Thursday, January 24, 2013

INDONESIA SEBAGAI HOLLYWOOD ASIA TENGGARA





Konten apa sih yang tidak diproduksi di Indonesia? Sinetron yang merupakan kembar tapi tak serupa dari program 'Soap Opera' banyak di produksi. Film animasi baik yang dibuat untuk produk luar negeri maupun dalam negeri juga begitu. Program travelling juga banyak diproduksi. Belum lagi program kuliner. Mungkin hanya konten pornografi yang tidak diproduksi di Indonesia (video rekaman hubungan intim sejumlah artis tak masuk hitungan yah).

Pasar untuk konten Indonesia di luar negeri dinikmati bukan hanya TKI yang bekerja di luar negeri melalui satelit parabola, tapi juga warga lokal dari negeri tempat mereka bekerja. Dalam hal ini warga Malaysia maupun Singapura. Bahkan sinetron “Insyaallah Ada Jalan” ditayangkan serempak di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Mungkin ekspansi konten Indonesia pada tingkat regional cukup terasa. Tapi pada tatanan Internasional belum terlihat maksimal. Misalnya konten Indonesia pada channel televisi berbayar Asia Food Channel masih terbatas dibanding konten yang dibuat Malaysia atau Singapura. Bahkan di channel seperti Discovery, konten yang dibuat penyelia konten Indonesia tak terlihat keberadaannya.

Sejumlah kendala penyebaran konten Indonesia antara lain adalah:
  • akses ke pasar luar negeri
  • status usaha pelaku kreatif yang kerap tak jelas
  • bahasa yang digunakan pada konten bukan bahasa internasional
  • kualitas produksi yang belum tentu sesuai standar luar negeri
  • perkembangan teknologi audio-visual yang begitu dinamis

Akses ke pasar luar negeri hanya bisa dilakukan mereka yang memiliki modal cukup untuk melakukan lobby atau upaya marketing ke penyelia konten luar negeri serta memiliki pemahaman cukup mengenai bisnis konten di luar negeri. Sejauh ini kaitan industri televisi Indonesia dengan pasar luar negeri hanya berupa hubungan antara konsumen dengan produsen dan bukan sebaliknya. Sehingga belum tentu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sebaliknya (antara produsen dengan konsumen) karena pasarnya bisa jadi berbeda.

Status usaha perusahaan lokal – bukan hanya perusahaan yang bergerak di industri kreatif – juga seringkali dipertanyakan. Banyak perusahaan lokal yang tak memiliki akta usaha resmi dan bahkan meminjam akta perusahaan orang lain. Bahkan banyak perusahaan lokal yang terdaftar di pasar luar negeri tapi ternyata tak jelas domisilinya maupun kepemilikannya. Kondisi ini menyebabkan keengganan investor untuk masuk ke Indonesia. Industri kreatif menjadi lebih terdampak akibat kondisi ini karena properti intelektual bersifat abstrak. Banyak pelaku kreatif yang secara resume mengkilap tapi sesungguhnya tak demikian. Kekosongan asosiasi profesional maupun serikat pekerja di satu sisi disambut baik investor tapi di sisi lainnya menjadi tak bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya. Untuk mengatasi kondisi ini, investor pun akhirnya seringkali menyewa jasa detektif lokal untuk memastikan kredibilitas orang perorangan maupun status sebuah perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Akibatnya kredibilitas entitas bisnis Indonesia tak bagus di pasar Internasional.

Padahal membuka jaringan pasar luar negeri merupakan satu keharusan untuk ketahanan industri kreatif di Indonesia. Potensi konsumsi konten Indonesia bisa terlihat pada konsumsi televisi terrestrial Indonesia oleh warga Filipina, Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand dan bahkan Vietnam – khususnya untuk program non-faktual. Konsumsi penonton pada negara-negara Asia Tenggara ini dilakukan menggunakan antena parabola. Bahkan ada kasus dimana seorang ulama di Filipina Selatan protes kepada media karena konten sinetron Indonesia cenderung berisi kekerasan dan menjual sensasionalitas.

Potensi ini menjadi semakin besar ketika bahasa Indonesia bisa menembus batasan negara pada lingkup regional seperti Asia Tenggara misalnya. Karena memang bahasa menjadi salah satu kendala jangkauan konten Indonesia di luar konteks nasional. Berbeda dengan Malaysia atau Singapura, penggunaan bahasa Internasional (atau bahasa lintas batas negara) seperti bahasa Inggris bukan bagian dari keseharian masyarakat Indonesia pada umumnya. Akhirnya konten untuk konsumsi nasional pun mencerminkan ini. Subtitle menjadi alat komunikasi utama untuk penjualan konten lokal ke luar negeri, meski subtitle cenderung dihindari karena pada umumnya dianggap mengganggu kenikmatan menonton.

Kualitas produksi juga menjadi kendala besar bagi konten lokal untuk dijual pada pasar luar negeri. Biasanya ini terjadi pada program faktual, karena biaya produksinya lebih rendah dibanding program non-faktual. Kendala terbesar khususnya datang dari penggunaan ilustrasi musik tanpa ijin. Program televisi faktual seringkali menggunakan ilustrasi musik Hollywood dan lainnya tanpa ijin, sehingga sulit untuk dijual ke pasar luar negeri seperti apa adanya.

Kendala lainnya adalah perkembangan teknologi dijital yang begitu pesat. Saat ini format konten yang umum berlaku pada pasar Internasional adalah High Definition (HD). Format ini jauh berbeda dengan format analog berkaitan dengan ratio dan resolusi gambar. Konten dengan ratio layar 4:3 mulai berkurang konsumsinya dan mulai digantikan konten dengan ratio layar 16:9. Kondisi ini berpotensi untuk menurunkan harga konten.

Saya meyakini, ketika kendala-kendala ini teratasi maka tak ada halangan berarti lagi untuk Indonesia menjadi Hollywood Asia Tenggara. Karena semua bahan dasar yang diperlukan agar itu terjadi sudah ada di Indonesia, yaitu pekerja kreatif yang ahli di bidangnya, aktor/ aktris berbakat maupun talent yang dibutuhkan untuk membuat tayangan berkualitas. (bay)

No comments: