Tuesday, December 16, 2008

Diskusi Panel Konferensi Keselamatan Jurnalis (1)


Sedikit cerita dari Konferensi Keselamatan Jurnalis. Konferensi ini merupakan upaya untuk menciptakan budaya keselamatan bagi Jurnalis. Berbagai panelis hadir dalam konferensi ini, antara lain dari Filipina, Kamboja dan Malaysia. Menarik mendengar kondisi keselamatan bagi Jurnalis di Filipina dan negara Asia Tenggara lainnya. Karena tidak terlalu jauh berbeda. Namun, sejumlah perbedaan yang mencolok antara lain seperti berikut:

1. Filipina

Di Filipina, tingkat kematian jurnalis tinggi. Padahal kebebasan pers jauh lebih baik dari Malaysia misalnya. Menurut Maria Ressa, mantan koresponden CNN yang sekarang bekerja di ABS-CBN (salah satu stasiun televisi besar di Filipina) 70 persen konten berita adalah kriminal. Ia mengaku sempat berupaya untuk mengurangi konten berita kriminal tapi akhirnya sadar bahwa berita kriminal diperlukan karena kriminalitas tinggi di Filipina.

Tingkat kematian jurnalis di Filipina ada di peringkat 4 dengan jumlah kematian 55 orang antara tahun 1996 s/d tahun 2006. Nomer satu tetap Irak dengan jumlah kematian sebanyak 138 orang. Diskusi khusus tentang kondisi buruk keselamatan Jurnalis di Filipina dilakukan untuk merangkum rekomendasi soal ini. Sejumlah kesimpulan yang muncul antara lain:

- budaya impunitas meluas (tak ada satu pun kasus kematian jurnalis masuk ke meja hijau)
- praktek buruk jurnalistik (alias amplop) juga diduga turut berperan, sehingga masyarakat tak peduli tentang keselamatan jurnalis
- tidak ada komitmen dari Pemerintah untuk menghentikan pembunuhan atas Jurnalis dan menghentikan budaya impunitas
- gaji wartawan yang rendah dan rendahnya kualifikasi wartawan juga dianggap memengaruhi kualitas karya jurnalistik (khususnya radio - sementara radio lebih luas jangkauannya/ populer dibanding televisi)

2. Kamboja

Jurnalis di Kamboja mungkin tidak terancam jiwanya - tapi mereka rentan untuk ditangkap aparat. Seorang wartawan tewas saat pemilu di Kamboja tahun ini. Panelis dari Kamboja menekankan perlunya kesadaran akan pentingnya keselamatan Jurnalis oleh Stakeholders antara lain: Pemerintah, Organisasi Jurnalis dan Pimpinan Institusi Pemberitaan.

3. Malaysia

Di Malaysia, persoalan utama adalah Undang-Undang berkaitan dengan Jurnalis menjadi alat Pemerintah untuk mengendalikan Media Massa. Salah satu UU yang menghambat kerja Jurnalis antara lain Internal Security Act (seorang blogger akhirnya ditahan karena dianggap subversif tahun ini) dan UU yang mengharuskan institusi pemberitaan untuk memperbarui ijin Pers dalam kurun waktu tertentu. Sehingga media sewaktu-waktu bisa dibredel.

Satu hal yang menjadi keresahan peserta diskusi panel dari awal adalah nasib koresponden/freelance/ stringer. Karena keselamatan mereka dari segi peralatan dan asuransi berbeda dengan jurnalis yang berstatus karyawan media besar. Di Indonesia, kenyataannya adalah Jurnalis terbagi menjadi 2 kelas yang tidak mendapatkan keuntungan sama dari perusahaan.

Tapi pada dasarnya, isu keselamatan Jurnalis harus menjadi prioritas institusi pemberitaan sekaligus jurnalis sendiri.

Apa yang harus dilakukan dalam situasi konflik? Rick Filon dari AKE (sebuah perusahaan Manajemen Krisis) memberikan sejumlah panduan sebagai berikut:

1. Tanggung jawab perusahaan dalam memastikan keselamatan Jurnalis antara lain:

- Pelatihan keselamatan bagi Jurnalis sebelum masuk ke situasi konflik
- Melakukan praktek Perencanaan Manajemen Krisis (identifikasi langkah dalam menghadapi situasi krisis seperti misalnya penculikan wartawan)
- Mengidentifikasi dukungan dari luar (Organisasi Internasional untuk melindungi wartawan, dlsb.)
- Diseminasi informasi (memastikan informasi penting terkait kondisi nyata di daerah konflik dapat diakses tim di lapangan maupun pihak manajemen)
- Mendokumentasikan kondisi karyawan, baik itu kondisi kesehatannya maupun keahliannya - dengan harapan saat krisis terjadi kondisi wartawan tidak terabaikan

2. Planning/ Risk Assesment

Risk Assessment bisa dilakukan dengan melakukan langkah sebagai berikut:

- Menentukan tujuan dari liputan, story apa yang dikejar, apakah cukup pantas untuk mengirim tim ke lokasi berbahaya
- Melakukan apresiasi detail tentang kondisi di lokasi berbahaya itu
- Mempersiapkan rencana untuk mengurangi resiko dalam upaya mencapai tujuan
- Contingency Plan atau mempersiapkan skenario jika terjadi sesuatu
- Emergency Plan atau rencana jika terjadi situasi darurat (misalnya KAPAN TIM LIPUTAN HARUS KELUAR DARI LOKASI KONFLIK).
- Mempertimbangkan resiko dengan hasil yang diharapkan

3. Pelaksanaan

Pada pelaksanaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

- Eksekusi Manajemen Krisis

Saat tim dikirim, anggoat tim telah dibekali segala persiapan yang BISA dilakukan pada waktu singkat. Misalnya peralatan khusus (masker untuk liputan kawasan bencana/penyakit menular, jaket anti peluru atau medical tool kit P3K), informasi dasar tentang segala hal yang perlu diketahui di lokasi berbahaya termasuk budaya dan background masalah, alat komunikasi dan protokol/SOP peliputan di daerah berbahaya yang harus dipatuhi jurnalis.

- Reassessment (Evaluasi Ulang)

Evaluasi kembali protokol/ SOP peliputan karena mungkin saja perlu berubah karena kondisi lapangan juga berubah. Selain protokol/ SOP yang harus diperhatikan adalah keperluan alat kesehatan - dengan pertimbangan mungkin obat/alat kesehatan yang dibawa tidak lagi relevan dengan kondisi di lapangan. Begitu juga dengan shelter seperti tenda, alat komunikasi dan sebagainya. Dengan begitu, Manajemen responsif terhadap kebutuhan tim lapangan.

- Post Task (Pasca Peliputan)

Manajemen perlu mengidentifikasi ancaman yang mungkin muncul pasca peliputan. Misalnya hasil liputan yang dibawa pulang memiliki potensi membuat marah pihak tertentu sehingga perlu persiapan untuk menghadapinya.

Selain mengidentifikasi ancaman terhadap intitusi pemberitaan, ancaman terhadap pihak ketiga juga perlu diperhatikan. Misalnya ancaman terhadap koresponden kita yang masih meliput di lokasi konflik setelah tim yang dikirim pulang.

Jangan lupa melakukan evaluasi keseluruhan mencakup kondisi kesehatan fisik maupun kejiwaan anggota tim. Karena tidak sedikit Jurnalis yang meliput daerah konflik atau lokasi bencana mengalami trauma.

4. Bagaimana mengurangi Resiko?

Sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko adalah:

- Mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang budaya, kondisi terakhir konflik, latar belakang konflik dan latar belakang orang-orang yang menjadi sumber berita.

- Pastikan Risk Assessment dibuat berdasarkan data akurat dan bukan mitos. Misalnya: salah satu protokol yang dibuat untuk tim liputan dalam melakukan tugasnya adalah tiarap saat muncul tembakan, dengan asumsi senjata kelompok pemberontak bisa menjangkau1500 meter. Padahal di daerah itu, senjata yang umum digunakan kelompok pemberontak memiliki jangkauan di bawah 400 meter. Selain itu kemampuan menggunakan senjata anggota kelompok pemberontak sangat tidak akurat. Jadi saat tembakan muncul dari arah kelompok pemberontak - seharusnya tidak perlu tiarap karena bisa langsung keluar dari lokasi berbahaya. Atau misalnya jika ada suara siulan berarti ada mortir yang diluncurkan...padahal di lokasi berbahaya itu, kelompok milisi tidak menggunakan pelontar mortir yang menimbulkan suara seperti itu.

- Hindari profil tertentu yang mudah dikenali dari anggota tim liputan alias coba untuk tidak terlalu mencolok. Misalnya: selalu memakai topi hutan atau baju tertentu saat liputan. Karena dengan begitu, orang yang ingin menculik Anda misalnya dengan mudah mengenali targetnya.

- Peralatan khusus seperti baju anti peluru, telepon satelit dan lain-lain

- Hindari rutinitas. Misalnya untuk pulang ke rumah hindari menggunakan jalan yang sama setiap kali. Atau setiap malam makan di satu tempat tertentu.

Kesimpulannya: Don't Be The Easy Option!

Diskusi Panel Konferensi Keselamatan Jurnalis (2)

Burma/Myanmar kondisi kebebasan pers-nya sangat buruk. Mulai dari Undang-Undang tentang Televisi dan Video, UU Perfilman, UU elektronik s/d UU Perkembangan Ilmu Komputer. UU yang terakhir pada dasarnya kepemilikan perangkat komputer harus dilaporkan ke Junta. Sisanya merupakan batasan kepada media dalam melaporkan ke publik. Misalnya UU elektronik - UU itu melarang seseorang mengirimkan gambar peristiwa di Burma/ Myanmar melalui internet ke luar negeri.

Email juga diawasi. Sekitar 80 persen email service provider di-blok. Karena itu, hati-hati jika mengirim email dari Burma/Myanmar. Para jurnalis sakti ini memperingatkan untuk menggunakan email kedua yang tidak diketahui pihak Junta.

Selain itu, seperti halnya di Malaysia - media harus melakukan registrasi ulang setiap tahun. Berita media cetak harus diserahkan ke Kementerian Informasi untuk disensor bila perlu sehari sebelum bisa disebarluaskan. Untuk media mingguan, bisa menyerahkannya 3 hari sebelumnya.

Korban harian yang ada di Burma/Myanmar ada 3 dan semuanya dikendalikan Pemerintah. Begitu juga dengan stasiun televisi. Informasi yang ada di media Burma/Myanmar bisa dibilang 100 persen propaganda.

Sejumlah tip dan trik yang disampaikan para jurnalis dari Burma/Myanmar dalam diskusi panel, antara lain:

- jangan mengoperasikan kamera foto/video di depan tentara yang bertugas
- jangan mengeluarkan kamera foto/video jika ada tentara di sekitar
- pastikan foto-foto yang bisa dianggap berbahaya oleh militer disimpan dengan baik dan jangan ditinggalkan di kamera foto/video

Akhirnya yang mereka lakukan adalah menyebarkan informasi, meski bisa membahayakan nyawa mereka, dengan cara-cara bawah tanah. Sebagian besar pun akhirnya membantu media asing untuk mendapatkan informasi. Liputan yang di bawah pengawasan Junta bukan hanya masalah konflik perang saudara, tapi juga di daerah bencana topan Nargis. Mereka berharap koresponden luar negeri bisa mengerti kondisi peliputan di Burma/Myanmar dan bisa lebih sensitif saat bertugas, karena salah langkah bisa membahayakan diri mereka dan wartawan lokal yang kebetulan membantu mereka. Menurut mereka, sebaiknya media internasional mengirimkan wartawan yang berwajah oriental (mirip orang Myanmar). Seperti orang Filipina dan India masih bisa leluasa karena bisa dianggap orang lokal.

Bagi wartawan yang bertugas di daerah konflik seperti itu tentunya akan rentan menderita stress disorder. Kebanyakan wartawan mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Cait McMahon dari DART Center memiliki program untuk mengatasi stress pasca trauma yang diderita jurnalis.

Gejala stress pasca kejadian traumatis antara lain perubahan karakter pasca peristiwa traumatis (dari lembut menjadi kasar), banyak berkeringat, mengalami hyper-arousal sehingga bisa membahayakan tim, kemarahan, rasa bersalah dan rusaknya hubungan pribadi dengan orang tercinta. Hyper-arousal merupakan suatu kondisi yang dimana adrenalin mengalir deras dalam tubuh dan mengakibatkan kesulitan mengambil keputusan secara rasional. Salah satu gejalanya adalah perilaku berbahaya yang bisa mencelakakan tim.

Penanganan trauma bagi jurnalis dilakukan melalui pendekatan BDA (Before, During and After).

1. Before

Sebelum pengiriman tim ke daerah berbahaya (hostile environment) anggota tim harus mengerti ancaman psikologis yang mungkin mereka alami di daerah berbahaya itu. Karena mengetahui adanya ancaman psikologis (bukan hanya ancaman fisik) bisa mengurangi dampak trauma dan dengan cepat bisa di-identifikasi untuk ditangani.

Langkah yang bisa dilakukan sebagai persiapan mental antara lain adalah:

- belajar mengenali tingkat kemampuan menghadapi stress
- belajar dari sesama rekan jurnalis yang lebih senior ancaman psikologis maupun cara menanganinya. Agar lebih efektif perlu adanya Support Group atau mentoring sebagai persiapan sebelum pemberangkatan.
- Positive Self Talk (maksudnya berbicara dengan diri sendiri secara positif. misalnya "I can do this").
- meningkatkan spiritualitas
- Briefing dengan tim sebelum pemberangkatan untuk menjelaskan SOP manajemen trauma (misalnya apa yang harus diperhatikan dan apa yang harus dilakukan jika merasa trauma)

2. During

- fokus pada kegiatan yang dilakukan secara fisik (artinya fokus pada pekerjaan seperti pengambilan gambar - liputan - menjaga keselamatan, agar tidak terlalu fokus pada kondisi psikologis
- jangan terpengaruh dengan korban dan tetap fokus pada pekerjaan saat situasi krisis (misalnya di tengah baku tembak jangan terpengaruh hal lain selain menjaga keselamatan dan melakukan tugas jurnalistik)
- dalam situasi berbahaya selalu men-challenge keputusan yang akan diambil dengan pemikiran negatif (artinya sebelum melakukan sesuatu yang berbahaya - seperti ptc di tengah baku tembak - selalu lawan dorongan untuk melakukan itu dengan pemikiran yang negatif seperti "I can not do this". Dengan demikian memberi kesempatan kita untuk berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu yang berbahaya.
- bernafas dalam-dalam dan bicara pada diri sendiri (seperti misalnya di tengah situasi kritis berkata pada diri sendiri: "Tetap tenang dan fokus pada pekerjaan. Nafas dalam-dalam.")
- awasi kondisi fisik dan mental. (artinya senantiasa evaluasi diri apakah mengalami kelelahan fisik dan mental)
- minum air banyak-banyak
- pertahankan harapan dan keyakinan diri
- manajemen bisa membantu dengan mengirimkan pesan pendek atau email menanyakan kondisi tim sebagai bentuk perhatian - khususnya usai melakukan tugasnya dengan baik

3. After

- pengecekan fisik maupun psikologis (yang terakhir tidak perlu sampai mendatangkan psikiater - tapi cukup menggelar sesi berbagi cerita dengan mentor atau jurnalis yang lebih senior)
- perhatikan gejala-gejala PTSD dalam keseharian sehingga bisa segera diatasi
- pemantauan kondisi psikologis selama 3 hingga 4 hari pasca trauma
- membuka diri untuk menerima konseling dari Support Group

Pada dasarnya ada 5 poin yang harus diperhatikan. Kelima poin itu terangkum dalam CISD (Critical Incidence Safety Debriefing):

1. Training Trauma bukan sekedar diperlukan tapi sangat penting untuk dilakukan
2. Keselamatan fisik adalah seiring dengan keselamatan psikologis (karena gangguan psikologis bisa memicu gejala fisiologis atau mempengaruhi secara fisik)
3. Lakukan pendekatan BDA
4. Reaksi pasca trauma adalah wajar
5. Budaya media pemberitaan yang sadar pentingnya penanganan trauma = praktek jurnalisme yang lebih baik = bisnis yang baik/menguntungkan perusahaan

Demikian semoga bermanfaat.