Thursday, May 10, 2007

Mulyani Hasan - jurnalis tv yang jadi penulis

Saya bertemu dengan seorang jurnalis di Bandung. Namanya Mulyani Hasan. Sejumlah karya jurnalistiknya menghiasi majalah Pantau dan Playboy. Dia mengaku sangat menyukai menulis, padahal sebelumnya ia pernah bekerja sebagai korlip dan terakhir redaktur pelaksana di Bandung TV.

Ia mengaku 'banting setir' (pinjam istilah amrul yang abis liputan petani jamur eks karyawan ptdi menulis di skripnya 'eks karyawan ptdi banting setir'...hehehe) dari jurnalis televisi menjadi penulis lepas untuk media cetak karena ada seninya sendiri menulis... khususnya menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi. Dan dia mengaku sangat menikmati itu. Selain itu, apa yang ia cari tidak didapatnya di Bandung TV.

"Saya tidak tahu teknis pengambilan gambar, tapi saya tahu gambar yang enak ditonton dan yang tidak.", katanya.

Belakangan dia mengungkapkan, kebanyakan pekerja televisi di TV lokal Bandung yang cukup banyak (sedikitnya ada lima: Bandung TV, STV, City View, dll.) adalah fresh graduate. Mulai dari korlip sampai kamera person. Katanya yang lagi lumayan booming adalah STV karena di redaksinya ada bekas karyawan SCTV.

Yang membuatnya unggul adalah kemasan tayangannya (menurut ibu Mulyani ini), tontonan ala Bali TV (Bandung Tv berafiliasi dengan Bali TV) yang mengutamakan seni tradisional sulit dinikmati masyarakat Bandung yang merupakan masyarakat Urban. STV dianggap berhasil karena mengemas tayangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bandung yang lebih 'sophisticated' dibanding pemirsa Bali TV (dalam padanan TV lokal yah).

Jadilah akhirnya ia menjadi kontributor majalah Pantau dan majalah Playboy. Saya tanya alasan ketertarikannya akan jurnalisme sastrawi. Dia bilang ada alurnya dan gaya bertutur yang naratif sangat dinikmatinya. Saya uji pandangan saya tentang jurnalisme sastrawi kepada dirinya, 'bukankah jurnalisme sastrawi sangat visual?". Ia pun dengan antusias mengiyakan dan mengatakan sebelum menulis pun ia mengaku perlu menonton film terlebih dahulu.

Mulyani lalu menyebut nama Linda Kristanti yang kabarnya mendapatkan ulasan atas karyanya di majalah sastra Internasional 'Cornell Magazine'. Padahal selain Linda yang pernah mendapat ulasan di majalah ini hanya Pramoedya Ananta Toer. Mulyani menganggap karya Linda sangat enak dinikmati. Saya pun lanjut bertanya kepada dia topik apa yang telah ia kerjakan semala ini. Salah satunya tentang ruu pemerintahan Aceh. Saya pun mengatakan sulit juga kalo televisi mengangkat topik itu secara mendalam karena sifatnya 'wacana'. Tapi kemudian dia pun mengernyitkan dahi, "wacana bagaimana? Asal berdasarkan fakta saya pikir tetap bisa dibahas.". Waduh beda pengertian istilah wacana sepertinya kami berdua.

Perbincangan pun berlanjut ke hal-hal lain, tapi soal wacana ini masih menggantung di kepala.

Kalau menurut Bapak yang terhormat Prof Dr JS Badudu, "wacana" adalah:

1. ucapan, perkataan, tutur;

2. keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan;

3. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.

Jadi sebenarnya pemahaman kata 'wacana' antara saya dan Mulyani tidak jauh berbeda, hanya saja dari pandangan broadcast 'wacana' sulit di-visualkan karena berdasarkan ucapan atau perkataan orang. Tapi kemudian saya mengintip karya si Ibu Mulyani Hasan ini di Pantau Online.

Terlihat gaya jurnalisme sastrawi yang dianutnya itu - dan memang sangat visual... padahal yang ia bahas adalah Sentimen Anti Komunis yang masih kental di Indonesia. Berikut sedikit bagian karyanya sebagai gambaran gaya penulisannya yang saya anggap sangat visual.

Memburu Marxis di Ladang Buku
Oleh Mulyani Hasan

(Excerpt dari bagian awal)

....HUJAN deras. Jalanan di muka toko buku Ultimus di Lengkong Besar, Bandung , yang biasanya sepi di malam hari, kini ramai. Sekelompok orang berseragam hitam-hitam lalu-lalang di muka toko. Ada yang berdiri bergerombol, ada juga yang jongkok di pinggir jalan.

Diskusi telah dibuka. Sadikin moderator. Seorang pembicara bernama Marhaen Soepratman duduk di sebelahnya.

Marhaen. Nama yang aneh, pikir saya. Nama Marhaen pernah populer di masa presiden Soekarno berkuasa. Ia kagum pada seorang petani yang bekerja keras, bersemangat, cerdas, dan pemberani, bernama Marhaen yang dijumpainya di sebuah desa di Jawa Barat. Sejak itu Soekarno menamakan ajaran atau ideologinya yang memihak rakyat kecil atau wong cilik itu sebagai marhaenisme.

Tetapi Marhaen Soepratman bukan orang Sunda. Ia keturunan Tionghoa. Ia juga bukan petani, melainkan mahasiswa di sebuah universitas di Kanada. Nama aslinya adalah Hariyanto Darmawan. Di Kanada, ia aktivis serikat buruh. Ia sengaja datang ke Bandung, setelah mengunjungi keluarganya di Jakarta.

Peserta diskusi malam itu tak lebih dari seratus orang. Rata-rata peserta antusias dengan materi yang disampaikan pembicara. Tetapi belum setengah jam acara berlangsung, seorang lelaki paruh baya merampas mikrofon dari genggaman Marhaen. Kasar. Tanpa sopan-santun.

"Ajaran komunis sudah tidak relevan lagi dibicarakan! Orang tua saya dibunuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia)! Jadi saudara-saudara, acara semacam ini harus dihentikan!" teriak lelaki itu. Sorot matanya liar memandang sekeliling.

Ia adalah Adang Supriadi, ketua Persatuan Masyarakat Antikomunis atau disingkat Permak.

Suasana jadi ricuh ketika anggota Permak mulai menendang-nendang bangku dan mengancam peserta diskusi. Semua orang buru-buru keluar ruangan. Tumpah ruah ke jalan.

Anggota Permak kemudian memburu pembicara dan ketua panitia yang berusaha menyelamatkan diri ke arah kampus Universitas Pasundan, tepat di depan toko buku itu.

Tak berapa lama Sadikin dan Marhaen ditangkap orang-orang Permak, yang memaksa mereka masuk ke mobil untuk dibawa ke markas Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung....

(Excerpt di bagain tengah)

....Langkah-langkah sepatu terdengar mengitari seluruh ruang, lalu berakhir di pintu utama. Pintu ditutup dan disegel dengan pita kuning atau garis polisi yang disilangkan di tengahnya.

(Excerpt di bagian akhir)

....Pada 16 Desember 2006, saya menemui Bilven Rivaldo Gultom di sebuah kafe. Lelaki berkulit kuning langsat ini belum genap 30 tahun. Ia berusaha gembira, meski hatinya gelisah.

"Saya belum merasa bebas. Berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat saya, ada banyak orang tak dikenal mencari-cari saya," katanya. Sebentar-sebentar ia melihat layar telepon selulernya. Bunyi pesan yang masuk menyaingi suara hujan.

"Saya tidak mengerti tuduhan mereka. Mungkin saya dituduh komunis karena saya miskin," katanya, lagi.

Secangkir kopi panas pesanannya tiba.

"Saya dan kawan- kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Karena ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan," ujar Bilven.

"Selama ini, ajaran Marx banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan. Itu yang tidak saya sepakat. Karena itu akhirnya ajaran Marx juga ikut diberangus." Ia terus bicara.

"Revolusi itu akan terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya, tidak ada lagi pemberangusan, tidak ada korupsi dan orang-orang akan menggunakan akal pikirannya berdasarkan logika bukan lagi menggunakan hal-hal yang abstrak," lanjutnya.

Bilven lolos saat Permak melancarkan penangkapan. Sejak saat itu ia tinggal berpindah-pindah."

Adegan terakhir ini mengingatkan saya akan adegan dari film dokumenter tentang Al-Jazeera 'Control Room'. Ada diskusi hangat yang terjadi di sebuah cofee shop di Irak (saya lupa-lupa ingat lokasinya) antara warga dan seorang reporter Al-Jazeera. Adegan ini di-syuting seperti layaknya adegan dalam karya Mulyani. Saat pelayan datang gambar itu tertangkap di kamera.

Pembicaraan menjadi hangat, tek-tok close up antara peserta diskusi kecil ini tertangkap jelas. Mereka hanyalah warga biasa yang mengutarakan unek-unek mereka selama ini tentang kebijakan pemerintah AS di timur tengah. Yang menarik dari adegan ini bagi saya adalah bagaimana mereka begitu terbuka menyatakan pendapat mereka dan begitu natural. Editingnya pun mengalir - enak ditonton.

Solusi: Kreatifitas, kesabaran dan penguasaan masalah bisa jadi gerbang masuk ke ranah wacana, where no broadcast journalist (well maybe a few manage to do so...) has ever gone before.

Bhayu Sugarda

No comments: