Thursday, December 3, 2009

Ada-ada Saja (2)

Seorang presenter membaca berita tentang salon khusus untuk anjing piaraan. Sang presenter membaca berita sebagai berikut: "Sehingga salon ini menjadi tempat yang menyenangkan bagi ANJIR...". Hampir secara bersamaan, PD maupun crew studio lainnya menirukan kata terakhir yang diucapkan Fitri Megantara karena sadar mereka harus me-retake pembacaan berita itu.

Seorang reporter melakukan PTC (Person To Camera) di sebuah terminal bus. Namun ia harus mengulang PTC-nya berkali-kali karena apa yang dikatakannya tak sempurna. Tanpa diketahuinya, orang-orang di sekitar tempatnya melakukan PTC mulai berkumpul dan duduk mengelilinginya. Mereka pun menjadi terlibat dalam proses pengambilan gambar. Setiap kali si reporter memulai kembali PTC-nya mereka diam. Setiap si reporter melakukan kesalahan mereka ikut menyesali apa yang terjadi. Sampai akhirnya si reporter berhasil menyelesaikan PTC-nya dengan baik. Mereka pun memberikan pengakuan kepada Louisa Kusnandar dengan tepuk tangan dan suara-suara pemberi semangat.

Seorang produser menunggu telepon dari Studio di Jakarta untuk memberikan laporan tentang suasana di Giri Bangun. Saat itu, jenazah mantan Presiden Soeharto akan segera tiba di bandar udara terdekat. Sang Produser menggunakan televisi hitam putih dengan layar 5 inci yang dibelinya seharga 3 ratus ribu malam sebelumnya. Televisi itu ia pangku di pahanya sembari menutup bagian depan layar dengan tangan karena panas matahari menghalanginya melihat siaran langsung TVRI dari bandar udara. Posisinya pun kurang menguntungkan karena untuk mendapatkan listrik, ia harus mencolokkan listriknya dekat mixer audio system yang dipasang di Giri Bangun di pinggir lapangan parkir. Tiba-tiba teleponnya berdering. Sang produser pun bersiap memberikan laporannya. Sayang bukan studio di ujung sana, tapi suara reporter yang ditugaskan bersamanya meliput peristiwa itu.
Reporter: "Mas Bhayuuu...kakiku keinjek Kopassus....".
Produser: (Dengan nada tidak sabar) "Terus?"
Emma Fitria: "Sakit tauuuuuuk!"
Bhayu Sugarda: ".....?!!?"

Seorang reporter berniat mewawancarai Menkokesra, yang saat itu dijabat Aburizal Bakrie. Ketika reporter lain fokus ke topik terkait kesejahteraan rakyat, sang reporter membawa misi sendiri...yaitu menanyakan soal Lumpur Lapindo. Ketika ia melihat kesempatan untuk bertanya, ia pun melepaskan peluru yang sudah ia siapkan sebelumnya. Aburizal Bakrie pun mengangkat tangannya dan bergerak menjauh tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan. Sang reporter pun dengan sigap mendesaknya untuk menjawab pertanyaan dengan mengatakan, "Bapak kok gituuuuuuu....!!!".
Aburizal Bakrie sempat terpana sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Fatimah Alatas.

Sebuah penangkapan tersangka narkoba terjadi di Semarang. Wartawan cetak maupun elektronik meluncur ke kantor polisi tempat mereka ditahan. Mereka pun mewawancarai petugas yang menangkap para tersangka itu. Sang polisi mengaku terpaksa melepaskan tembakan karena tersangka berusaha melarikan diri. Seorang wartawan yang juga salah satu anak buah koresponden sebuah stasiun televisi swasta tiba-tiba bertanya, "Suara pistolnya TER apa TOR?". Baik wartawan lainnya yang kebetulan ada di situ maupun nara sumber hanya bisa terpana mendengar pertanyaan itu. Belakangan Amrul Hakim mengaku bahwa dirinya menanyakan pertanyaan itu karena ingin mendapatkan SYNC atau SOT yang kurang lebih melibatkan si nara sumber mengangkat tangannya dan menirukan suara pistol yang ditembakkan.

Seorang presenter membaca berita yang tertulis di prompter sebagai berikut: "LARANGAN MEROKOK DI PRANCIS....///". Namun si presenter membacanya seperti ini: "Larangan MEROKOUW di Prancis...". Usai siaran sang show produser menanyakan alasan dibalik cara baca yang aneh itu. Fitri Megantara mengaku canggung mengucapkan kata 'merokok' karena ragu antara menghilangkan 'k' di akhir kata atau justru memperjelas cengkok huruf 'k' itu.

Seorang show producer baru saja menyelesaikan tugasnya. Ia pun berjalan menuju meja tempatnya bekerja agar ia bisa membuat laporan show yang baru saja dikerjakannya. Tapi sebelum ia membuat laporan, ia menyempatkan diri bercerita kepada rekannya sesama produser tentang sebuah kejadian menarik saat show berlangsung. Salah satu berita tentang konflik di Timur Tengah bercerita tentang penemuan senjata di sebuah minivan. Namun, berita yang tertulis di Prompter adalah sebagai berikut: "SEJUMLAH SENJATA DITEMUKAN DALAM MINIVAN/ SEPERTI TOKET DAN RUDAL///". M. Arif Budiman mengaku beruntung ia menyadari kesalahan itu sebelum berita dibaca sehingga bisa dikoreksi. Ia mengungkapkan, "Saat itu gua pikir toket dan rudal merupakan dua hal aneh yang bisa ditemukan pada satu tempat.".

Ada-ada Saja (1)

Seorang wartawati pemula liputan demam berdarah:
Wartawati: "Jadi para jumantik (Juru Pemantau Jentik) dari mana saja, bu?"
Narasumber: "yah sebagian besar dari mereka juga ibu-ibu PKK"
Louisa Kusnandar: "Oh, jadi sebagian besar dari mereka juga Petugas Kebersihan dan Keamanan yah?"
Narasumber: "....?!?"

Seorang wartawan cukup senior yang sudah lama tak berkunjung ke Mabes Polri menghadiri konperensi pers dari Kadivhumas. Karena dia tidak tahu nama dari Kadivhumas, ia pun bertanya kepada salah seoramng rekannya.
"Bos, namanya siapa Bos?", wartawan cukup senior.
"Paiman. Paiman", kata rekannya.
"Oke. Tengs.", balasnya.
Ia pun mengacungkan tangan untuk bertanya. "Pak Iman...Pak Iman!".
Rekannya pun melotot dan menyikut pinggang sang wartawan. "Namanya Paiman tauk! Bukan Pak Iman.".
Menyadari kesalahannya Edwin Nazir pun mengoreksi ucapannya dengan memanggil, "Jenderal! Jenderal!".

Seorang wartawan menyambut kedatangan seorang nara sumber yang akan diwawancara di studio. Ia kebetulan bertugas sebagai booker.
"Terima kasih atas kedatangannya Mas Ray.", kata si wartawan.
"Sama-sama, Mas.", kata Ray Sahetapy.
Mereka berdua pun masuk ke dalam lift menuju studio. Kesunyian lift menghujam, karena hanya mereka bedua di dalam lift. Sang wartawan pun berupaya mencairkan suasana.
"Wah, Mas. Saya penggemar berat Anda di sinetron Tahta.", katanya.
Ray menoleh ke arah wartawan itu dengan cepat.
"Tahta? Bukan saya yang main di situ. Itu Mathias Muchus.", kata Ray Sahetapy.
Kesunyian semakin menghujam. Sang wartawan pun berupaya kembali dari keterpurukan.
"Tapi saya juga senang dengan penampilan Anda di film 'Kanan Kiri Oke'.", kata si wartawan.
Sejak saat itu Raden Wahyuningrat menyadari kelemahannya dalam berinteraksi dengan selebritas.

Seorang produser membuat janji dengan Adrianus Meliala.
Produser: "Selamat pagi Pak Meliala. Saya Ocha dari Astro Awani. Saya mau minta waktu Anda untuk wawancara soal tawuran, Pak. Iyah Pak, mengenai kecelakaan transportasi nih Pak. Jadi kapan bisa ketemu nih Pak. Hari ini? Oke baik Pak. Di mana Pak? Di Pelabuhan Tanjung Priok yah! Oke pak. Terima kasih banyak Pak."
Sang produser pun meminta tim liputan untuk mewawancarai Adrianus Meliala. Tim liputan pun berangkat ke lokasi. Ketika ditemui, sang reporter melihat dari jauh penampilan Adrianus Meliala. Sang reporter pun mulai curiga karena penampilannya tidak seperti yang ia ketahui dari media massa selama ini. Untuk memastikan, sang reporter melontarkan pertanyaan pancingan.
Sang Reporter: "Jadi berapa lama Bapak belajar jadi kriminolog?".
Adrianus Meliala: "Kriminolog? Latar belakang saya akademi pelayaran Mas.".
Oki Budhi Priambodo: "....?!?".
Sejak kejadian itu Firouza menyadari bahwa nama orang bisa sama persis dengan orang lain secara kebetulan.

Seorang reporter mewawancarai seorang anak kecil berkaitan dengan fenomena Smackdown.
Sang Reporter: "Jadi tokoh favorit kamu siapa di Smackdown?"
Anak kecil: "De-Ex".
Sang Reporter: "Siapa?"
Anak kecil: (Curiga ada yang salah dengan cengkok bicaranya, si anak kecil pun berupaya mengoreksi pengucapan nama idolanya) "Diee Eksh."
Sang Reporter: "Siapa siapa?"
Anak kecil: (Kali ini si anak kecil memutuskan untuk mempercepat pengucapannya supaya tidak terlalu ketara jika ada salah pengucapan) "D-Ex!"
Ulung Putri: "Siapa?"
Anak kecil: "De-Eeeeeeeeeeeeeeex.". Wajah si anak campur aduk antara heran (karena kok ada reporter sebudeg ini?), marah (karena si reporter berulangkali menanyakan hal yang sama) dan kecewa (karena koreksi pengucapannya sebanyak 2 kali tak berarti banyak buat si reporter).

Seorang wartawan dengan kamera person-nya mendatangi BPOM Pusat untuk meminta ijin mengikuti razia obat di pasar. Ketika ditemui, petugas BPOM Pusat menyangkal ada razia hari itu. Tapi sang wartawan menolak untuk menyerah. Ia pun beranjak ke BPOM Jakarta. Melalui telepon ia berbincang dengan nara sumbernya di BPOM Jakarta dan telah mendapatkan ijin mengikuti razia yang akan mereka lakukan sore itu. Berangkatlah dengan cepat si reporter dengan kamera person ke kantor BPOM Jakarta. Ketika tiba di sana, keduanya disambut dengan baik. Nara sumber berjanji akan segera berangkat setelah personil sudah lengkap, karena masih ada satu lagi personil yang akan ikut namun belum datang. Si wartawan dan kamera person pun menunggu dengan sabar. Tak berapa lama si nara sumber kelihatan bergegas mendatangi si wartawan dan kamera person. Ia menginformasikan bahwa orang yang ditunggu sedari tadi sudah datang dan akan segera berangkat melakukan razia. Ternyata orang yang ditunggu-tunggu adalah petugas BPOM Pusat yang ditemui sang wartawan sebelumnya. Petugas itu kembali menegaskan bahwa sang wartawan tidak boleh mengikuti razia. Mungkin karena melihat kegigihannya, belakangan orang itu pun akhirnya mengijinkan Yoga Nugraha mengikuti razia.

Seorang Presenter Pria membaca berita dari Irak yang muncul di Teleprompter. Di prompter tertulis, “KORBAN LEDAKAN BOM DILARIKAN KE RUMAH SAKIT AL KINDI///”. Andrie Djarot lalu membaca tulisan di prompter itu sebagai berikut: “Korban ledakan bom dilarikan ke rumah sakit ANGKATAN LAUT Kindi”.

Seorang Presenter Wanita membaca berita dari Australia. Tulisan yang muncul di Teleprompter sebagai berikut: “BANJIR MENGGENANGI SEBAGIAN BESAR KAWASAN NEW SOUTH WALES///”. Namun, Pinky Andriyani membacanya seperti ini: “Banjir menggenangi sebagian besar kawasan New South WALLS.”. Untuk beberapa saat Show Produser terbengong-bengong sebelum memutuskan untuk me-retake pembacaan berita itu.

Seorang reporter yang baru ditugaskan di desk ekonomi sebuah harian terbit, bertugas di Departemen Keuangan. Teman-teman wartawan yang lain kebetulan tidak berada di tempat. Ia pun seorang diri ketika tiba-tiba Menteri Keuangan waktu itu, Boediono, keluar dari lift dan berjalan menuju pintu keluar lobby kantor Departemen Keuangan. Dengan sigap si reporter pun bergerak ke arah Boediono, mencegat dan menyodorkan tape recordernya. Boediono pun menghentikan langkahnya. Keduanya berhadap-hadapan. Si reporter melihat ke kiri dan kanannya. Ia menyadari tidak ada rekan sesama reporter di dekatnya. Beno pun mulai kehilangan akal apa yang akan ditanyakan. Boediono lalu bertanya, “Mau tanya apa?”�.

Seorang presenter mengantarkan segmen dialog sebuah program berita pagi usai membaca segmen olahraga. “Sesaat lagi kami akan kembali dengan dialog khas Nuansa Pagi dengan nara sumber Happy Bone (baca: “Boun”) Zulkarnaen.”. Ketika Bhayu Sugarda keluar dari ruang siaran ia pun berpapasan dengan Happy Bone (baca: “Bo-ne”) Zulkarnaen namun tak berani menatap matanya.

Thursday, November 26, 2009

Saya dan Helvy Tiana Rosa

by Bhayu Sugarda

Pertama kali kenal wanita bernama Helvy Tiana Rosa ketika seorang teman mengajak saya membuat film pendek berdasarkan salah satu cerpennya. Saya ketika itu pengangguran. Baru saja lulus dari sebuah Universitas di Australia. Sempat bekerja di sebuah pabrik plastik, yang kini kabarnya sudah tutup diterpa krisis. Hanya satu setengah bulan saya bekerja di pabrik itu. Padahal tiga bulan ke depan, saya telah dijadwalkan untuk menikah.

Saya tidak bahagia bekerja di pabrik itu. Saya merasa bekerja tanpa tujuan yang berarti. Selain itu sisi kreatif di kepala saya menuntut dipenuhi hak-haknya. Saya utarakan gundahku kepada calon istri dan niat saya untuk masuk ke industri televisi. Argumen saya ketika itu, “Mumpung saya masih memiliki titel ‘Fresh Graduate’.” Ia ketika itu memberi restu kepada saya untuk keluar dari tempat kerja saya di pabrik, walaupun dengan konsekuensi saya menikah sebagai seorang pengangguran. Tapi pilihan bersama telah jatuh dan kini tinggal kami menjalaninya.

Saya keluar dari pabrik plastik itu bulan Desember dan menikah pada bulan Februari 2002.
Sembari mengirim CV ke semua stasiun televisi yang ada di Jakarta, saya mulai merentas jalan di industri audio visual. Sebuah situs komunitas film independen menarik perhatian saya. Saya pun mendatanginya dan bertemu dengan teman-teman dalam komunitas itu. Saya pun menjadi dekat dengan salah seorang pengurusnya, seorang mahasiswa IKJ bernama Agres. Dari pertemanan inilah muncul ide membuat film pendek berdasarkan cerpen karya Helvy Tiana Rosa. Cerpen yang dipilih adalah cerpen yang menceritakan kisah seorang anak perempuan yang terjebak di tengah konflik di Sampit. Misi dari cerpen itu jelas, bahwa Sang Pencipta tak membedakan darah mahluk-Nya. Hanya akhlak yang membedakan satu dan lainnya. Saya pun tergugah untuk menyebarkan pesan yang sama menurut persepsi saya.

Saat itu, bermodal dengkul kami melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan film itu. Agress mempersiapkan proposal pembuatan film pendek itu, sedangkan saya membantu menghubungi pihak terkait dan perencanaan produksinya. Dengan proposal itu kami pun memberanikan diri ke Lantamal karena kami berniat menggunakan salah satu kapal Angkatan Laut sebagai lokasi syuting kami.

Kedatangan kami itu disambut baik oleh pihak Angkatan Laut. Salah seorang yang kami temui adalah Kapten Kadir. Ia membantu kami menemui atasannya untuk membahas rencana itu. Atasannya pun mengijinkan syuting dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Kami pun siap memenuhi persyaratan itu.

Tapi nasib berkata lain. Panggilan ke sejumlah stasiun televisi mulai gencar. Selain itu saya diberikan kesempatan untuk terlibat dalam redaksi sebuah majalah internal perusahaan milik seorang Paman. Pertengahan bulan Mei 2002, saya diterima di RCTI sebagai seorang reporter. Karier saya sebagai jurnalis televisi dimulai. Saya pun tak mampu terlibat aktif lagi dalam pembuatan film pendek itu. Bayangan seorang Helvy Tiana Rosa mulai hilang perlahan-lahan.

Perkenalan kedua saya dengan Helvy Tiana Rosa terjadi beberapa tahun kemudian. Ketika itu saya baru saja keluar dari RCTI dan diterima di sebuah perusahaan baru yang memasok konten untuk televisi berbayar Astro. Perusahaan itu adalah PT Adi Karya Visi. Salah satu pimpinan perusahaan itu mengundang seluruh karyawan untuk makan siang bersama di rumahnya. Saya pun dikenalkan ke sejumlah orang yang berada di situ. Salah satunya adalah Mas Tomi Satryatomo. Ia pun mengenalkan istrinya. Ketika istrinya menyebut namanya...saya terhenyak...saya kenal dengan nama itu. Perlu waktu bagi saya untuk mencerna semuanya sehingga ketika acara usai dan kami semua pulang ke rumah masing-masing, saya baru sadar bahwa saya baru saja bertemu dengan Helvy Tiana Rosa.

Saya bukan penggemar tulisannya. Saya belum pernah membaca bukunya satu pun. Saya...hanya membaca satu cerpennya...dan itu sudah cukup bagi saya untuk tergugah dan bertindak karenanya. Satu pelajaran yang saya ambil dari pengalaman ini, persinggungan kita dengan orang lain disadari atau tidak disadari mendorong kita dalam suatu langkah dan juga sebaliknya. Perilaku serta ucapan kita membawa orang lain sekaligus kita sendiri ke suatu takdir tertentu. Bahwa kita semua terikat satu sama lain.

NB: Maaf Mbak, kalo selama ini tidak pernah cerita langsung ke Mbak walaupun berulangkali muncul kesempatan untuk melakukan itu. Mumpung ada FB nih hehehe

Wednesday, November 25, 2009

Media Baru (New Media) sebagai fokus perhatian akademisi Komunikasi

Dampak Kemunculan Media Baru

Peristiwa pemboman kembali terjadi. Bom meledak pukul 7.47 Waktu Indonesia Barat tanggal 17 Juli 2009 di kawasan perkantoran Mega Kuningan. Sekitar pukul 8 lewat 12 menit berita itu telah tersebar melalui jaringan Black Berry. Situs mobile Liputan 6 belum memberitakan adanya ledakan bom. Sekitar pukul 8.56 WIB sebuah foto Tempat Kejadian Perkara pemboman tersebar melalui jaringan Black Berry. Tidak lama 2 foto lainnya juga mulai tersebar antara sesama pengguna layanan Black Berry. Situs mobile Liputan 6 pada pukul 9.02 WIB masih belum menampilkan berita terkait ledakan bom itu. Sekitar pukul 10.00 WIB pemberitaan pada situs mobile Liputan 6, detik.com dan Kompas.com sudah secara lengkap melaporkannya.

Ini hanyalah sedikit gambaran penggunaan jaringan internet nirkabel melalui layanan Black Berry saat sebuah peristiwa besar terjadi. Fungsi insitusi pemberitaan dalam peristiwa itu selama 2 jam pertama digantikan oleh warga setempat. Berita awalnya tersebar melalui SMS atau Black Berry Messenger. Konten yang disebarluaskan adalah dalam bentuk teks. Tak berapa lama konten yang tersebar sudah berupa foto atau visual. Barulah setelah itu, muncul konten berita terkini dalam bentuk audio visual di televisi secara LIVE atau LANGSUNG pada pukul 12.00 siang..

Berita yang bisa dikatakan tersebar 'dari mulut ke mulut' itu mungkin tidak memiliki krediblitas sama sekali seperti halnya berita yang berasal dari sebuah insititusi pemberitaan. Tapi berita dalam bentuk foto tanpa keterangan lebih lanjut saja sudah cukup bagi publik untuk menerimanya. Ketika berita tanpa kredibilitas itu benar adanya, maka masyarakat mulai memercayai sumber berita itu. Apakah itu teman ataupun kerabat keluarga. Sehingga setiap perkembangan berita yang datang dari sanak saudara mulai diyakini kebenarannya tanpa proses 'cek dan ricek' serta 'cover both sides'.

Menjelang Maghrib, sebuah email tersebar dan menjadi konsumsi pengguna layanan Black Berry dengan cepat. Isinya adalah cerita tentang seorang korban yang selamat dan tanpa sengaja mendengar omongan petugas dari Gegana Polda Metro Jaya tentang adanya ancaman 8 bom di penjuru Jakarta. Berita yang tersebar dari 'mulut ke mulut' itu pun diyakini sepenuhnya oleh sebagian orang sehingga jalanan pun menjadi sepi. Tapi itu pun kemudian dibantah pihak kepolisian melalui situs berita detik.com.

Dennis McQuail meyakini bahwa media adalah “jendela” bagi penonton untuk melihat dunia di luar lingkungan langsung mereka. Perkembangan 'media baru' perlahan mengubah perilaku pengguna media, khususnya media dalam bentuk berita audio visual. Media baru ini muncul dalam bentuk yang jauh lebih personal dan kecepatan penyampaian pesan yang tinggi. Media baru ini memiliki mobilitas yang juga tinggi sehingga bisa dinikmati kapan saja dan dimana saja. Namun, media baru ini memiliki dampak lain, yaitu menggabungkan dua ruang yang seharusnya tidak saling bersentuhan.

Perbedaan 'Media Baru' dan 'Media Lama'

Gerard Schoening dan James Anderson menyatakan bahwa pesan yang diciptakan media massa akan berusaha di-interpretasikan oleh penonton/penikmatnya dengan diskusi bersama anggota komunitasnya sehingga produk akhirnya adalah sebuah produk sosial. Karena itu penggunaan media massa dianggap sebagai aksi sosial. Sehingga pada hakekatnya, aktivitas menggunakan media massa berada pada ranah sosial dan bukan pribadi (diagram 1).

Tapi kenyataannya, 'media baru' memungkinkan media massa untuk bersinggungan dengan ruang pribadi karena 'media baru' itu tersedia melalui perangkat telepon selular. Konten media massa dalam bentuk teks, audio atau visual kini bisa dengan mudah dinikmati dalam bentuk SMS, MMS, Yahoo Messenger, push-email atau YouTube. Perangkat telepon selular yang sejatinya merupakan medium interpersonal menjadi medium massal terbatas.

Perbedaan 'media baru' dengan media televisi tidak berhenti sampai di situ. Televisi seringkali disebut sebagai media yang pervasif dalam arti memberi pengaruh kepada penonton secara sadar atau tidak karena televisi ada dimana-mana. Walaupun pada akhirnya penonton tetap memiliki pilihan untuk tidak menontonnya dengan cara menjauh atau mematikan perangkat televisinya. Mcleod dan Becker (1974:141) menegaskan bahwa selain kepuasan dicari atau ditemukan pada konten media massa tertentu, penghindaran atas konten tertentu juga terjadi. Pada dasarnya temuan Mcleod dan Becker adalah bahwa terjadi proses seleksi dari pengguna media massa terhadap konten yang diberikan kepada mereka. Tapi proses seleksi berhenti pada tahapan pemilihan program atau bahkan saluran/ channel (stasiun televisi) tertentu. Misalnya seorang aktivis politik lebih memilih untuk menyaksikan program berita yang dianggapnya lebih mengerti dan memahami pandangan politiknya dibanding program atau saluran yang dianggap salah memahami pandangan politiknya.

Pada 'media baru' yang terjadi adalah proses seleksi yang lebih konkret dan tidak hanya terbatas pada program atau salurannya saja. Proses seleksi dilakukan terhadap jenis berita (sport, hiburan atau berita lainnya), sub-kategori dari jenis berita itu (misalnya sport, kemudian seleksi beralih ke jenis olahraga) hingga klub atau kelompok olahraga tertentu (misalnya sepakbola, lalu beralih ke seleksi klub bola tertentu seperti Manchester United). Sehingga penonton tidak dihidangkan konten dengan berbagai selera lalu mencoba menikmatinya satu per satu, tapi penonton memiliki keleluasaan untuk mencari dan menemukan apa yang diinginkannya.

Perbedaan lainnya ada pada rutinitas yang terbentuk dari menikmati media. Seorang penikmat berita akan memiliki rutinitas tertentu yang terbentuk dari aksinya menyaksikan televisi pada waktu tertentu dari pagi hingga sesaat sebelum tidur pada hari itu. Riset yang dilakukan di Eropa (Ruben Konig, Karsten Renckstorf dan Fred Wester ) berdasarkan survey yang dibuat di Belanda pada tahun 1994. Hasil analisanya menyebutkan bahwa rutinitas yang terbentuk dari menonton berita televisi bisa dibagi menjadi 5 kategori. Pertama adalah rutinitas aktif, dimana pelakunya menyaksikan program televisi berita sembari mengomentari apa yang disaksikannya, kedua adalah orang yang suka menoton berita karena kebiasaan dan ketiga adalah orang yang menggunakan televisi sebagai latar belakang saat melakukan aktivitas lainnya. Untuk kategori keempat dan kelima, pelakunya adalah orang yang tidak begitu perduli terhadap apa yang disaksikannya dan orang yang menonton televisi sebagai kegiatan sekunder. Kelima kategori itu terbentuk saat pelakunya berusaha menyesuaikan aktivitasnya hari itu agar bisa duduk di depan televisi di rumahnya masing-masing dan menyaksikan program berita saat program itu ditayangkan.

Sementara 'media baru' bisa disaksikan kapan saja dan dimana saja. Artinya rutinitas yang terbentuk lebih beragam dibanding rutinitas yang terbentuk dalam menonton televisi. Penikmatnya bisa menonton konten berita dalam perjalanan pulang ke kantor atau saat menunggu giliran pemeriksaan dokter gigi. Penikmatnya juga bisa menonton konten yang disukainya kapan saja sehingga tidak terbatas pada jadwal tertentu.

Namun, 'media baru' belum sepenuhnya bisa dinikmati di beberapa negara karena sejumlah kendala. Salah satu kendala utamanya adalah infrastruktur. Di Indonesia misalnya, 'media baru' itu belum sepenuhnya bisa dinikmati secara massal karena beberapa hal. Antara lain jaringan 3G yang belum luas serta kecepatan unduh yang dimliki jaringan 3G. Perkembangan teknologi internet nirkabel terus terjadi dan beberapa di antaranya siap menggantikan peran jaringan 3G untuk memenuhi kebutuhan akan internet nirkabel. Teknologi itu diantaranya adalah WiFi, WiMax, 4G dan Digital TV.

Sebagai gambaran jaringan 3G memiliki kecepatan unduh data antara 9,6 kbps (kilobyte per second) hingga 2 Mbps (Megabyte per second). Sedangkan teknologi 4G kecepatan unduh-nya antara 100 Mbps hingga 1 Gbps (Giga byte per second). Sehingga materi yang diunduh bisa seketika diterima penggunanya, tanpa harus menunggu cukup lama. Sejauh ini materi yang dianggap konten yang paling besar datanya adalah konten audio visual. Teknologi akan terus berkembang sampai pada puncaknya, dalam hal ini adalah teknologi WiMax. Teknologi ini mampu memenuhi kebutuhan perangkat tetap sekaligus perangkat bergerak dengan kemampuan unduh mencapai 1 Gbps.

Menurut Gunawan Wibisono dan Gunadi Dwi Hantoro pada akhirnya seluruh teknologi yang disebutkan di atas akan mengerucut dan terjadi konvergensi sehingga menyatu menjadi satu teknologi baru yang disebut Next Generation Network. Bukan hanya teknologi tapi konvergensi juga akan terjadi pada bentuk layanannya. Seperti layanan Fixed Network (jaringan tetap seperti saluran telepon rumah), Mobile Network (jaringan telepon selular), Internet, Cable Network (jaringan kabel) dan Home Network (jaringan rumah) juga akan menyatu mejadi satu layanan teknologi baru. Contoh layanan Fixed Network misalnya adalah PSTN yang kemudian berkembang menjadi ISDN hingga DSL (teknologi yang memungkinkan jaringan pita besar – broadband – untuk layanan fax, telepon external dan internal). Begitu juga dengan Mobile network, layanannya antara lain SMS dan WAP perlahan tapi pasti terus berkembang menjadi layanan internet broadband seperti HSDPA, WiFi hingga WiMax. Layanan internet juga akan mengerucut dari layanan berdasarkan teks (text-based) menjadi layanan audio visual seperti IPTV (Internet Protocol Television). Sementara layanan jaringan kabel akan berkembang menjadi layanan Video On Demand. Di lain pihak, layanan jaringan rumah yang sebelumnya analog menjadi TV Dijital.

Pada dasarnya pengerucutan teknologi itu akan memungkinkan penyebaran konten media massa pada perangkat bergerak dan turut mendorong konvergensi layanan dengan konten audio visual sebagai hasil dari pencapaian tertinggi teknologi itu. Saat ini, masih terjadi perbedaan antara satu teknologi dengan lainnya. Misalnya penyebaran konten media massa ke perangkat bergerak bukan hanya bisa dilakukan melalui internet, tapi juga melalui frekuensi televisi digital. Saat ini, sejumlah konsorsium sedang mempersiapkan implementasi TV Dijital di Indonesia dan TVRI telah melakukan siaran percobaan menggunakan teknologi TV Dijital. Tapi bentuk layanan pada akhirnya akan sama, yaitu layanan berita dalam bentuk audio visual pada perangkat bergerak baik secara “online” maupun “offline”.

Arah Penelitian Konten Berita Audio-Visual

Penelitian terkait berita dalam bentuk Audio Visual khususnya analisa konten maupun dampaknya pada penonton telah banyak dilakukan di negara Barat. Negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat telah banyak melakukan riset soal itu, meski dengan penekanan yang berbeda. Penelitian yang dilakukan di Eropa lebih fokus pada dampaknya terhadap penonton. Sedangkan di Amerika Serikat, penelitian lebih difokuskan pada analisa konten pemberitaan televisi dan faktor yang mempengaruhinya.

Kondisi ini terjadi secara alamiah. McQuail, Renckstorf dan Jankowski menjelaskan dalam jurnalnya bahwa penelitian di Eropa mengenai dampak pemberitaan televisi pada penontonnya telah berlangsung sejak tahun 60-an. Dalam 2 dekade setelah itu, penelitian soal pemberitaan televisi diarahkan pada riset konten dengan pendekatan kritis, riset dampak kultivasi pemberitaan pada persepsi penonton dan riset mengenai dampak pemberitaan televisi pada perilaku penonton. Namun, belakangan penelitian yang dilakukan lebih memberi perhatian kepada dampak pemberitaan televisi terhadap penonton.

Sementara di Amerika Serikat, penelitian lebih fokus pada dampak televisi secara umum terhadap penontonnya. Shoemaker dan Reese dalam bukunya menjelaskan bahwa penelitian akan dampak televisi secara umum pada penonton telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Selama 4 dekade berbagai topik penelitian seputar dampak televisi muncul, antara lain riset tentang siaran radio “The Invasion from Mars” pada tahun 1940 dan analisa konten soal “Violence and The Media” pada tahun 1969. Kemudian pada tahun 70-an penelitian lebih fokus pada fungsi Agenda Setting Media Massa. Salah satu penelitian yang dianggap superior adalah penelitian McCombs dan Shaw pada tahun 1972 di kota Chapel Hill, Karolina Utara. Penelitian itu menyebutkan bahwa media menentukan pada yang dipikirkan oleh warga Chapel Hill. Penelitian ini menguji fungsi Agenda Setting dari media massa.

Baru setelah itu, penelitian menjadi lebih fokus pada konten pemberitaan dan faktor yang mempengaruhinya. Sejumlah penelitian yang dilakukan antara lain soal konten berita luar negeri di Amerika Serikat (Herbert Gans, 1979), penelitian tentang pemberitaan konflik industrial pada tingkat internasional yang dilakukan majalah Time dan Newsweek (Perry, 1980) serta penelitian tentang berita luar negeri yang didominasi CNN (Jamieson & Campbell, 1992).

Bukan tanpa alasan arah penelitian atas penggunaan televisi bergerak ke arah riset konten. Sejumlah peneliti menyakini penelitian konten terbengkalai akibat fokus berlebihan terhadap penelitian tentang penonton televisi. Shoemaker (1996:18) meyakini bahwa bias individual sebagai bagian dari budaya di Amerika Serikat merupakan alasan utama arah penelitian yang cenderung mengabaikan riset konten. Padahal menurutnya, ini adalah bagian penting dari pemahaman sepenuhnya tentang dampak menonton televisi, karena keduanya saling melengkapi.

Pendapat itu juga diyakini rekannya dari Eropa. Jankowski dan Van Selm (2001, p.389). Keduanya berpendapat bahwa penelitian lebih lanjut harus dilakukan berkaitan dengan penggunaan situs internet sebagai nilai tambah bagi sejumlah insititusi media internasional. Salah satu fungsi media massa adalah mendorong terciptanya diskusi atau debat publik. Saat ini ada kekhawatiran bahwa fungsi media sebagai pemicu debat publik mulai diabaikan pelakunya dan ruang di dunia maya dianggap memiliki potensi memaksimalkan fungsi itu. Dalam bentuk kalimat tanya, arah penelitian itu menjadi: “Sampai sejauh mana surat kabar online dan situs online televisi mempromosikan dan memberi kontribusi atas keterlibatan masyarakat di arena publik?”. Sekedar catatan beberapa situs online dari intitusi pemberitaan televisi di Amerika maupun di Eropa telah menyediakan bagian khusus untuk presentasi audio visual secara “online”.

Sejalan dengan itu McQuail berpendapat bahwa penelitian tentang televisi atau konten berita audio visual memiliki arah penelitian yang harus dipertimbangkan peneliti. Sejumlah isu yang dianggap penting untuk diteliti dan masuk kategori arah penlitian 'mainstream', antara lain:
- Proses seleksi berita dan fungsi penjaga pagar/gatekeeping dari media
- Konten dan arus informasi
- Dampak berita dan efektifitasnya
- Penonton berita
- Kerangka kerja teori

Belajar dari pengalaman penelitian selama 30 tahun terakhir di Eropa, beberapa hal yang dianggap penting untuk diteliti lebih lanjut antara lain:
- Norma dan nilai dari pembuatan berita
- jaringan sosial sebagai sumber dan agen sosialisasi
- eksposur terhadap berita dan menonton berita televisi sebagai aktivitas sosial
- interpretasi dari produk pemberitaan, komprehensi dan evaluasi
- rutinitas yang terbentuk dari menonton televisi dan aksi penyelesaian masalah aktif
- pola perilaku menonton dan pandangan profesional

Namun, perlu ditekankan di sini bahwa penelitian yang disebutkan di atas adalah unik untuk masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa. Khusus penelitian berkaitan dengan dampak aksi menonton televisi sangat bergantung pada kultur dan demografi responden di negara masing-masing. Dari segi demografi, beberapa hal yang memengaruhi dampak pemberitaan televisi terhadap penonton adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial dan personalitas. Faktor lain yang juga bisa memengaruhi dampak itu adalah atribusi cerita, konstruksi naratif, pengemasan program, dampak presentasi sosial dan penjadwalan program.

Invasi ruang publik pada ruang pribadi

Saturday, February 14, 2009

Behind The Scene: Pemberitaan Tempo soal pemerkosaan tahun 98

Institut Studi Arus Informasi menuding Pers gagal melakukan tugasnya dalam kasus Pemerkosaan etnis Tiong Hoa. Kasus itu tak terungkap hingga kini. Terungkap dalam arti benar tidaknya kasus itu terjadi. Pertanyaan mendasar pun dari What, When, Where, Who-nya pun tak terjawab. Kemana Pers Indonesia?


Lalu dampak apa yang dicari dari pengungkapan kasus ini? Jika benar terjadi – dampak yang dicari adalah pengakuan bahwa pemerkosaan benar terjadi dan proses hukum berjalan untuk mencari pelakunya. Skenario yang selama ini berlangsung adalah bahwa kasus itu tidak pernah terjadi. Pemerintah pada saat itu pun dengan tegas menyatakan bahwa pemerkosaan tak terjadi. Apakah Pemerintah bisa begitu saja menyatakan sebuah peristiwa pelanggaran hukum tak pernah terjadi tanpa melalui proses hukum?


Tim gabungan pencari fakta dibentuk dan menemukan 52 kasus pemerkosaan etnis Tiong Hoa. Special rapporteur dari Komnas HAM PBB mengkonfirmasi klaim itu. Tak satu pun yang maju ke meja hijau. Kebenaran Pemerintah tak terbantahkan oleh fakta. Bagaimana dengan kebenaran korban?


Saya berusaha mencari jawaban kenapa kegagalan Pers itu terjadi. Muncul dugaan di kepala saya bahwa ketertutupan etnis Tiong Hoa mungkin mencegah Pers mendapatkan fakta jelas tentang apa yang terjadi. Namun, benarkah seperti itu? Karena itu saya mewawancara Arif Zulkifi, Redaktur Pelaksana Tempo. Berikut kutipan wawancara saya dengannya.


(Q) Stanley dari ISAI menyebutkan bahwa Pers gagal mengungkap kasus pemerkosaan etnis Tiong Hoa tahun 98. Anda setuju dengan pernyataan itu?


(A) Pers itu berbeda dengan jaksa dan intel dan segala macam yang punya hak untuk memaksa orang untuk ngomong...kita gak punya, menurut gua, kita gak punya hak itu. Yang kita punya adalah kemampuan membujuk atau kemampuan untuk mempersuasi khan. Itu kira-kira...tingga pintar-pintarnya aja loe mempersuasi orang untuk ngomong, khan kira-kira gitu. Itu satu...yang kedua, karenanya kalo kita mau ngomong soal basis legal dari UU pokok pers, itu khan kebenaran yang diungkap pers khan kebenaran dalam satu term waktu tertentu gitu khan. Misalnya dalam waktu setahun kami menemukan kebenaran ini – kami tulis dalam tahun itu. Tapi kalo pada tahun berikutnya kebenaran itu berubah, media tidak bisa disalahkan. Kia-kira begitu ya udah kalo gitu loe ungkap lagi dong kebenaran pada tahun berikutnya. Yang boleh jadi 180 derajat berbeda dengan kebenaran pada tahun yang bersangkutan. Kita bicara filosofinya dulu. Kalo begitu media bisa disalahkan dong kalo temuannya berbeda dengan fakta sebenarnya pada tahun berikutnya? Tidak! Dia tidak bisa disalahkan, asalkan dia bekerja secara profesional dan mengikuti kaedah-kaedah jurnalistik. Apa itu kaedah-kaedah jurnalistik? Cover both sides. Cover all sides, check and re-check, tidak terima amplop, tidak mau disuap, khan itu intinya.


Bagaimana dengan perkosaan '98, loe liat judulnya dari Tempo...Perkosaan: Cerita dan Fakta. Cerita artinya omong-omong di warung kopi, fakta...apa yang kita temukan...kira-kira begitu. Dan memang pada tahun itu kita gak menemukan tuh hard fact yang mengatakan jelas-jelas baha ada perkosaan itu terjadi. Yang dimaksud hard fact itu – orang ngomong 'on the record', bisa dicatat...kalo di TV mau on-screen...ini khan nggak, semua orang ngumpet-ngumpet, semua serba kabur. Berapa jumlah dan sebagainya.


(Q) Pada saat itu ada yang melaporkan ke polisi?


(A) Gak ada sama sekali.


(Q) Tidak ada satu pun korban perkosaan yang melaporkan ke polisi?

(A) Gak ada. Tidak ada laporan polisi yang bisa mendukung fakta kejadian itu.


(Q) Apakah salah satu alasannya karena kita tidak punya akses langsung ke komunitas Tionghoa?


(A) Ya bukan semata-mata karena etnis Tionghoa-nya...tapi gua bisa pahami korban perkosaan bos, gimana dia mau declare dia mau ngomong itu. Ada sanksi masyarakat dan sebagainya khan. Jadi gak bisa semudah itu.


(Q) Bisa gak disebut bahwa kita gagal masuk ke komunitas Tionghoa untuk megungkap kasus ini?


(A) Gua mau pake kata begini aja...'Wartawan belum mampu mengungkap ini dari “first hand” source' atau dari sumber tangan pertama. Yang bisa kita lakukan adalah 'second hand' source – orang yang merawat, membantu, asistensi dan sebagainya.


(Q) Bukankah kita punya kewajiban untuk melakukan itu?


(A) Oh...Iya! Tapi kita belum mampu melakukan itu.


(Q) Belum mampu atau tidak ada komitmen kuat dari redaksi untuk melakukan itu?


(A) Tidak mampu! Kalo komitmen sangat kommit.


(Q) Tidak mampu kenapa?


(A) Yah karena itu tadi penetrasi kita terbatas untuk mencapai sumber...untuk membujuk orang agar mau ngomong 'on screen', 'on the record' sebagaimana standar high-quality journalism gitu yah. Belum mampu kita, belum nyampe! Mungkin next time...kenapa nggak? Gitu. Gua sih terbuka sekali untuk mengungkap itu gitu lho, kalo memang apa namanya bahan-bahannya gitu, sumber-sumbernya ada gitu. Sama sekali gak ada karena preferensi dan sebagainya gak ada!


(Q) Sejumlah aktivis pada waktu itu berusaha menjadi konsuler tapi kemudian salah satunya ada yang meninggal...tewas dan ada juga aktivis lainnya yang mendapat ancaman. Bukankah sebenarnya itu momentum bagus untuk mengungkap kasus itu?


(A) Oh ya iyah tapi coba deh loe bicara ama aktivis-aktivis yang meng-asisteni korban-korban itu, berhasil gak loe membujuk dia untuk mempertemukan kita dengan si korban. Sebagai wartawan...gak! Bahkan mereka pun mengungkapkan gak mau. Sehingga gua bisa paham kalo pembaca berpikir bahwa ini ada gak sih sebetulnya? Khan gitu khan. Ini ada orang yang asisteni ngomong-ngomong cerita tentang bagaimana dia menderita dan sebagainya. Tapi gak pernah di-disclosure gak pernah mau dibuka identitasnya begitu...dan semua dengan argumentasi mereka trauma, mereka takut dan sebagainya gitu. Nah kalo elo mau bilang bahwa itu adalah kegagalan wartawan gua setuju. Kegagalan untuk membuka itu.



(Note: Wawancara ini sebenarnya saya lakukan akhir tahun lalu...tapi baru sekarang bisa saya buat karena sebenarnya saya ingin melengkapi laporan saya sehingga lebih balance dengan data yang cukup, tapi belakangan semakin terbengkalai malah. Saya sampaikan kembali bahwa ini adalah 'Work in Progress' and should not be treated otherwise.)

Amir yang Mahir


(Sabtu, 14 Februari 2009)

Seorang berkaos abu-abu naik ke atas panggung sambil membawa gitar. Sebelumnya sejumlah calon legislatif duduk di panggung yang terletak di samping teras kantor Kontras itu. Mereka adalah caleg dengan berbagai latar belakang, seperti aktivis, akademisi dan fungsionaris ormas. Namun, keenamnya mengaku membawa pesan kemanusiaan dan perubahan. Sebuah dialog publik digelar di atas panggung itu, tapi kini...si pembawa gitar berkaos abu-abu itu akan menggelar dialog hati.


Amir membuka aksinya dengan menyapa warga yang menghadiri dialog publik itu. Sepertinya mereka mengenalnya, sehingga mereka pun tersenyum dan menganggung-angguk ke arahnya. Amir adalah salah satu peserta sayembara cipta lagu untuk Munir yang terpilihnya lagunya dalam 10 besar. Ia pun menyanyikan lagu ciptaannya untuk Munir.


Berikut lagu yang dibawakannya saat itu. (klik di sini)


Amir berusia 26 tahun. Ia kuliah di UIN Ciputat, sudah semester 14 dan sedang mengerjakan skripsi. Jurusan yang diambilnya adalah Perbandingan Madzab Fikih, Syariat dan Hukum. Skripsi yang dikerjakannya adalah mengenai Munir. Tapi bukan hanya itu kegiatannya. Setiap pagi sebelum kuliah, ia membantu jualan Soto milik Pamannya.


Ketika saya tanya apa yang mendorongnya untuk membuat lagu untuk Munir, ia pun menjelaskan bahwa keberanian Munir yang memberi inspirasi kepada dirinya.



Berikut kutipan wawancara saya dengan Amir. (klik di sini)

Usai wawancara kami masih sempat berbincang-bincang lebih jauh. Ia sadar bahwa ada yang menuding Munir mendapatkan dana dari luar negeri sehingga agendanya pun mengikuti pemberi dana. Tapi komentarnya soal ini adalah sebagai berikut: “Tapi dia berjuang buat siapa? Selama perjuangannya itu bisa bermanfaat untuk orang yang membutuhkan kenapa tidak?”.


Di kampus pun, Amir sering berdiskusi dengan teman-temannya. Mereka kebanyakan mempertanyakan apa gunanya mengungkit masa lalu? Baik itu peristiwa tahun '98, perlakuan atas Eks PKI dan lainnya. Amir pun meminta mereka untuk membayangkan perasaan korban saat ada anggota keluarga mereka yang diambil secara paksa di depan mata mereka. Lebih lanjut ia mengaku baru mengerti setelah ia bertemu langsung dengan para korban dalam acara Kamis-an di kantor Kontras. Menjelang akhir pembicaraan kami, Amir menegaskan, “Saya membela kemanusiaan.”.


(Note: This is a work in progress. Yang coba saya lakukan di sini adalah mewawancarai sebanyak orang tentang berbagai hal terkait pelanggaran hak asasi manusia dan merekamnya dalam blog saya. Karena saya mengerjakan ini di luar jam kerja saya, maka keberimbangan belum tentu akan muncul dalam satu artikel. Tapi saya berjanji untuk melengkapi laporan saya agar bisa memenuhi azas cover both sides. Artikel terkait dari pihak yang berseberangan akan saya tulis sebagai artikel tersendiri dan dibuat tautannya ke artikel sebelumnya. Let me emphasise once more that this is a work in progress and should be treated as such. Thank you for your appreciation.)