Wednesday, April 25, 2007

Kasus thalidomide dan pasca banjir

Seno Gumira Ajidarma menulis artikel di ‘Djakarta – the magazine’ soal pasca banjir. Ia mengecam intitusi media yang tidak memberiktakan kondisi korban banjir pasca banjir. Padahal menurut dia, kondisi pasca banjir justru yang paling meresahkan masyarakat. Orang yang tidak bisa minta bantuan orang bayaran untuk membersihkan rumah mereka dan harus hidup dengan bau menyengat khas banjir di rumahnya selama beberapa minggu. Belum lagi yang ada di pengungsian. Di akhir tulisannya ia pun mem-vonis bahwa media memang begitu… “aku ada, karena aku menggemparkan.”…tidak lebih dan tidak kurang.

Lalu apa hubungannya dengan kasus thalidomide?

Thalidomide adalah kasus obat yang digunakan ibu hamil di Inggris pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an, untuk mengurangi dampak muntah-muntah saat hamil atau ‘morning sickness’. Antara tahun 1956 hingga tahun 1962, sekitar 10 ribu anak lahir cacat. Kasus paling parah adalah seorang anak lahir tanpa tangan dan kaki. Dalam periode tersebut, pemberitaan mengenai hal ini begitu gencar. Kasus tuntutan keluarga korban kepada perusahaan farmasi asal Jerman, Grunenthal, berlangsung bertahun-tahun. Pada akhirnya, keluarga korban rata-rata mendapatkan ganti rugi sebesar 15 ribu sampai 20 ribu pounds atau sekitar 40 ribu dolar amerika. Padahal biaya untuk kebutuhan khusus yang diperlukan korban akibat cacat seumur hidup - kurang lebih 100 ribu pounds. Ini berarti hanya seperempat dari apa yang berhak mereka terima.

Sepuluh tahun kemudian, koran the Sunday Times, memutuskan untuk membongkar ‘kelalaian’ yang dilakukan perusahaan farmasi Grunenthal. Investigasi yang mereka lakukan menunjukkan perusahaan farmasi itu tidak melakukan penelitian dampak thalidomide pada konsumen utama obat itu – yaitu ibu hamil. Padahal penelitian pengaruh obat pada ibu hamil dengan menggunakan binatang telah dilakukan perusahaan farmasi dunia sejak tahun 1950-an. Namun, mereka menghadapi kendala undang-undang yang melarang pemberitaan terkait kasus hukum yang sedang berlangsung. Pertarungan demi memperjuangkan laporan soal kelalaian Grunenthal pun terjadi. Laporan berseri di koran The Sunday Times pun dirancang. Dengan bantuan penasehat hukum, redaktur koran itu mempelajari setiap artikel sebelum masuk percetakan. Saat laporan pertama muncul…media lainnya tiarap – baik itu koran, televisi maupun radio. Radio BBC sempat mewawancara redaktur koran itu masalah kasus Thalidomide di studio. Namun, setelah itu tidak ada lagi.

Redaktur itu adalah Harold Evans. Ia belakangan menulis soal ini dalam bukunya ‘Good Times, Bad Times’. Berikut bagian dari apa yang dia rasakan saat itu.

“The erratic nature of the interest in the Thalidomide children was also a reflection of the way newspapers and television news programmes work. ‘News’ is defined too episodically and too topically. It was the same in 1959 – 62, when Thalidomide was found to have affected 8,000 children round the world. There was an outcry, but then concern was allowed to evaporate. Nothing ‘new’ happened, nobody made speeches or marched down Whitehall, so there was no ‘news’ and the Thalidomide victims were gradually forgotten. The unconscious assumption was that our institutions functioned the way they are supposed to function: the law was seeing that justice was done. But it wasn’t; and journalism had not learned how to write about processes, rather than about events. The process of legal disaster and the gradual disintegration of the families was ignored.”

Terjemahan: (biasa bikin translation nih soalnya, hehehe)

“Naik turunnya ketertarikan soal anak-anak Thalidomide juga merupakan cermin dari bagaimana koran dan program berita televisi bekerja. Yang dikatakan sebagai ‘Berita’ ditentukan secara episodik dan terlalu berdasarkan topik. Sama dengan yang terjadi antara 1959 – 62, ketika Thalidomide diketahui mempengaruhi 8 ribu anak di dunia. Muncul kecaman saat itu, tapi kemudian keprihatian soal itu dibiarkan menghilang. Tidak ada yang baru terjadi, tidak satu pun berorasi atau berunjuk rasa ke Whitehall (ie Parlemen), jadi tidak ada ‘berita’ dan korban Thalidomide perlahan dilupakan. Asumsi bawah sadar adalah bahwa institusi kita (ie media) berfungsi seperti seharusnya: hukum berjalan seperti apa adanya untuk mencari keadilan. Padahal tidak begitu; dan jurnalisme tidak belajar untuk menulis tentang proses, dibanding peristiwa. Proses dari carut marutnya persidangan dan kehancuran perlahan keluarga korban diabaikan.”.

Saya pernah tanya sama Mas Imam soal ‘Berapa umur berita?’ dan beliau menjawab pada saat tensi berita itu turun bisa diberikan ‘renewal’ – katanya istilah marketing, yang artinya aspek kebaruan. Baik itu angle atau apa pun yang sifatnya membuat berita itu menjadi kontekstual. Bagaimana? Ada yang punya ide lain?

Bhayu Sugarda

PS: Ada kutipan menarik dari kasus ini di buku-nya Harold Evans. Seorang pengacara, James Evans, ditugaskan memantau penulisan laporan ini agar tidak dianggap melanggar hukum. Semua artikel soal Thalidomide dia baca dengan kaca mata hukum, sebelum diputuskan bisa masuk cetak atau tidak. Saat si redaktur meminta nasihatnya tentang rencana laporan berseri tentang Thalidomide, James Evans hanya bilang, “I have the picture perfectly. Alpine tourist asks guide to take him to the top of the Eiger by the safe route…Let me think about it, mm?”. (Terjemahan: “Saya punya gambarannya. Seorang turis gunung Alpine minta arahan caranya menuju puncak Eiger melalui rute aman…Saya pikirkan dulu?”.).

No comments: