Thursday, January 24, 2013

HARTA KARUN TERPENDAM TELEVISI TERRESTRIAL



Televisi terrestrial alias televisi gratisan memiliki karakteristik unik terkait dengan konten yang ditayangkannya. Secara umum karakteristik utamanya adalah konten hanya tayang sekali. Haram hukumnya, jika sebuah konten ditayangkan ditayangkan berulangkali selama sepekan. Kecuali tentunya siaran ulang pertandingan sepak bola. Kalau pun ada konten yang ditayangkan ulang, konten itu ditayangkan secara berurutan tanpa pengulangan langsung dari setiap episodenya. Misalnya sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan' yang sudah ditayangkan beberapa kali di RCTI. Setiap kali diputar ulang, tiap episodenya ditayangkan sesuai urutannya. Tapi setiap episodenya ditayangkan hanya sekali. Tentunya ini berbeda dengan penayangan konten pada televisi berbayar karena justru setiap episode konten sengaja ditayangkan berulangkali dalam seminggu karena asumsinya tak semua pelanggan bisa menyaksikan pada tayangan perdana.


Pada akhirnya, tayangan televisi terrestrial secara prinsip dibuat hanya untuk sekali tayang. Padahal konten yang baik adalah konten yang bisa terus menghasilkan uang secara terus menerus. Pemahaman bisnis konten sudah sepatutnya bergeser dari sekali pakai (televisi terrestrial) menjadi sesuatu yang lebih bertahan lama. Karena keberadaan berbagai platform media memungkinkan bagi satu konten untuk ditayangkan kembali pada platform yang berbeda. Platform pada dasarnya adalah media tayang sebuah produk audio-visual. Sejumlah platform antara lain adalah televisi berbayar dan 'mobile tv' atau televisi pada perangkat bergerak seperti smartphone. Misalnya apa yang sudah ditayangkan di televisi terrestrial kemudian ditayangkan kembali di televisi berbayar. Belum lagi penayangan pada platform 'mobile tv'.

Penayangan 'cross platform' tentunya bisa memicu 'revenue stream' baru. Di Indonesia televisi berbayar saat ini cukup marak. Bahkan televisi berbayar terus bermunculan, salah satunya yang terbilang baru adalah Nexmedia. Sehingga televisi berbayar merupakan lahan tayang yang cukup menjanjikan bagi konten televisi terrestrial.

Skema pendapatannya secara umum adalah pembelian hak siar dalam bentuk lisensi. Biasanya lisensi ini memiliki sejumlah keterbatasan dalam hal antara lain:
  • periode berlakunya hak siar
  • wilayah dimana produk akan disiarkan
  • pada platform apa saja produk akan disiarkan
Periode berlakunya hak siar tergantung pada apakah produk akan disiarkan langsung atau tidak. Tentunya produk siaran langsung, seperti pertandingan sepak bola, periode tayangnya adalah sama dengan durasi penayangan produk. Sedangkan produk siaran yang bukan produk siaran langsung akan disesuaikan dengan masa tayang yang umum berlaku, seperti misalnya 1 tahun sampai dengan 5 tahun.

Pembatasan wilayah hak siar pada umumnya bersifat regional. Seperti misalnya regional Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam). Pembatasan wilayah tentunya dilakukan agar konten bisa dijual ke wilayah lain di luar wilayah yang tercakup dalam lisensi tertentu.

Sedangkan untuk platform, semakin banyak platform dimana konten akan ditayangkan tentunya akan semakin tinggi harga lisensinya. Tapi untuk sebuah konten bisa ditayangkan pada platform lain, khususnya televisi berbayar, konten harus bersifat 'timeless' atau tak terikat secara waktu. Misalnya program 'travelling' seperti Jejak Petualang atau bahkan program kuliner.

Dengan demikian, tumpukan tayangan sekali pakai pada televisi terrestrial yang hanya mengumpulkan debu pada 'library' audio-visual televisi bersangkutan bisa diolah kembali untuk menghasilkan uang. Pengolahan kembali konten ini bisa dilakukan dalam berbagai cara antara lain adalah:
  • re-use (menayangkan ulang)
  • re-produce (memproduksi ulang)
  • re-package (mengemas ulang)
Re-use artinya adalah menayangkan ulang baik pada platform yang sama maupun pada platform lain. Penggunaan kembali konten yang diproduksi untuk televisi terrestrial pada televisi berbayar sudah sering dilakukan. Misalnya pemutaran ulang sinetron pada channel khusus sinetron pada televisi berbayar (Astro TV pernah melakukan ini). Contoh lainnya adalah program masak memasak produksi Indonesia yang saat ini sudah tayang di Asia Food Channel.

Re-produce adalah produksi ulang konten yang sudah dibuat menjadi program lain. Praktek seperti ini masih belum banyak dilakukan. Misalnya program dokumenter berkaitan dengan hewan liar (seperti kuda Sumba) lalu diproduksi ulang menjadi program anak-anak. Artinya konten yang sudah dibuat sebelumnya lalu diambil sebagian untuk kemudian menjadi bagian dari elemen/ unsur program lainnya yang akan diproduksi. Apakah elemen/ unsur yang dipakai ulang itu berupa paket video, insert video maupun grafik animasinya.

Sejauh ini praktek re-produce banyak dilakukan redaksi pemberitaan televisi. Seperti misalnya paket video berita 2 menit lalu dijadikan elemen program lainnya. Program lainnya ini bisa berupa program feature/ magazine dengan menampilkan host pada fixed set di studio misalnya. Sehingga proses produksi dilakukan untuk mengemas kembali potongan berita yang sudah muncul sebelumnya pada program bulletin. Kumpulan berita kriminal pilihan pada program 'Sergap' harian lalu diproduksi ulang menjadi program feature/ magazine 'Sergap akhir pekan'.

Sementara re-package adalah pengemasan ulang konten tanpa adanya proses produksi tambahan. Misalnya yang pernah dilakukan program “Jejak Petualang” yang membuat semacam kompilasi dari program yang sudah pernah tayang sebelumnya menjadi program baru. Topik-topik yang disatukan dalam kategori kompilasi tertentu lalu ditayangkan sehingga menghadirkan konteks baru pada konten.

Potensi 'revenue stream' dari pengolahan kembali konten tidak hanya terbatas pada dalam negeri. Karena kebutuhan akan konten sangat tinggi di luar negeri. Pengemasan ulang dengan menambahkan 'subtitle' sangat mungkind dilakukan dan cenderung mudah untuk dilakukan. Sedangkan penyediaan 'dubbing' bahasa Inggris, selain menjadi lebih rumit juga memerlukan proses produksi tambahan sehingga jatuh pada kategori 're-produce'.

Artinya, jika sebuah perusahaan besar produsen konten seperti sebuah stasiun televisi tidak melakukan pengolahan ulang atas konten yang dibuatnya secara in-house – maka perusahaan itu sama saja dengan duduk di atas 'harta karun' terpendam. (bay)

No comments: