set up sequence yang itu-itu saja. Keluar rumah pergi ke pasar, pulang ke rumah mengurus anak, pergi berangkat bekerja dan lain-lain.

Selain itu, bagaimana membuat tayangan ini menjadi aktual? Semua peristiwa telah terjadi. Satu yang paling bisa diandalkan adalah unjuk rasa besar-besaran 1 Mei.

Saya sangat percaya dengan peran Tangan-Tangan Tuhan dalam peliputan yang menyangkut nasib orang banyak. Saya pun memulai dengan apa yang saya punya. Nomer telepon organisasi buruh yang kemungkinan akan berunjuk rasa saya coba satu per satu. Ternyata tidak ada yang bisa dihubungi. Bahkan serikat pekerja PTDI pun tidak dapat dihubungi. Dari sebuah blog milik seorang aktivis buruh bernama Irwansyah, saya mendapatkan nomer telepon miliknya. Saya hubungi, ternyata saat dihubungi, ia sedang menjalani rapat persiapan aksi buruh 1 Mei. Organisasi yang dipimpinnya ternyata berafiliasi ke Aliansi Buruh Menggugat - organisasi buruh yang akan menggelar aksi besar-besaran 1 Mei melibatkan berbagai unsur serikat buruh, mulai dari serikat pekerja transportasi hingga buruh pabrik. Otto hari Jum'at saya minta untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya soal aksi besar-besaran itu dari Aliansi Buruh Menggugat. Otto pulang dengan peta lokasi berikut nomer telepon perwakilan buruh dari Jabodetabek. (serius... nama berikut nomer telepon dari Jakarta Barat, Timur, Pusat, Selatan sampai Tangerang dan Bekasi).

Perlahan-lahan jalan mulai terbuka. Kini giliran buruh migran. Saya menghubungi Wahyu Susilo dari Migrant Care. Dia pun mengatakan, ada rencana kepulangan jenazah tki dalam waktu dekat. Cukup menjanjikan. Terbayang rangkaian gambar kepulangan jenzah dimulai dengan gambar pesawat yang tiba di landasan pacu - kalo bisa...hehehe. (Selain aktual tayangan tidak se-monoton perkiraan sebelumnya.)

Tapi harus mulai dari mana? Kasus Dong Joe sebagai salah satu kasus terbesar PHK buruh dengan jumlah 6833 karyawan? Terbayang betapa boring-nya gambar di awal segmen 1 dengan rangkaian gambar pabrik yang tutup. Saya cek ke SPSI dan SPSI Tangerang, ternyata mereka menolak ikut unjuk rasa. Menarik pergulatan antara buruh yang berunjuk rasa dan tidak. Saya simpan kemungkinan mengangkat soal ini sampai diperlukan. Tapi masalah gambar belum terpecahkan.

Hari Sabtu saya minta Oki untuk meliput persiapan perwakilan buruh Tangerang di bawah Aliansi Buruh Menggugat menjelang 1 Mei. Sampainya di sana, ternyata sejumlah karyawan pabrik Koryo ada di sekretariat mereka untuk meminta bimbingan soal dirumahkannya karyawan. Oki meliput kegiatan ini. Bisa dibayangkan gambarnya adalah pertemuan dengan orang-orang duduk di lantai. Keesokan harinya saya minta Oki kembali meliput pertemuan antar karyawan PT Koryo, dan meliput kegiatan ketua karyawan PT Koryo di rumahnya. Set up sequence-nya adalah kegiatan tokoh yang kita pilih di rumahnya. Tapi ada secercah harapan, Senin mereka berniat berunjuk rasa di depan pabrik... sehari sebelum 1 Mei.

Sementara TKI yang akan dipulangkan tidak ada kepastian. Sejumlah berita yang muncul minggu itu adalah TKI yang kabur dari penampungan. Kekhawatiran yang muncul akan terlalu fokus kepada satu kasus yang angle-nya mungkin akan melebar dari permasalahan buruh migran - seperti ijin penampungan tki atau pjtki. Memang itu menjadi bagian dari permasalahan - tapi bukankah masalah terbesar dari tki adalah perlindungan mereka di luar negeri?

Tanpa sengaja saya diberitahu oleh korlap Aliansi Buruh Menggugat... tepatnya dikecam karena hanya menghubungi Migrant Care yang merupakan LSM buruh migran dan bukan Serikat Buruh Migran. Saya pun diberi telepon orang serikat buruh migran. Saya hubungi ternyata masalah tki tanpa dokumen masih terjadi pasca nota kesepahaman Malaysia dan Indonesia. Rencana kepulangan berikutnya masih menunggu kepastian hari selasa - tanggal 1 Mei. Waduh...kalo kepulangannya hari Sabtu tamatlah riwayat.

Kepada Migrant Care saya tanya kasus tki yang meninggal di luar negeri terakhir kapan? Jawabannya April. Mereka pun berencana menggelar unjuk rasa hari Minggu. Keluarga korban akan turut hadir. Kalaupun saya tidak mendapatkan gambar kepulangan jenazah, saya bisa menggunakan liputan unjuk rasa itu untuk bercerita tentang permasalahannya. (to be continued)

Mimpi buruk set up sequence (2)

Unjuk rasa-unjuk rasa dan unjuk rasa... tayangan apa ini?

Saya coba cari jalan lain. Kasus PHK besar yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya menimpa PTDI. Lalu saya pun menghubungi pihak serikat pekerja PTDI. Pak Sidharta sangat antusias membantu. Bahkan dia mengusulkan untuk meliput sarjana nuklir jualan es krim. Wah ini boleh juga nih buat segmen 3. Tidak lama saya terima sms dari Edwin, "Lihat Kompas, ada data lengkap soal buruh.". Saya lihat dan di dalam rubrik teropong terpampang artikel "Sarjana Nuklir Jualan Es Krim.". Hahaha, keduluan dah.

Selain itu saya juga mengunjungi mailing list eks karyawan PTDI. Saya posting permintaan footage kegiatan eks karyawan PTDI yang saat ini bekerja di luar negeri. Berikut posting saya:

Kepada Yth,
Eks Karyawan PTDI

Saya Bhayu Sugarda, Produser Astro Awani, saluran berita Indonesia
di televisi satelit berlanggananan Astro. Kami sedang membuat
laporan tentang permasalahan buruh di Indonesia, menjelang hari
buruh 1 Mei mendatang.

Salah satu peristiwa pemutusan hubungan kerja yang mengakibatkan
ribuan orang kehilangan pekerjaan di Indonesia adalah kasus PTDI -
IPTN. Kami berniat membuat laporan mengenai nasib eks karyawan PTDI
saat ini. Sebagian besar kini bekerja di luar negeri sesuai dengan
kompetensi masing-masing. Sementara lainnya berusaha untuk tetap
hidup dengan membuka usaha atau lainnya.

Kami mengharapkan kesediaan anggota milis ini, untuk berbagi cerita
dan pengalaman mereka sampai akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan di
luar negeri. Kami juga berharap bisa mendapatkan video footage, bagi
yang memiliki handycam digital, tentang kehidupan mereka di luar
negeri sekaligus menjawab pertanyaan yang kami kirimkan melalui
email.

Untuk keterangan lebih lanjut, bisa menghubungi saya di email:
bhayu_sugarda@... atau hp: 0815 138 41162. Jika ada
pertanyaan yang bersifat lebih umum, akan saya jawab melalui mailing
list ini.

Atas perhatiannya, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Bhayu Sugarda
Produser Astro Awani

Jawaban konkrit baru muncul tanggal 8 mei 2007 dari anggota milis ini. Berikut jawabannya:

Pasca GEBYAR PHK!!!

Saya merasa bersyukur ternyata masih ada perhatian
dari kalangan umum ttg nasib Eks-PTDI.
Kalau boleh usul justru yg sangat perlu dipublikasikan
adalah kawan2 kita yang sampe sekarang belum dapat
kerjaan tetap, mungkin masih ribuan yang nasibnya
terkatung2 karena "GEBYAR PHK" di PT Dirgantara
Indonesia. Karena apapun alasannya tanpa perencanaan
dan pertimbangan yang sangat matang PHK selalu
merugikan karyawan yang notabene sedikit sekali dari
kalangan kita yang punya jiwa enterpreneur.Saya jadi
ingat ketika kita dikumpulin di GPM lt 6. disitu
dipresentasikan kalo setelah "GEBYAR PHK" kita akan
disalurkan di perusahaan2
(minyak,PLN,Semen,tekstil,Airliner2... maaf saya lupa
mungkin sangking banyaknya yg disebutwaktu itu).
INTINYA dari tulisan saya ini sekarang yang Eks-PTDI
yang kebetulan sekarang bekerja di luar negeri kita
anggap sebagai nasib/keberuntungan yang telah memihak.
saya pribadi khawatir kalo yg kerja diluar negeri itu
dianggap kesuksesan lalu diekspose mungkin bisa jadi
akan dijadikan "CONTOH YANG KURANG BAIK" bagi
perusahaan2 di Indonesia untuk mengadakan "GEBYAR PHK"
di tempatnya masing2.dengan alasan toh orang PTDI
setelah PHK banyak yg sukses???
saya kira mungkin tidak lebih dari 5% yang sekarang
kerja di LN,Please 95% itulah yang harus di
publikasikan.

Terimakasih.

Suismadi
Yang lagi ngadu nasib di BOEING.

Ouch...Yuk mari kita telaah lagi...hehehehe. Kesimpul;annya semua perlu kesabaran dan ketekunan untuk mendapatkan apa yang kita harapkan. Tapi Amrul dapet wawancara dengan keluarga eks karyawan PTDI yang lagi tugas ke luar negeri PLUS petani jamur - beda dengan sarjana nuklir dan lebih berbobot kalo menurutku sih, hehehe.

Tapi kemudian Pak Iwan (Editor) mengusulkan liputan soal seorang peneliti yang diabaikan pemerintah kesejahteraannya. Saya terima ide ini untuk segmen 3 murni karena alasan keragaman gambar dan setting. Saya minta tim liputan mengambil gambar saat dia melakukan penelitian di laboratorium. Tapi kemudian saya membaca artikel tentang bagaimana manusia Indonesia diperlakukan seperti alat produksi dan bukan aset. Ini saya jadikan benang merah di segmen 3.

Sementara masalah status kontrak yang sangat merugikan buruh diwakili cerita karyawan PT Koryo. PHK tanpa pesangon diwakili dengan cerita buruh pabrik Dong Joe dan Spotec. Benang merah di segmen 1 adalah kondisi perburuhan Indonesia yang masih memiliki banyak masalah (menempatkan permasalahan pada situasi saat ini).

Sedangkan Segmen 2, saya menggunakan benang merah, kesadaran buruh. Ini saya sampaikan melalui cerita mantan karyawan Bank Pemerintah yang di-PHK, supir angkot yang bukan buruh tapi merasa buruh juga karena merasa tertindas juga DAN buruh migran berikut permasalahannya.

Semua berjalan sesuai rencana saat hari-H (1 Mei) hanya sedikit miskomunikasi dengan Otto. Belakangan baru kita mendapatkan footage kedatangan jenazah tki dari migrant care berikut foto-fotonya. Gambar bagus saat kedatangan tki sangat membantu menghidupkan tayangan.

Solusi: Mimpi buruk kumpulan set up sequence monoton bisa dihindari berkat keragaman "setting". Artinya tidak hanya di rumah. Keragaman setting ini meliputi tempat penampungan tki - pabrik yang ditinggalkan - laboratorium bioteknologi - pembibitan jamur - terminal angkot (persiapan rombongan supit angkot ikut unjuk rasa).

Wednesday, April 25, 2007

Idea of interview


Ini sebenarnya lebih ke curhat dibanding analisa, berdasarkan sejumlah artikel, perbincangan maupun masukan dari negeri paman sam yang pernah aku dengar dari berbagai sumber.

Ada semacam keengganan untuk meng-ilmu-kan 'broadcast journalism' dengan alasan khusus untuk binatang satu ini, 'skill' dianggap lebih penting dibanding teori. Pengajar di PJTV - Pendidikan Juralistik Televisi, Horea Salajan, saat saya tanya apakah ada buku yang bisa dia recommend untuk mempelajari bagaimana memproduksi program berita - dari konsep,
show maupun penyusunan rundown - Horea hanya mengatakan seperti ini: "Ibaratnya kamu sudah bisa bermain sebuah instrumen musik. Apa pun itu, gitar misalnya. Untuk menulis lagu, kamu hanya perlu menggunakan kreatifitas kamu. Tidak ada buku yang bisa mengajarkan kamu membuat lagu, kan?."

Bahkan dia mengusulkan untuk membaca buku-buku novel klasik dari abad 18. Karena menurut Horea, dengan membaca novel-novel klasik itu, kita akan bisa lebih mendalami interaksi antar manusia dan nilai-nilai yang penting bagi manusia.

Selain itu, sejumlah universitas di jakarta, menawarkan program d-3 - untuk broadcast journalism. Sedangkan S-1 Jurnalistik, mata kuliahnya lebih menekankan pada jurnalisme cetak.

Tapi kemudian, setelah memperhatikan komponen yang ada di produksi pemberitaan televisi, keengganan itu mungkin ada benarnya. Karena 'broadcast journalism' adalah semacam hybrid sejumlah ilmu yang sudah ada. Dari sinematografi, jurnalistik, teknik hingga manajemen.
Gabungan antara seni dan teknik.

Berdasarkan pemikiran ini, muncul semacam pandangan yang menarik dalam diri saya - soal live interview, atau biasa disebut dialog.

Ada unsur drama yang berusaha ditawarkan program dialog. Namun, tidak hanya itu. Dialog informatif - memberikan penjelasan kepada sesuatu yang dianggap rumit DAN dialog yang sifatnya 'revealing' atau mengungkap sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

Coba perhatikan panggung dialog dari layar televisi. Panggung ini terdiri dari dua pemain minimal. Seorang pembawa acara atau mediator, dalam hal ini 'anchor' dan si nara sumber. Ada suatu permasalahan atau 'konflik' yang ditawarkan dalam panggung dialog ini, sehingga patut dan diangap penting untuk dibicarakan. Konflik inilah yang kemudian menjadi pusat perhatian kedua 'tokoh' atau karakter di atas panggung ini. Seperti layaknya pertunjukan teater, pertunjukan - atau show - dari dialog ini menimbulkan reaksi emosional pemirsa. Apakah membuat pemirsa
tertawa, geli, tegang, sedih, terharu, berfikir atau mendapatkan pencerahan.

Dalam artikel tentang 'live interview' kiriman mailist PJTV juga yang dikutip dari sebuah publikasi di negeri paman Sam, disebutkan bahwa live interview kini semakin sulit, karena nara sumber kini lebih 'media savvy' dengan kuasa hukum nara sumber memastikan konten dialog tidak
akan merugikan kliennya. Selain tentunya, keterbatasan durasi, yang tidak memungkinkan 'anchor' untuk memperdalam materi permasalahan dan efektif dalam menimbulkan reaksi pemirsa. Dalam artikel itu juga disebutkan karena inilah, show seperti oprah winfrey atau jay leno lebih efektif dan diminati pemirsa. Dimana perbincangan lebih fokus pada siapa dibalik nara sumber ini. Cerita seperti masa kecilnya dulu, perjuangannya sebelum menjadi seorang figur publik, atau cerita dibalik karya terbaru si nara sumber.

Bagi saya sendiri, dialog dalam acara seperti oprah winfrey, jay leno, david letterman, parkinson atau larry king - merupakan kesempatan untuk melihat sisi lain dari tokoh atau bintang yang saya kagumi, sekaligus memberikan inspirasi atau harapan dalam hidup saya. Apakah untuk menjadi sukses, atau untuk menjadi seorang yang lebih baik.

Namun, di panggung dialog ini, nara sumber bukanlah satu-satunya tokoh yang bisa menonjol. 'Anchor' adalah satu lagi tokoh yang berbagi panggung dialog dengan nara sumber.

Komentar menarik dari seorang korlip di kantor saya, saat itu ia menyaksikan dialog larry king dan shania twain. Ia pribadi tidak merasa 'dekat' dengan shania twain. Saya tahu dia bukan salah satu
penggemar shania twain. Tapi dialog itu tetap menarik buat dirinya karena ia memperhatikan larry king. Sempat terucap dari mulutnya, betapa enaknya menyaksikan larry king mewawancarai nara sumbernya.

Intinya, saya melihat adanya benang merah antara 'show dialog' dengan 'panggung teater'. Ada konflik, ada dua tokoh sentral, ada plot cerita - dalam hal ini 'alur dialog'.

Kekuatan dialog bisa berasal dari karakter kedua tokoh sentral ini. Perhatikan dialog Putra Nababan dengan Hendropriyono di Seputar Indonesia. Hendropriyono dengan arogan dan gamblang menantang TPF. Jack Nicholson dalam 'Few Good Men'? (Genre Thriller) Atau dialog Rosiana Silalahi dengan pemulung yang harus membawa mayat anaknya sendiri ke bogor untuk dimakamkan karena tidak punya uang untuk menyewa mobil jenazah. Saat Rosi bertanya: "Apa yang Bapak katakan kepada polisi setelah berada di kantor polisi selama empat jam?" - si
pemulung pun tak kuasa menahan tangis. (Genre Drama)

Permasalahannya kini adalah pertanyaan seperti apa yang bisa menimbulkan 'reaksi' - sekali lagi 'reaksi' - dari nara sumber seperti yang kita inginkan. Kemampuan memanipulasi emosi nara sumber menjadi penting. Dalam peliputan pun kita seringkali melakukan hal yang sama, karena seperti yang diajarkan PJTV - ekspresi-lah yang dicari dalam wawancara.

Namun, fokus dialog bisa beralih ke si 'anchor'. Bayangkan melihat si anchor menanyakan pertanyaan gamblang yang ada di kepala kebanyakan orang atau pemirsa di rumah. Atau gayanya? Kepercayaan dirinya? Atau empatinya? Bayangkan melihat dialog dimana si anchor menepuk pelan tangan nara sumber yang baru saja menitikkan air mata saat menceritakan
penderitaannya. Bukankah mendengar cerita nara sumber, kebanyakan orang akan tergelitik menepuk pelan tangannya atau menepuk bahunya?

Dialog antara SBY dan Salim Said misalnya. Pertanyaan yang diajukan Salim Said begitu gamblang dan berada di kepala kebanyakan orang. Akibatnya, jawaban SBY pun menjadi gamblang. Ada bagian dimana SBY tersenyum geli sendiri saat Salim Said menanyakan insiden dimana protokol Amerika Serikat menyebut dirinya Susilo Bambang Yoko-ono. Bagi saya, sangat menarik melihat Salim Said dalam dialog itu.

Contoh lainnya mungkin adalah program 'Hard Talk' di BBC. Dalam hal ini saya melihat adanya upaya anchor untuk mewakili pemirsa yang selama ini sinis terhadap sejumlah permasalahan yang ada. Si anchor berusaha keras membuang 'akses lemak' atau 'tai kucing' yang biasanya 'menggemuk' saat dialog berlangsung - apakah itu untuk menjaga perasaan nara sumber atau
karena permasalahannya dianggap sensitif. Saya pun asik melihat si anchor menanyakan pertanyaan sinis yang ada di kepala saya.


Saya melihat ini adalah inti dari panggung dialog. Sisanya adalah 'gimmick'. Misalnya paket berita di awal dialog. Mudah2-an curhat saya ini berguna buat kita semua.

Bhayu Sugarda

Dari Dateline ke surat Produser

Saya Senin pagi tadinya mau riset soal Dateline yang katanya mendapat tekanan dari pemerintah Australia soal liputannya ke Timor Leste. Saya mau protes ke Dateline lewat email soal ini. Karena tidak ada sama sekali pemberitaan soal tekanan Pemerintah ke Dateline. Bahkan Dateline sendiri tidak memberitahu pemirsanya soal ini lewat websitenya. Tapi kan saya perlu riset dulu. Lalu tanpa sengaja saya menemukan sesuatu yang menarik.

Saat saya membuat telaah ‘Tawuran’, saya sempat menanyakan ke Mas Rizal, soal kemungkinan membuat iklan di media massa (koran/majalah) memberitahu bahwa Astro Awani sedang berupaya membuat laporan tentang tawuran dan sedang mencari keluarga korban meninggal akibat tawuran yang kebetulan punya footage (video) saat masih hidup, seperti ulang tahun, lulusan, dll. Ide ini muncul karena ‘impact’ ke pemirsa akan lebih besar kalau bisa mendapatkan footage video semasa hidup – dibanding hanya foto. Saya jujur cukup terkejut, karena kalau berdasarkan riset internet, kebanyakan korban tewas akibat tawuran adalah siswa STM atau SMK. Selain itu data korban tewas akibat tawuran dari sekolah elit misalnya tidak ada. Ada satu yang tinggalnya di Kemang Timur, ternyata orang tuanya tukang mie ayam. Bahkan muncul kecurigaan di diri saya, jangan-jangan ada sesuatu yang lebih besar di balik ini…bahwa anak-anak STM ini hanya menjadi sasaran hobi tawuran anak-anak sekolah elite yang lebih mampu beli senjata (pistol/tajam). Tapi yang jelas, tidak ada satu pun korban tewas dari kalangan berada.

Anyway, kembali ke soal iklan pemberitahuan liputan tertentu di media massa. Saat saya tanya Mas Rizal etis tidak, beliau menjawab, “kalau soal etis atau tidak…etis-etis saja. Tapi yang jelas tidak biasa.”. Setelah itu, saya sedikit ragu sehingga saya meninggalkan ide itu. Selain pertiimbangan waktu, karena tentunya untuk mendapatkan jawaban dari pembaca koran atau majalah perlu waktu. Belum masalah menyortir-nya.

Nah, saya browsing di internet, ketahuan ternyata ide ini sudah dilakukan orang lain. Berikut surat yang di-post di sebuah website kesehatan
http://www.medscape.com.

Letter
From Karen Heywood, Producer, Dateline NBC
October 11, 1999

from
Medscape General Medicine [TM]

National newsmagazine DATELINE NBC is looking for participants for a possible report about Internet medical health information. We hope Medscape.com users might be able to help.
DATELINE is looking for stories from people who have used the Internet to find such information or order products. Were you satisfied? Do you feel you were led astray?
Those interested may e-mail Karen Heywood (
karen.heywood@nbc.com) or call 202-885-4484 for more information or to tell us their stories. All information will be kept confidential unless the participant agrees that NBC may use it.
Thank you.


Karen HeywoodProducerDateline NBCWashington, DC
karen.heywood@nbc.com

Setelah saya baca ini, saya ingat cerita Dio tentang pengakuan Dady (penulis ‘Menelusuri Lorong Gelap’ – buku jurnalitik investigasi) yang cerita sulitnya dia mencari korban perkosaan akibat kerusuhan 98. Seakan-akan tidak ada gadis keturunan yang menjadi korban perkosaan. Akhirnya apa yang dia lakukan adalah mem-post email di sebuah mailing list dan mengatakan bahwa dia tidak percaya ada gadis keturunan yang menjadi korban perkosaan. Ternyata ini memancing amarah sejumlah anggota milis. Mereka mengatakan bahwa kejadian itu benar terjadi. Dady pun menjawan mana buktinya? Dari situlah akhirnya dia mendapatkan informasi lengkap soal korban perkosaan tahun 98.


Solusi: Kalau mencari nara sumber, bergabung dengan mailist/ mem-post email ke website tertentu/ atau memasang iklan di media massa…bisa jadi cara efektif mencari sesuatu yang tersembunyi selama ini… yang mungkin bisa memberi inspirasi atau menggerakkan emosi pemirsa. Cara paling sederhana (dan ada di bukunya Bill Kovach…hehehe) adalah nongkrong di warung, tempat nongkrong atau kafe dan…. ‘listen’.

Cheers,

Bhayu Sugarda