Wednesday, April 25, 2007

Idea of interview


Ini sebenarnya lebih ke curhat dibanding analisa, berdasarkan sejumlah artikel, perbincangan maupun masukan dari negeri paman sam yang pernah aku dengar dari berbagai sumber.

Ada semacam keengganan untuk meng-ilmu-kan 'broadcast journalism' dengan alasan khusus untuk binatang satu ini, 'skill' dianggap lebih penting dibanding teori. Pengajar di PJTV - Pendidikan Juralistik Televisi, Horea Salajan, saat saya tanya apakah ada buku yang bisa dia recommend untuk mempelajari bagaimana memproduksi program berita - dari konsep,
show maupun penyusunan rundown - Horea hanya mengatakan seperti ini: "Ibaratnya kamu sudah bisa bermain sebuah instrumen musik. Apa pun itu, gitar misalnya. Untuk menulis lagu, kamu hanya perlu menggunakan kreatifitas kamu. Tidak ada buku yang bisa mengajarkan kamu membuat lagu, kan?."

Bahkan dia mengusulkan untuk membaca buku-buku novel klasik dari abad 18. Karena menurut Horea, dengan membaca novel-novel klasik itu, kita akan bisa lebih mendalami interaksi antar manusia dan nilai-nilai yang penting bagi manusia.

Selain itu, sejumlah universitas di jakarta, menawarkan program d-3 - untuk broadcast journalism. Sedangkan S-1 Jurnalistik, mata kuliahnya lebih menekankan pada jurnalisme cetak.

Tapi kemudian, setelah memperhatikan komponen yang ada di produksi pemberitaan televisi, keengganan itu mungkin ada benarnya. Karena 'broadcast journalism' adalah semacam hybrid sejumlah ilmu yang sudah ada. Dari sinematografi, jurnalistik, teknik hingga manajemen.
Gabungan antara seni dan teknik.

Berdasarkan pemikiran ini, muncul semacam pandangan yang menarik dalam diri saya - soal live interview, atau biasa disebut dialog.

Ada unsur drama yang berusaha ditawarkan program dialog. Namun, tidak hanya itu. Dialog informatif - memberikan penjelasan kepada sesuatu yang dianggap rumit DAN dialog yang sifatnya 'revealing' atau mengungkap sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

Coba perhatikan panggung dialog dari layar televisi. Panggung ini terdiri dari dua pemain minimal. Seorang pembawa acara atau mediator, dalam hal ini 'anchor' dan si nara sumber. Ada suatu permasalahan atau 'konflik' yang ditawarkan dalam panggung dialog ini, sehingga patut dan diangap penting untuk dibicarakan. Konflik inilah yang kemudian menjadi pusat perhatian kedua 'tokoh' atau karakter di atas panggung ini. Seperti layaknya pertunjukan teater, pertunjukan - atau show - dari dialog ini menimbulkan reaksi emosional pemirsa. Apakah membuat pemirsa
tertawa, geli, tegang, sedih, terharu, berfikir atau mendapatkan pencerahan.

Dalam artikel tentang 'live interview' kiriman mailist PJTV juga yang dikutip dari sebuah publikasi di negeri paman Sam, disebutkan bahwa live interview kini semakin sulit, karena nara sumber kini lebih 'media savvy' dengan kuasa hukum nara sumber memastikan konten dialog tidak
akan merugikan kliennya. Selain tentunya, keterbatasan durasi, yang tidak memungkinkan 'anchor' untuk memperdalam materi permasalahan dan efektif dalam menimbulkan reaksi pemirsa. Dalam artikel itu juga disebutkan karena inilah, show seperti oprah winfrey atau jay leno lebih efektif dan diminati pemirsa. Dimana perbincangan lebih fokus pada siapa dibalik nara sumber ini. Cerita seperti masa kecilnya dulu, perjuangannya sebelum menjadi seorang figur publik, atau cerita dibalik karya terbaru si nara sumber.

Bagi saya sendiri, dialog dalam acara seperti oprah winfrey, jay leno, david letterman, parkinson atau larry king - merupakan kesempatan untuk melihat sisi lain dari tokoh atau bintang yang saya kagumi, sekaligus memberikan inspirasi atau harapan dalam hidup saya. Apakah untuk menjadi sukses, atau untuk menjadi seorang yang lebih baik.

Namun, di panggung dialog ini, nara sumber bukanlah satu-satunya tokoh yang bisa menonjol. 'Anchor' adalah satu lagi tokoh yang berbagi panggung dialog dengan nara sumber.

Komentar menarik dari seorang korlip di kantor saya, saat itu ia menyaksikan dialog larry king dan shania twain. Ia pribadi tidak merasa 'dekat' dengan shania twain. Saya tahu dia bukan salah satu
penggemar shania twain. Tapi dialog itu tetap menarik buat dirinya karena ia memperhatikan larry king. Sempat terucap dari mulutnya, betapa enaknya menyaksikan larry king mewawancarai nara sumbernya.

Intinya, saya melihat adanya benang merah antara 'show dialog' dengan 'panggung teater'. Ada konflik, ada dua tokoh sentral, ada plot cerita - dalam hal ini 'alur dialog'.

Kekuatan dialog bisa berasal dari karakter kedua tokoh sentral ini. Perhatikan dialog Putra Nababan dengan Hendropriyono di Seputar Indonesia. Hendropriyono dengan arogan dan gamblang menantang TPF. Jack Nicholson dalam 'Few Good Men'? (Genre Thriller) Atau dialog Rosiana Silalahi dengan pemulung yang harus membawa mayat anaknya sendiri ke bogor untuk dimakamkan karena tidak punya uang untuk menyewa mobil jenazah. Saat Rosi bertanya: "Apa yang Bapak katakan kepada polisi setelah berada di kantor polisi selama empat jam?" - si
pemulung pun tak kuasa menahan tangis. (Genre Drama)

Permasalahannya kini adalah pertanyaan seperti apa yang bisa menimbulkan 'reaksi' - sekali lagi 'reaksi' - dari nara sumber seperti yang kita inginkan. Kemampuan memanipulasi emosi nara sumber menjadi penting. Dalam peliputan pun kita seringkali melakukan hal yang sama, karena seperti yang diajarkan PJTV - ekspresi-lah yang dicari dalam wawancara.

Namun, fokus dialog bisa beralih ke si 'anchor'. Bayangkan melihat si anchor menanyakan pertanyaan gamblang yang ada di kepala kebanyakan orang atau pemirsa di rumah. Atau gayanya? Kepercayaan dirinya? Atau empatinya? Bayangkan melihat dialog dimana si anchor menepuk pelan tangan nara sumber yang baru saja menitikkan air mata saat menceritakan
penderitaannya. Bukankah mendengar cerita nara sumber, kebanyakan orang akan tergelitik menepuk pelan tangannya atau menepuk bahunya?

Dialog antara SBY dan Salim Said misalnya. Pertanyaan yang diajukan Salim Said begitu gamblang dan berada di kepala kebanyakan orang. Akibatnya, jawaban SBY pun menjadi gamblang. Ada bagian dimana SBY tersenyum geli sendiri saat Salim Said menanyakan insiden dimana protokol Amerika Serikat menyebut dirinya Susilo Bambang Yoko-ono. Bagi saya, sangat menarik melihat Salim Said dalam dialog itu.

Contoh lainnya mungkin adalah program 'Hard Talk' di BBC. Dalam hal ini saya melihat adanya upaya anchor untuk mewakili pemirsa yang selama ini sinis terhadap sejumlah permasalahan yang ada. Si anchor berusaha keras membuang 'akses lemak' atau 'tai kucing' yang biasanya 'menggemuk' saat dialog berlangsung - apakah itu untuk menjaga perasaan nara sumber atau
karena permasalahannya dianggap sensitif. Saya pun asik melihat si anchor menanyakan pertanyaan sinis yang ada di kepala saya.


Saya melihat ini adalah inti dari panggung dialog. Sisanya adalah 'gimmick'. Misalnya paket berita di awal dialog. Mudah2-an curhat saya ini berguna buat kita semua.

Bhayu Sugarda

No comments: