Friday, July 11, 2008

The Star That Shines Briefly, But Still Shines in Her Own Light




Wendi Ruky Mogul adalah anchor yang pertama kali membawakan acara dialog Kupas Tuntas di Trans TV. Tapi ia hanya membawakan acara itu hingga tahun 2003. Saat ini ia tinggal di Bethesda, Amerika Serikat bersama suami dan anaknya.

Perjalanan kariernya cukup panjang, berawal dari kuliah di jurusan Hubungan Internasional di FISIP UI, ia pun melanjutkan ke jenjang S2 di Universitas Columbia, New York dan lulus dengan gelar Master of Science in Journalism. Selama di Amerika Serikat, ia sempat magang di CNN Biro New York dan bekerja sebagai asisten produser untuk jaringan televisi CBS News. Tahun 1999, Wendi kembali ke Indonesia. Ia bekerja di Majalah Tempo selama setahun sebelum akhirnya bergabung ke Trans TV.

Lalu, apa yang membuatnya mengakhiri kariernya di industri televisi? Apakah murni karena keluarga ataukah ada alasan lainnya? Berikut jawabannya melalui email atas pertanyaan saya itu:

"Halo Bhayu.. Sori saya telat balas. Saya punya penyakit males ngecek inbox... I didn't leave TV industry altogether.. I consider it a "temporary leave". Although I don't exactly know when I'll be back. Hehehe..Jawabannya sudah kamu tulis sendiri kok. There was no other reason than ngikut suami and having a family.

I loved what I did, and the journalistic work in Indonesia was super exciting. Seandainya suami saya orang Indonesia OR dia mau menetap di Indonesia, I wouldn't have left Trans. But at the time (2003), saya harus memilih antara karir di Indonesia dan rumah tangga di Amerika. And I chose the latter. I guess love does conquer all... hahaha...

Do I miss the good ol'days? Yes, sometimes.. apalagi kalau denger cerita dari temen2 mengenai kerjaan mereka sekarang. Rasanya masih banyak yg saya ingin lakukan di Indonesia. But do I regret my decision? No. Kesenangan dapat berita eksklusif, serunya ngeliput di lapangan, dan excitement dapet rating tinggi... teteeeeeuup gak bisa mengalahkan kebahagiaan membesarkan anak sendiri dan menyaksikan semua perkembangannya. Saya masih ingat banget betapa beberapa temen kerja dulu menangis karena sudah beberapa hari gak ketemu anaknya.. Saya bisa bayangin seandainya sekarang saya masih kerja full throttle di Jakarta, saya akan ngalamin situasi kayak begitu... Tahu sendiri kan work environment di TV gimana. Kalau kita keseringan cepet pulang, dianggap bukan pekerja keras dan bukan hard core journalist. 'Tul? :)

Sekarang anak saya masih kecil, dan kita berharap nambah lagi. Jadi saya masih ngerem karir. Ibaratnya nyetir mobil gigi satu aja. Hopefully ketika anak(-anak) sudah sekolah, saya bisa pindah gigi lima lagi. Mungkin tidak akan seperti dulu, but I'm sure other opportunities will come. :)Does this answer satisfy your curiosity? ;)

Memang konsekuensi milih jadi jurnalis ya.. no social life. ;) Aku dulu enggak gitu keberatan.. temen2 kerja asik2 dan kerjaannya seru. Jadi social life-nya ya sama orang2 itu2 juga.. kadang2 bosen, tapi gimana ya. Enggak ada pilihan. Wuahaha... just kidding. Lebih tepatnya sih sebenernya, sama orang2 yang mengerti, berhubung senasib sepenanggungan..Tapi biasanya yg cepet cabut itu kan juga memang enggak terlalu niat jadi jurnalis. Keliatan kok dari kerjaannya gimana. Right?
Mungkin awalnya coba2 ngelamar terus keterima... without really having a clue of what the job entails. Mungkin lebih bagus begitu... daripada sengsara, kan mendingan dia cari karir yg lebih pas early on? Gitu bukan? Those who really like the profession stay on.. at least for a while. Now I really like the profession dan I DO feel that I left too early (masih gatel dan penasaran, sebetulnya...), tapi kayak peribahasa sini bilang.. you can't have a cake and eat it too! (I wish 'though....) ;)”
Wendi Ruky Mogul

Sometimes, learning the thinking process of somebody elses who were there before you do, could help you with your thinking process in making your decision of similar case. Because your decision is what makes you fly or don’t fly. Either way you still have to face the consequences of your decision.

Semoga bermanfaat,

Bhayu Sugarda

1 comment:

Anonymous said...

Setuju sama Mbak Wendi,kalau aku dihadapkan oleh kondisi seperti dia, aku juga pasti akan lebih memilih membentuk keluarga. Sebenarnya ini masalah tujuan hidup kita kok...bagaimana cara meraih bahagia..mungkin cara kita ya dengan membentuk keluarga yang ideal menurut kita. Walaupun ada juga yang bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan, tapi gak sedikit juga yang merasa ketinggalan ketika sadar ternyata anaknya udah gede. Ngelihat temen yang kerja, anaknya ditinggalin ke neneknya, malah dia cuma bisa ngelihat seminggu sekali, karena rumahnya jauh...gak bisa ngebayangin kalo aku juga mesti kayak gitu. Walaupun mereka beralasan, kalo gak kerja malah lebih susah lagi. Mudah-mudahan aku gak dihadapkan pada kondisi yang memaksa aku juga harus bekerja, yang akhirnya jadi gak bisa memilih. Semoga....Untung Mbak Wendi masih bisa memilih...:)