Wednesday, April 25, 2007

Diskusi Investigative Reporting - IJTI

Berikut hasil ngemeng-ngemeng dengan jurnalis tv David O’shea dari stasiun FTA SBS di Australia. Program in-depth-nya di SBS adalah ‘Dateline’. Selain ‘Dateline’ di Australia juga ada 60 minutes (versi Australia) dan Current Affair. Dateline berbeda dengan dua program lainnya karena ‘story’ disampaikan melalui sudut pandang seorang reporter. Topik yang dibahas antara lain konflik di Gaza, Timor Leste, Aceh dan Terorisme di Indonesia. Reporter tidak selalu muncul dalam segmentasi program ini, namun, pembawa acara memberitahu pemirsa bahwa laporan yang akan ditayangkan adalah laporan si reporter. Contoh, “Berikut ini laporan David O’shea dari Timor Leste”.

Diskusi dibuka dengan ‘curhat’-nya dia bahwa pemerintah Australia mulai membredel satu per satu jajaran produksi ‘Dateline’, mulai dari executive producer sampai supervising producer. Alasannya karena Dateline dianggap menyudutkan pemerintah Australia dengan laporan keterlibatan Australia dalam politik negara-negara Asia Pasifik seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon dan Timor Leste. Keterlibatan itu sendiri demi kepentingan Australia, seperti minyak di Timor Leste,dll. Selain keinginan untuk menjadi deputi sherrif AS di Asia Pasifik. Hehehe. Satu per satu mulau dipecat.

Kemudian diskusi menjadi hangat karena mulai menjurus ke teknik junalisme investigasi. Tapi pada akhirnya, komentar David hanya seperti ini, “tapi bisa gak kayak begitu di Indonesia?” (Dia lancar bahasa Indonesia).

Lalu kita ditunjukkan laporan satu jam yang dia buat tentang terorisme di Indonesia. Bukan hanya bom bali tapi juga di poso. Dengan laporan ini, ia menggambarkan keterlibatan intelijen Indonesia dalam aksi terror di Indonesia sendiri. Persenjataan kelompok provokator di poso ternyata milik tni – ada visualnya diperlihatkan amunisi dengan tulisan sebagai bukti bahwa itu milik tni ad. Selain itu, visualisasi da’I bachtiar lagi ngobrol dengan anggota dpr lagi cerita dia baru pulang dari pentagon lalu mendapatkan bantuan dana dari amerika untuk melawan terorisme. Da’i cerita bagaimana dia diperlakukan istimewa di pentagon dan sebagainya sembari tertawa dengan anggota dpr. Gambaran bahwa polri punya kepentingan dengan banyaknya aksi terror di Indonesia terlihat jelas tanpa bicara banyak. Sequence berikutnya adalah da’I bachtiar turun escalator di gedung baru dpr di-iringi musik ‘upbeat’ layaknya soundtrack film saat sang jagoan jalan. (tanpa bicara benar tidaknya tuduhan keterlibatan tni polri dalam aksi terror di Indonesia, namun, ini adalah cara menarik untuk menyampaikan ‘thesis’ atau pandangan si jurnalis.).

Hal yang sama juga dilakukannya saat pertemuan antara da’i bachtiar dengan ketua BIN baru Syamsir siregar. Usai pertemuan, wartawan seperti biasa wawancara da’i bachtiar. Sebelum masuk ke soundbyte-nya Da’I, narasi menyebutkan “after the meeting he only gave us a bland comment about the latest situation.”. Narasi lalu berlanjut dengan menceritakan siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu. Timbul Silaen, mantan kapolda tim-tim. Narasi menyebutkan, “what was the late chief of police in the former East Timor doing in this meeting?”. Berikutnya vox pop ibu-ibu di poso yang ditanya kenapa tidak ada saksi dalam beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi di sana, hanya bilang “ada gerakan tutup mulut, karena takut. Apa? Karena Takut. Ya Takut!” (sepertinya asisten David O’shae sama budegnya kayak ulung. Hehehe)

Berkali-kali ia mengatakan ‘this is funny’ kalo ada visual menarik dari liputannya. Salah satunya demonstrasi yang dilakukan pasukan jihandak, tapi kemudian salah satu petugas lupa memasukkan film ke alat x-ray yang mereka miliki. Kepanikan mereka saat tahu tidak ada film di dalam mesin x-ray di-roll begitu saja, dengan audio nat.sound yang lengkap. (Ternyata kata dio, David waktu di poso pake mic panjang di atas kameranya sehingga bisa tajam menangkap audio.). Belakangan dia bilang begini, “remember, tv itu kan hiburan jadi apa pun..yah harus menarik supaya pemirsa saya tidak pindah channel.”.

Dia mengatakan itu setelah ditanya soal pendekatan kemanusiaan dibanding penyelidikan kasus dalam liputan investigasi. Pertanyaannya adalah liputan “investigasi” (atau diakui sebagai investigasi walaupun hanya in-depth reporting) di Indonesia (paling tidak selama ini di FTA) fokus kepada pengungkapan sesuatu yang baru terkait kasus tertentu. Cara bertuturnya pun lebih pada data-data baru dan bukan ‘pelaku’-nya, langsung atau tidak langsung. Seperti contoh Da’i Bachtiar tadi. David hanya bilang, “orang kan nonton tv untuk lihat orang…”.

Lalu Dhandy, korlip RCTI, tanya sama dia, dari sekian banyak liputan yang dia buat, mana yang bisa diklasifikasi sebagai investigasi. Ia hanya menyebutkan liputan soal terror di Indonesia ‘bisa’ dikategorikan sebagai investigasi, tapi ia menekankan yang dilakukannya mungkin ‘baru’ bagi pemirsa Australia tapi mungkin tidak baru lagi bagi pemirsa Indonesia. Sedangkan liputannya di Timor Leste (lengkap dengan tembak2an usai wawancara dengan Alfredo Reinado) dikatakannya sebagai situation report. Liputan Timor Leste dikatakannya sebagai contoh bagus untuk liputan investigasi yang gagal. Tujuan liputannya sebenarnya adalah membuktikan keterlibatan Australia dalam krisis politik di Timor Leste. Tapi gagal. Sementara liputannya tentang kasus Munir, dia mengatakan, “investigasi saya adalah baca majalah tempo!”, sambil tertawa.

Amrul kamerawan Astro (cie-cie Amrul) lalu komentar, “liputannya dia konsentrasi ke reporting yah…jadi menunggu momen yang dicari.” (David soalnya VJ – kebanyakan visual dia ambil sendiri).

Terakhir, soal label investigasi. David bilang, definisi investigasi bagi dia adalah ‘revealing something’. Tapi kemudian dia mengatakan setiap hari jurnalis di program harian kan selalu mengungkap sesuatu yang baru juga. Jadi sulit mendefinisikan suatu liputan itu investigasi atau bukan. Sementara di kampusnya dulu (UTS – University of Technology Sydney) tidak dibahas tentang investigative journalism karena masih diperdebatkan. Dia pun setuju kebanyakan yang dilakukan adalah in-depth reporting.

Solusi: Banyak2 nonton program ‘in depth’ dari negara-negara lain supaya dapet ide baru cara bertutur kali yeh…

Interesting facts & comments:

- Michael Moore’s ‘Fahrenheit 911’ investigasi gak? David: “Bukan. Itu Dokumenter.”
- Biaya produksi rata2 AUS$ 10,000,- kalo termasuk post pro AUS$ 15,000,-an. Massa produksi 6 minggu rata-rata.
- Rekonstruksi sesaat sebelum almarhum Munir meninggal, dibuat dengan menggunakan ‘mata kamera’ sebagai ‘mata Munir’.
- David:”Liputan investigasi paling 3 kali dalam setahun”. Untuk program setiap minggu, Dateline juga menampilkan profile dan human interest. Jadi tidak setiap minggu in-depth.

Segitu dulu kali yeh…

Bhayu Sugarda

No comments: