Saturday, February 14, 2009

Behind The Scene: Pemberitaan Tempo soal pemerkosaan tahun 98

Institut Studi Arus Informasi menuding Pers gagal melakukan tugasnya dalam kasus Pemerkosaan etnis Tiong Hoa. Kasus itu tak terungkap hingga kini. Terungkap dalam arti benar tidaknya kasus itu terjadi. Pertanyaan mendasar pun dari What, When, Where, Who-nya pun tak terjawab. Kemana Pers Indonesia?


Lalu dampak apa yang dicari dari pengungkapan kasus ini? Jika benar terjadi – dampak yang dicari adalah pengakuan bahwa pemerkosaan benar terjadi dan proses hukum berjalan untuk mencari pelakunya. Skenario yang selama ini berlangsung adalah bahwa kasus itu tidak pernah terjadi. Pemerintah pada saat itu pun dengan tegas menyatakan bahwa pemerkosaan tak terjadi. Apakah Pemerintah bisa begitu saja menyatakan sebuah peristiwa pelanggaran hukum tak pernah terjadi tanpa melalui proses hukum?


Tim gabungan pencari fakta dibentuk dan menemukan 52 kasus pemerkosaan etnis Tiong Hoa. Special rapporteur dari Komnas HAM PBB mengkonfirmasi klaim itu. Tak satu pun yang maju ke meja hijau. Kebenaran Pemerintah tak terbantahkan oleh fakta. Bagaimana dengan kebenaran korban?


Saya berusaha mencari jawaban kenapa kegagalan Pers itu terjadi. Muncul dugaan di kepala saya bahwa ketertutupan etnis Tiong Hoa mungkin mencegah Pers mendapatkan fakta jelas tentang apa yang terjadi. Namun, benarkah seperti itu? Karena itu saya mewawancara Arif Zulkifi, Redaktur Pelaksana Tempo. Berikut kutipan wawancara saya dengannya.


(Q) Stanley dari ISAI menyebutkan bahwa Pers gagal mengungkap kasus pemerkosaan etnis Tiong Hoa tahun 98. Anda setuju dengan pernyataan itu?


(A) Pers itu berbeda dengan jaksa dan intel dan segala macam yang punya hak untuk memaksa orang untuk ngomong...kita gak punya, menurut gua, kita gak punya hak itu. Yang kita punya adalah kemampuan membujuk atau kemampuan untuk mempersuasi khan. Itu kira-kira...tingga pintar-pintarnya aja loe mempersuasi orang untuk ngomong, khan kira-kira gitu. Itu satu...yang kedua, karenanya kalo kita mau ngomong soal basis legal dari UU pokok pers, itu khan kebenaran yang diungkap pers khan kebenaran dalam satu term waktu tertentu gitu khan. Misalnya dalam waktu setahun kami menemukan kebenaran ini – kami tulis dalam tahun itu. Tapi kalo pada tahun berikutnya kebenaran itu berubah, media tidak bisa disalahkan. Kia-kira begitu ya udah kalo gitu loe ungkap lagi dong kebenaran pada tahun berikutnya. Yang boleh jadi 180 derajat berbeda dengan kebenaran pada tahun yang bersangkutan. Kita bicara filosofinya dulu. Kalo begitu media bisa disalahkan dong kalo temuannya berbeda dengan fakta sebenarnya pada tahun berikutnya? Tidak! Dia tidak bisa disalahkan, asalkan dia bekerja secara profesional dan mengikuti kaedah-kaedah jurnalistik. Apa itu kaedah-kaedah jurnalistik? Cover both sides. Cover all sides, check and re-check, tidak terima amplop, tidak mau disuap, khan itu intinya.


Bagaimana dengan perkosaan '98, loe liat judulnya dari Tempo...Perkosaan: Cerita dan Fakta. Cerita artinya omong-omong di warung kopi, fakta...apa yang kita temukan...kira-kira begitu. Dan memang pada tahun itu kita gak menemukan tuh hard fact yang mengatakan jelas-jelas baha ada perkosaan itu terjadi. Yang dimaksud hard fact itu – orang ngomong 'on the record', bisa dicatat...kalo di TV mau on-screen...ini khan nggak, semua orang ngumpet-ngumpet, semua serba kabur. Berapa jumlah dan sebagainya.


(Q) Pada saat itu ada yang melaporkan ke polisi?


(A) Gak ada sama sekali.


(Q) Tidak ada satu pun korban perkosaan yang melaporkan ke polisi?

(A) Gak ada. Tidak ada laporan polisi yang bisa mendukung fakta kejadian itu.


(Q) Apakah salah satu alasannya karena kita tidak punya akses langsung ke komunitas Tionghoa?


(A) Ya bukan semata-mata karena etnis Tionghoa-nya...tapi gua bisa pahami korban perkosaan bos, gimana dia mau declare dia mau ngomong itu. Ada sanksi masyarakat dan sebagainya khan. Jadi gak bisa semudah itu.


(Q) Bisa gak disebut bahwa kita gagal masuk ke komunitas Tionghoa untuk megungkap kasus ini?


(A) Gua mau pake kata begini aja...'Wartawan belum mampu mengungkap ini dari “first hand” source' atau dari sumber tangan pertama. Yang bisa kita lakukan adalah 'second hand' source – orang yang merawat, membantu, asistensi dan sebagainya.


(Q) Bukankah kita punya kewajiban untuk melakukan itu?


(A) Oh...Iya! Tapi kita belum mampu melakukan itu.


(Q) Belum mampu atau tidak ada komitmen kuat dari redaksi untuk melakukan itu?


(A) Tidak mampu! Kalo komitmen sangat kommit.


(Q) Tidak mampu kenapa?


(A) Yah karena itu tadi penetrasi kita terbatas untuk mencapai sumber...untuk membujuk orang agar mau ngomong 'on screen', 'on the record' sebagaimana standar high-quality journalism gitu yah. Belum mampu kita, belum nyampe! Mungkin next time...kenapa nggak? Gitu. Gua sih terbuka sekali untuk mengungkap itu gitu lho, kalo memang apa namanya bahan-bahannya gitu, sumber-sumbernya ada gitu. Sama sekali gak ada karena preferensi dan sebagainya gak ada!


(Q) Sejumlah aktivis pada waktu itu berusaha menjadi konsuler tapi kemudian salah satunya ada yang meninggal...tewas dan ada juga aktivis lainnya yang mendapat ancaman. Bukankah sebenarnya itu momentum bagus untuk mengungkap kasus itu?


(A) Oh ya iyah tapi coba deh loe bicara ama aktivis-aktivis yang meng-asisteni korban-korban itu, berhasil gak loe membujuk dia untuk mempertemukan kita dengan si korban. Sebagai wartawan...gak! Bahkan mereka pun mengungkapkan gak mau. Sehingga gua bisa paham kalo pembaca berpikir bahwa ini ada gak sih sebetulnya? Khan gitu khan. Ini ada orang yang asisteni ngomong-ngomong cerita tentang bagaimana dia menderita dan sebagainya. Tapi gak pernah di-disclosure gak pernah mau dibuka identitasnya begitu...dan semua dengan argumentasi mereka trauma, mereka takut dan sebagainya gitu. Nah kalo elo mau bilang bahwa itu adalah kegagalan wartawan gua setuju. Kegagalan untuk membuka itu.



(Note: Wawancara ini sebenarnya saya lakukan akhir tahun lalu...tapi baru sekarang bisa saya buat karena sebenarnya saya ingin melengkapi laporan saya sehingga lebih balance dengan data yang cukup, tapi belakangan semakin terbengkalai malah. Saya sampaikan kembali bahwa ini adalah 'Work in Progress' and should not be treated otherwise.)

Amir yang Mahir


(Sabtu, 14 Februari 2009)

Seorang berkaos abu-abu naik ke atas panggung sambil membawa gitar. Sebelumnya sejumlah calon legislatif duduk di panggung yang terletak di samping teras kantor Kontras itu. Mereka adalah caleg dengan berbagai latar belakang, seperti aktivis, akademisi dan fungsionaris ormas. Namun, keenamnya mengaku membawa pesan kemanusiaan dan perubahan. Sebuah dialog publik digelar di atas panggung itu, tapi kini...si pembawa gitar berkaos abu-abu itu akan menggelar dialog hati.


Amir membuka aksinya dengan menyapa warga yang menghadiri dialog publik itu. Sepertinya mereka mengenalnya, sehingga mereka pun tersenyum dan menganggung-angguk ke arahnya. Amir adalah salah satu peserta sayembara cipta lagu untuk Munir yang terpilihnya lagunya dalam 10 besar. Ia pun menyanyikan lagu ciptaannya untuk Munir.


Berikut lagu yang dibawakannya saat itu. (klik di sini)


Amir berusia 26 tahun. Ia kuliah di UIN Ciputat, sudah semester 14 dan sedang mengerjakan skripsi. Jurusan yang diambilnya adalah Perbandingan Madzab Fikih, Syariat dan Hukum. Skripsi yang dikerjakannya adalah mengenai Munir. Tapi bukan hanya itu kegiatannya. Setiap pagi sebelum kuliah, ia membantu jualan Soto milik Pamannya.


Ketika saya tanya apa yang mendorongnya untuk membuat lagu untuk Munir, ia pun menjelaskan bahwa keberanian Munir yang memberi inspirasi kepada dirinya.



Berikut kutipan wawancara saya dengan Amir. (klik di sini)

Usai wawancara kami masih sempat berbincang-bincang lebih jauh. Ia sadar bahwa ada yang menuding Munir mendapatkan dana dari luar negeri sehingga agendanya pun mengikuti pemberi dana. Tapi komentarnya soal ini adalah sebagai berikut: “Tapi dia berjuang buat siapa? Selama perjuangannya itu bisa bermanfaat untuk orang yang membutuhkan kenapa tidak?”.


Di kampus pun, Amir sering berdiskusi dengan teman-temannya. Mereka kebanyakan mempertanyakan apa gunanya mengungkit masa lalu? Baik itu peristiwa tahun '98, perlakuan atas Eks PKI dan lainnya. Amir pun meminta mereka untuk membayangkan perasaan korban saat ada anggota keluarga mereka yang diambil secara paksa di depan mata mereka. Lebih lanjut ia mengaku baru mengerti setelah ia bertemu langsung dengan para korban dalam acara Kamis-an di kantor Kontras. Menjelang akhir pembicaraan kami, Amir menegaskan, “Saya membela kemanusiaan.”.


(Note: This is a work in progress. Yang coba saya lakukan di sini adalah mewawancarai sebanyak orang tentang berbagai hal terkait pelanggaran hak asasi manusia dan merekamnya dalam blog saya. Karena saya mengerjakan ini di luar jam kerja saya, maka keberimbangan belum tentu akan muncul dalam satu artikel. Tapi saya berjanji untuk melengkapi laporan saya agar bisa memenuhi azas cover both sides. Artikel terkait dari pihak yang berseberangan akan saya tulis sebagai artikel tersendiri dan dibuat tautannya ke artikel sebelumnya. Let me emphasise once more that this is a work in progress and should be treated as such. Thank you for your appreciation.)