Saturday, February 14, 2009

Amir yang Mahir


(Sabtu, 14 Februari 2009)

Seorang berkaos abu-abu naik ke atas panggung sambil membawa gitar. Sebelumnya sejumlah calon legislatif duduk di panggung yang terletak di samping teras kantor Kontras itu. Mereka adalah caleg dengan berbagai latar belakang, seperti aktivis, akademisi dan fungsionaris ormas. Namun, keenamnya mengaku membawa pesan kemanusiaan dan perubahan. Sebuah dialog publik digelar di atas panggung itu, tapi kini...si pembawa gitar berkaos abu-abu itu akan menggelar dialog hati.


Amir membuka aksinya dengan menyapa warga yang menghadiri dialog publik itu. Sepertinya mereka mengenalnya, sehingga mereka pun tersenyum dan menganggung-angguk ke arahnya. Amir adalah salah satu peserta sayembara cipta lagu untuk Munir yang terpilihnya lagunya dalam 10 besar. Ia pun menyanyikan lagu ciptaannya untuk Munir.


Berikut lagu yang dibawakannya saat itu. (klik di sini)


Amir berusia 26 tahun. Ia kuliah di UIN Ciputat, sudah semester 14 dan sedang mengerjakan skripsi. Jurusan yang diambilnya adalah Perbandingan Madzab Fikih, Syariat dan Hukum. Skripsi yang dikerjakannya adalah mengenai Munir. Tapi bukan hanya itu kegiatannya. Setiap pagi sebelum kuliah, ia membantu jualan Soto milik Pamannya.


Ketika saya tanya apa yang mendorongnya untuk membuat lagu untuk Munir, ia pun menjelaskan bahwa keberanian Munir yang memberi inspirasi kepada dirinya.



Berikut kutipan wawancara saya dengan Amir. (klik di sini)

Usai wawancara kami masih sempat berbincang-bincang lebih jauh. Ia sadar bahwa ada yang menuding Munir mendapatkan dana dari luar negeri sehingga agendanya pun mengikuti pemberi dana. Tapi komentarnya soal ini adalah sebagai berikut: “Tapi dia berjuang buat siapa? Selama perjuangannya itu bisa bermanfaat untuk orang yang membutuhkan kenapa tidak?”.


Di kampus pun, Amir sering berdiskusi dengan teman-temannya. Mereka kebanyakan mempertanyakan apa gunanya mengungkit masa lalu? Baik itu peristiwa tahun '98, perlakuan atas Eks PKI dan lainnya. Amir pun meminta mereka untuk membayangkan perasaan korban saat ada anggota keluarga mereka yang diambil secara paksa di depan mata mereka. Lebih lanjut ia mengaku baru mengerti setelah ia bertemu langsung dengan para korban dalam acara Kamis-an di kantor Kontras. Menjelang akhir pembicaraan kami, Amir menegaskan, “Saya membela kemanusiaan.”.


(Note: This is a work in progress. Yang coba saya lakukan di sini adalah mewawancarai sebanyak orang tentang berbagai hal terkait pelanggaran hak asasi manusia dan merekamnya dalam blog saya. Karena saya mengerjakan ini di luar jam kerja saya, maka keberimbangan belum tentu akan muncul dalam satu artikel. Tapi saya berjanji untuk melengkapi laporan saya agar bisa memenuhi azas cover both sides. Artikel terkait dari pihak yang berseberangan akan saya tulis sebagai artikel tersendiri dan dibuat tautannya ke artikel sebelumnya. Let me emphasise once more that this is a work in progress and should be treated as such. Thank you for your appreciation.)

No comments: